20 December 2006




THE LAMB


Little lamb, who made thee?
Does thou know who made thee,
Gave thee life, and bid thee feed
By the stream and o'er the mead;
Gave thee clothing of delight,
Softest clothing, woolly, bright;
Gave thee such a tender voice,
Making all the vales rejoice?
Little lamb, who made thee?
Does thou know who made thee?


Little lamb, I'll tell thee;
Little lamb, I'll tell thee:
He is called by thy name,
For He calls Himself a Lamb.
He is meek, and He is mild,
He became a little child.
I a child, and thou a lamb,
We are called by His name.
Little lamb, God bless thee!
Little lamb, God bless thee!

taken from William Blake's Poems
THE DIVINE IMAGE


To Mercy, Pity, Peace, and Love,
All pray in their distress,
And to these virtues of delight
Return their thankfulness.


For Mercy, Pity, Peace, and Love,
Is God our Father dear;
And Mercy, Pity, Peace, and Love,
Is man, His child and care.


For Mercy has a human heart;
Pity, a human face;
And Love, the human form divine:
And Peace the human dress.


Then every man, of every clime,
That prays in his distress,
Prays to the human form divine:
Love, Mercy, Pity, Peace.


And all must love the human form,
In heathen, Turk, or Jew.
Where Mercy, Love, and Pity dwell,
There God is dwelling too.




taken from William Blake's Poems Collection










THE SHEPHERD


How sweet is the shepherd's sweet lot!
From the morn to the evening he strays;
He shall follow his sheep all the day,
And his tongue shall be filled with praise.


For he hears the lambs' innocent call,
And he hears the ewes' tender reply;
He is watchful while they are in peace,
For they know when their shepherd is nigh.

taken from William Blake's Poems Collection

18 December 2006

Nyatakanlah Kebaikanmu, Tuhan sudah dekat !
Filipi 4:2-9
(Ringkasan Khotbah yg. Disampaikan kepada jemaat GKI Jember, 17 Desember 2006)


Pendahuluan
Masa Advent adalah masa di mana kita diajak untuk mempersiapkan diri kita di dalam penantian terhadap kedatangan Tuhan. Melalui masa Advent, setiap orang percaya diingatkan untuk terus bersiap-siap dan bekerja giat bagi-Nya seolah-olah Kristus akan datang esok hari. Ungkapan ”Tuhan sudah dekat” sebenarnya dapat dipahami dalam pemaknaan ganda. Kata ”dekat” seharusnya kita pahami bukan saja berbicara kronologi waktu, di mana ungkapan ”Tuhan sudah dekat” dikaitkan dengan kepastian kedatangan Kristus yang kedua kalinya nanti, atau yang biasa disebut sebagai parousia. Istilah ”dekat” juga dapat berarti bahwa Kristus yang telah naik ke sorga itu, sebenarnya dekat (dalam artian jarak) dengan setiap jemaat melalui kehadiran Roh Kudus. Di dalam pemaknaan ganda inilah Rasul Paulus seolah sedang mengingatkan jemaat di Filipi: ”Ingatlah, bahwa Kristus itu ada di tengah-tengah kita melalui Roh-Nya, dan Dia juga pasti akan segera datang untuk kedua kalinya. Karena itu hendaklah kebaikan hatimu diketahui setiap orang. Hendaklah kebaikanmu itu nyata bagi semua orang.”
Lalu apa yang dimaksudkan Rasul Paulus dengan ”kebaikan hati” dalam bagian ini? Istilah ”kebaikan” yang digunakan rasul Paulus di sini sebenarnya lebih khusus berkaitan dengan suatu sikap hati yang dipenuhi kasih sehingga memancarkan keramahan atau kelemahlembutan. Istilah ini berhubungan erat dengan kasih dan kelemahlembutan yang harus tampak dalam hidup orang Kristen, karena karakter ini juga tampak dalam diri Kristus. Dalam 2 Korintus 10:1, Rasul Paulus menggunakan kata yang sama dengan Filipi 4:5 ini, ”... aku memperingatkan kamu demi Kristus yang lemah lembut dan ramah.”
Secara singkat, dapat dikatakan bahwa dalam bagian ini rasul Paulus mengajak jemaat Filipi untuk menyatakan dan mengekspresikan kasih, keramahan dan kelemah-lembutan, sebagaimana yang nampak dalam karakter Kristus, baik kepada sesama jemaat maupun kepada orang lain yang belum mengenal Kristus. Alasan utama dari nasihatnya ini adalah agar mereka memberikan kesaksian kepada semua orang bahwa Kristus memang nyata dekat atau hadir dalam kehidupan mereka, dan bahwa Kristus akan datang kedua kalinya untuk menghakimi dunia ini. Lalu, bagaimana secara konkrit kasih, keramahan, dan kelemahlembutan itu nyata dalam kehidupan kita? Saya mencatat setidaknya terdapat dua hal yang harus menjadi sikap hati dan perilaku yang diharapkan Tuhan nyata sebagai ”kebaikan hati” dalam hidup kita.

1. Kasih, keramahan, dan kelemahlembutan itu harus nyata di dalam hubungan kerukunan di dalam kesatuan jemaat sebagai Tubuh Kristus (ay. 2-3)
Di ayat 2 Rasul Paulus menyebutkan dua nama yaitu Euodia dan Sintikhe dalam rangka menasehati mereka untuk sehati dan sepikir: ”Euodia kunasihati dan Sintikhe kunasihati, supaya sehati sepikir dalam Tuhan.” Nampaknya kedua orang ini adalah para wanita pemimpin jemaat di Filipi. Dari nasihat Rasul Paulus, nampak bahwa mereka sedang di dalam perselisihan yang serius. Terlepas dari apakah perselisihan itu begitu tajam atau tidak, namun tersebarnya kabar perselisihan itu hingga ke telinga Paulus, menunjukkan betapa relasi yang tidak baik antara dua tokoh wanita dari gereja Filipi ini sudah memberikan contoh yang kurang baik bagi kesaksian jemaat. Karena itu Rasul Paulus dengan penuh kelembutan menasehati mereka agar sehati dan sepikir di dalam Tuhan.
Betapa sering orang Kristen masa kini tidak mampu lagi menjadi kesaksian dan berkat bagi orang yang belum mengenal Allah, yang dikarenakan adanya perselisihan, pertengkaran, dan perpecahan di antara anggota tubuh Kristus sendiri. Sebaliknya, jika Bapak, Ibu, Saudara, seluruh jemaat bersehati dan sepikir di dalam Kristus, maka kemampuan kita untuk menyatakan kasih Kristus bagi orang lain akan semakin nyata. Bukankah Tuhan Yesus sendiri pernah berkata di dalam Yohanes 13:35, ”Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi.” Kuncinya adalah satu: marilah kita tempatkan hati dan pikiran kita di dalam Kristus. Perselisihan dan bahkan pertikaian tajam di antara jemaat Tuhan seringkali muncul karena setiap kita berpikir dan berkehendak dengan memusatkan diri sendiri. Karena itu, Rasul Paulus menasihatkan jemaat Filipi dan kita pada zaman ini, ”Marilah kita tempatkan hati, pikiran dan kehendak kita di dalam Kristus. Karena Dia adalah Kepala kita, dan hanya Dialah yang dapat berkehendak dengan sempurna bagi kita, jemaat-Nya.”

2. Kasih, keramahan, dan kelemahlembutan nyata dalam hidup yang tidak berkekuatiran melainkan hidup yang dipenuhi sukacita ilahi (ay. 4, 6-7)
Sikap kedua yang menjadikan kebaikan hati kita nyata bagi orang lain adalah ”hati yang meluap dengan sukacita, dan yang tidak berkekuatiran tentang apapun juga.” Kepada jemaat di Filipi rasul Paulus mengatakan, ”Bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan! Sekali lagi kukatakan: Bersukacitalah!” Tema sentral dari surat Filipi sebenarnya adalah sukacita di dalam Tuhan. Di balik tema sukacita ini sebenarnya terdapat beberapa fakta yang ironis. Yang pertama, Rasul Paulus menuliskan surat Filipi ini di dalam penderitaanya di dalam penjara di Roma. Tidak ada alasan berdasarkan kondisi yang dia alami yang dapat membuat Rasul Paulus bergembira. Yang kedua, jemaat Filipi pada masa itu adalah jemaat yang juga sedang menghadapi tekanan dan penganiayaan karena iman yang mereka pegang. Seharusnya yang Rasul Paulus sampaikan adalah penghiburan dan bukan nasihat untuk bersukacita. Namun Rasul Paulus bahkan menekankan, ”bersukacitalah selalu, sekali lagi kukatakan bersukacitalah.”
Sukacita Kristen yang sejati bukanlah sukacita yang sementara, yang segera berlalu bersama perubahan kondisi di sekitar yang memburuk. Sukacita kristiani yang sejati terus ada di dalam diri setiap orang yang hidup bergantung penuh di dalam Kristus. Karena itu, frasa ”di dalam Tuhan” (ay. 4) dan ”dalam Kristus Yesus” (ay. 7) digunakan Rasul Paulus di sini untuk menekankan pemahaman bahwa hanya orang-orang yang tinggal di dalam Kristus, hanya orang-orang yang memiliki keintiman relasi dengan-Nya yang dapat mengalami sukacita yang sejati.
Di ayat 6, nasihat untuk bersukacita ini kemudian Rasul Paulus kontraskan dengan nasihat agar jemaat Filipi tidak berkekuatiran, ”Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur.” Jelas ini merupakan kontras yang digunakan Rasul Paulus untuk menekankan konsep sukacita yang sejati. Dengan kata lain, orang yang bersukacita adalah orang yang hidupnya tidak berkekuatiran tentang apapun di dalam hidup ini. Jemaat Filipi yang menghadapi tantangan karena imannya, sangat mungkin terhanyut di dalam kekuatiran akan hidupnya. Karena itu rasul Paulus seolah berkata, ”Kalau kamu ingin bersukacita, kamu jangan kuatir tentang apapun juga. Bersandarlah dan bergantunglah secara total kepada Allah. Nantikan semua keinginanmu dalam doa, dan mengucap syukurlah untuk setiap jawaban yang Tuhan berikan.” Di dalam relasi yang begitu intim dengan Kristus inilah, seorang Kristen akan mengalami sukacita yang tidak tergoyahkan oleh kekuatiran tentang apapun. Maka akhirnya rasul Paulus yakin, ”Damai sejahtera Allah, yang melampaui segala akal, akan memelihara hati dan pikiranmu dalam Kristus Yesus.”
Karena itu, saya melihat kaitan yang sangat kuat secara teologis di dalam ungkapan ”di dalam Tuhan” atau ”dalam Kristus Yesus” dengan ungkapan ”Tuhan sudah dekat.” Orang yang bersukacita adalah orang yang sadar dan mengalami sepenuhnya bahwa Tuhan Yesus ada dekat, dan hadir di dalam segala kesusahan dan penderitaanya. Orang ini juga tidak pernah terserang oleh penyakit kekuatiran, melainkan terus berpengharapan menantikan kepastian kedatangan Kristus yang kedua yang pasti, untuk melenyapkan segala duka dan menggenapkan sukacitanya. Maka sekali lagi, di dalam kehidupan yang meluap dengan sukacita dan tak berkekuatiran itulah, seorang Kristen akan mampu menyatakan kebaikan hatinya bagi orang lain.

Penutup
Jemaat yang dikasihi Tuhan dan yang setia menantikan kedatangan Tuhan. Kebaikan hati yang terpancar dari hidup kita adalah tanda bahwa kita menyadari Tuhan Yesus dekat dan hadir dalam hidup kita. Hal itu juga terpandar dari pengharapan kita, bahwa Dia akan datang untuk kedua kalinya untuk menggenapkan sukacita kita dan melimpahkan ”damai sejahtera Allah yang melampaui segala akal” di dalam hidup kita. Amin. Maranatha.



15 December 2006

Putri Babel yang Menggoda


Seorang Putri yang cantik dan menggoda...
Ia bergaunkan kebinalan dan kenajisan hidup berwarna merah menyala
Siap menggoda dan menyeret siapa saja yang terpana melihatnya

Gemulai berjalannya selalu mempesona siapa saja yang memandangnya
Bahasanya adalah bahasa materialisme...
Senyumnya adalah hidup hedonisme...
Kerling matanya menyiratkan semangat relativisme...
Pikirannya memancarkan jiwa sekularisme...
Seluruh hidupnya ia persembahkan bagi penghujatan...

Lihatlah, siapa yang terpana kepadanya...?
Siapa yang menikmati anggur kemanisan perzinahannya...?
Mereka akan berkabung dalam debu...
Menangis menyayat hati...
Karena Sang Putri Babel yang jelita dan penuh gairah neraka,
akan tenggelam seperti batu yang dileparkan ke dalam lautan
akan dibakar di dalam tungku api hingga habis tiada tersisa...
Maka seluruh pengikut yang memujanya akan hidup dalam tangisan tiada henti...
O, putri Babel, janganlah kiranya aku hanyut dalam jeratmu...


Jumat, 15 Desember 2006

Sebuah Refleksi Wahyu 17-18

13 December 2006

Banyak orang Kristen berpikir bahwa seni dari memberi terletak pada pengorbanan dan kerelaan menderita karena harus kehilangan. Bahkan banyak mimbar gereja mengajarkan bahwa memberi adalah sebuah tindakan pemiskinan diri. Maka letak ”kebaikan memberi” (the virtue of giving), menurut para pengajar ini, adalah pada tindakan pengakuan akan pengorbanan memberi.

Perhatikan ajaran Tuhan Yesus tentang janda miskin yang memberi dua peser uang sebagai persembahan (Mrk. 12:41-44; Luk. 21:1-4). Seharusnya Tuhan Yesus memuji orang-orang kaya yang telah ”berkorban” lebih banyak daripada janda miskin tersebut. Namun ternyata Tuhan lebih memuji janda miskin tersebut, karena ia melakukan sesuatu yang lebih dari sekedar sebuah ”pengorbanan.” Sesungguhnya janda miskin ini telah memberi dengan segala ”kekayaannya,” karena dua keping uang tembaga tersebut adalah seluruh hartanya. Dapat dikatakan bahwa ia telah memberikan seluruh hidupnya. Saya begitu yakin bahwa janda miskin ini dipenuhi dengan luapan sukacita yang sejati ketika ia meletakkan dua keping uangnya sebagai persembahan. Meski sulit dibayangkan bahwa ia dapat tertawa ketika melakukannya, namun ia pasti telah dilingkupi oleh luapan syukur terlebih dahulu, dan bukan oleh semangat penderitaan karena harus berkorban dan menjadi ”bangkrut” karena pemberiannya itu. Ibu janda itu telah memberi dengan segala potensinya, memberi di dalam segala totalitas hidupnya, memberi di dalam segala keutuhan hidupnya. Bukan karena ia begitu kuat untuk menderita pemiskinan, tetapi karena ia begitu menghayati apa artinya hidup meresponi anugerah-Nya.

Erich Fromm menuliskan tentang seni memberi ini: ”Memberi adalah ekspresi tertinggi dari potensi. Dalam tindakan memberi yang sungguh-sungguh, saya merasakan kekuatan saya, kekayaan saya, kekuasaan saya. Vitalitas memuncak yang dirasakan memenuhi diri saya dengan sukacita. Saya merasakan diri saya seperti meluap, berguna, hidup, karenanya menjadi bersukacita. Memberi itu lebih membuat diri bersukacita daripada menerima, bukan karena tindakan ini adalah suatu kehilangan, tetapi karena di dalam tindakan memberi terletak ekspresi kegembiraan saya.”*



*) The Art of Loving (New York: Harper, 1974) 18-19.

25 November 2006

Man a Nothing

Aku hanyalah tubuh kosong penuh kekotoran,
yang dihidupkan oleh Jiwa Rasional yang tak kelihatan
dan yang diperbaharui oleh Kuasa Anugerah yang tak tampak;

Sekali pun demikian aku bukanlah sesuatu yang langka dan berharga,
Aku tidak memiliki apa-apa dan bukan siapa-siapa,
sekali pun aku telah Kau pilih sejak kekekalan,
diberikan kepada Kristus, dan dilahirbarukan;

Aku sangat menyadari betapa jahat dan menyedihkannya keberdosaan,
dan betapa sia-sianya semua mahluk,
namun aku juga percaya akan kecukupan dari Kristus.

Ketika Engkau ingin membimbingku, aku justru berkuasa atas diriku.
Ketika Engkau ingin bertakhta, aku justru memerintah atas diriku.
Ketika Engkau ingin memeliharaku, aku justru mencukupi diriku.
Ketika seharusnya aku bergantung kepada kecukupan dari-Mu,
aku justru berusaha sendiri,
Ketika seharusnya aku berserah kepada pemeliharaan-Mu,
aku justru mengikuti keinginanku sendiri,
Ketika seharusnya aku mempelajari, mencintai,
menghormati serta mempercayai-Mu,
aku justru melayani diri sendiri

Aku menyalahi dan mengoreksi hukum-hukum-Mu
untuk disesuaikan dengan diriku sendiri,
Bukannya berusaha untuk diterima oleh Engkau,
aku justru berusaha agar diterima oleh manusia.
Secara natur, aku adalah pemuja berhala.

Tuhan, kehendakku yang utama adalah mengembalikan hatiku kepada-Mu.
Yakinkan aku bahwa aku tidak dapat menjadi Tuhan bagi diriku sendiri
atau membuat diriku sendiri bahagia,
tidak pula Kristus ciptaanku sendiri mampu memulihkan sukacitaku,
tidak pula rohku sendiri mampu mengajar, membimbing
dan memerintah atas diriku.

Tolonglah aku untuk melihat bahwa anugerah-Mu-lah
yang mampu melakukan semua itu melalui kesulitan-kesulitan
yang kualami dalam naungan pemeliharaan-Mu.

oleh karena ketika kebanggaanku menjadi tuhanku,
Engkau menurunkannya.
ketika kekayaan menjadi idolaku, Engkau mengambilnya,
ketika kesenangan menjadi segalanya bagiku,
Engkau mengubahnya menjadi kepahitan.

Ubahlah aku yang memiliki mata keranjang,
telinga yang selalu ingin tahu, ketamakan, serta hati yang penuh nafsu;

Tunjukkan aku bahwa semua hal tersebut
tidak mampu untuk menyembuhkan nurani yang terluka,
atau menopang tubuh yang terhuyung-huyung,
atau menguatkan semangat yang hilang.

Oleh karena itu, bawalah aku ke salib-Mu dan tinggalkan aku di sana.


(kutipan C. Swindoll dalam Improving Your Serve dari The Valley of Vision: A Collection of Puritan Prayers and Devotions)




24 November 2006

Dekonstruksi Triumphalism versi Yesus Kristus fokus khotbah PomKris Univ. Jember - 24 Nov.'06

Zaman ini adalah zaman di mana produktifitas menjadi sebuah tolak ukur yang mutlak bagi apa yang dinamakan "sebuah keberhasilan." Inilah zaman, di mana produktifitas dan hasil-hasil besar dimimpikan dan dikejar-kejar. Keberhasilan seseorang hanya diukur dari seberapa banyak ia menghasilkan "sesuatu." Efisiensi dan efektivitas kerja menjadi sebuah moto yang terus dikumandangkan di zaman ini. Betapa sering pekerjaan hanya diukur dari hasilnya. Seringkali hasil itu bahkan dipersempit lagi dalam bentuk angka-angka.

Zaman ini juga disebut sebagai zaman yang mengejar kebesaran. Semua orang sedang berlari-lari untuk mengejar untuk menjadi yang terbesar. Semua ingin mengejar kejayaan. Semua ingin mengerjakan pekerjaan yang besar. Semua ingin diakui sebagai yang terhebat dan terbesar.


Namun Yesus hadir ke dunia ini untuk men-dekonstruksi dan meruntuhkan bangunan pemikiran manusia yang selalu berpusat pada "kerajaan diri" dan bukan Kerajaan Allah. Perhatikan apa yang ia ajarkan di dalam perumpamaan tentang talenta: "Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia; engkau telah setia dalam perkara kecil, aku akan memberikan kepadamu tanggung jawab dalam perkara yang besar." Masalahnya di sini bukan talenta yang berkembang, kog. Masalahnya adalah etos kerja yang diharapkan ada di tengah umat Tuhan adalah: setia dalam perkara kecil...


Lalu, bagaimana dengan gereja Tuhan saat ini di dalam mengerjakan pelayanan dari Dia? Mengejar yang besar-besar dan berpikir triumphalist, ataukah mau mengerjakan dengan setia apa yang bagi dunia nampak kecil, namun yang berharga di mata Allah?

23 November 2006

Seorang Pelayan Tuhan yang Ge-Er
Sebuah Refleksi dari Yeremia 29:15-32

"Oleh karena Semaya telah bernubuat kepadamu, sekalipun Aku tidak mengutusnya, dan ia telah membuat kamu percaya kepada dusta, maka beginilah firman TUHAN: Sesungguhnya, Aku akan menghukum Semaya, orang Nehelam itu, dan keturunannya..." (Yer. 29:31-32)

Ge-Er adalah istilah yang berasal dari bahasa Jawa; gede rumangsa, yang di dalam bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai "sikap terlalu percaya diri tapi nggak tahu diri." Akan menjadi bahaya yang besar bagi seorang pelayan Tuhan, jika ia berani berkata-kata kepada orang lain atas nama Tuhan, sedangkan Tuhan tidak berkata-kata kepadanya. Ini namanya “pelayan Tuhan yang ge-er.”

Semuanya ini berakar dari spiritualitas yang dangkal. Interaksi dengan Tuhan yang tidak mendalam secara perlahan akan menyeret seorang pelayan Tuhan (terutama pelayan Firman) untuk mengajar di dalam kepalsuan. Waktu-waktu meditasi dan waktu teduh, di mana seorang pelayan dapat berdiam diri dan membiarkan Tuhan berbicara kepadanya secara pribadi telah tergantikan dengan kesibukan aktivitas yang disebutnya "pelayanan." Penggalian Alkitab yang dilakukannya mungkin tetap tertib dan di dalam kerangka hermeunitika yang benar. Namun apa yang ia pelajari tidak pernah menyentuh hatinya sebagai sebuah Firman yang berkuasa mengubahkan. Maka yang terjadi kemudian adalah, ia mengajar namun tidak pernah belajar dari Tuhan… Itulah pelayan Tuhan model Semaya… Seorang pelayan yang ge-er…

O, betapa malunya jika seseorang berkata-kata atas nama Tuhan, namun kemudian Tuhan berkata, "Aku tidak mengutusmu untuk berkata-kata demi nama-Ku..." Inilah yang disebut "pelayan Tuhan yang ke-ge-er-an." Yang lebih celaka adalah jika yang disampaikannya telah menyesatkan orang yang mendengarnya.

Siapakah pelayan Tuhan yang "ge-er" ini? Bisa diriku, bisa dirimu... Jika kita tidak menggerakkan pelayanan kita di atas alas keintiman relasi dengan Tuhan yang mengutus kita, hal ini bisa terjadi pada kita: padaku dan padamu...
Waspadalah... sudahkah hari ini kita bertanya, "Tuhan, apakah Engkau mengutus aku hari ini untuk berbicara atas nama-Mu?"

22 November 2006


Menempatkan Allah sebagai Allah
menjunjung Kedaulatan Allah dan mengenal Dia dengan benar: sebuah refleksi

Kejatuhan Adam (dan Hawa) ke dalam dosa – dengan memakan buah dari “pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat” – bukanlah berakar dari masalah perut, meski memang buah itu nampak “sedap untuk dimakan” (Kej. 3:6). Akar kejatuhan Adam dan Hawa adalah karena pohon itu “mampu memberi mereka pengertian.” Dengan kata lain, Adam dan Hawa jatuh karena mereka ingin berpengertian sama seperti Allah. Mereka ingin seperti Allah: tidak sekedar tunduk dan patuh terhadap kebaikan moral yang Allah telah tetapkan, tetapi menentukan standar moral itu sendiri (otonomi – menentukan hukum bagi diri sendiri). Celakanya, episode dari “Drama Manusia ingin Menjadi Allah” ini tidak berhenti dalam kisah Adam dan Hawa ini. Semangat menjadi allah bagi diri sendiri terus ada di dalam jiwa manusia, baik dalam sejarah Israel, maupun dalam sejarah umat Tuhan, hingga saat ini.
Tanya kenapa? Mengapa Israel begitu mudah jatuh dalam penyembahan berhala? Padahal Allah terus mengingatkan, ”Akulah TUHAN, yang membebaskan engkau dari perbudakan Mesir” (bdk. Kel. 6:6-7; 20:2; 29:46; Im. 11:45; dst.). Toh akhirnya kita tahu, mentalitas penyembahan berhala telah begitu kuat merasuk dalam jiwa Israel, sehingga mereka juga menempatkan TUHAN Allah tak lebih dari salah satu dari berhala-berhala yang ada. Mentalitas penyembahan berhala? Ya, Israel telah salah kaprah. Mereka berpikir bahwa Allah YHWH sama dengan berhala-berhala Mesir, yang dapat disembah-sembah, disogok dengan persembahan sesajen, lalu disuruh menuruti kemauan mereka, disuruh mencukupi segala kebutuhan mereka, disuruh membuat mereka aman dan nyaman, dan disuruh membuat hidup mereka bebas dari masalah. Buktinya apa? Israel yang mudah bersungut-sungut, Israel yang mudah menuntut jika hidupnya sedikit susah, dan Israel yang mudah mencari cara sendiri untuk setiap penyelesaian masalah mereka adalah bukti bahwa Israel telah menempatkan TUHAN Allah sebagai berhala yang menuruti kemauan mereka. Inilah mentalitas penyembahan berhala; Allah disuruh-suruh menuruti kemauan manusia! Pada akhirnya, inti dari penyembahan berhala akhirnya adalah kepentingan diri sendiri. Itulah meng-illah-kan diri sendiri: motif dari segala penyembahan sebenarnya adalah kepentingan diri, alias self-oriented atau self-centrist.
Menyitir apa yang dikatakan Pdt. Eka Darmaputera, ”Mempercayai Allah sebagai Allah tidak cukup hanya mengalihkan obyek kepercayaan dari illah politeistik kepada Allah yang monoteistik.” Artinya, mempercayai Allah sebagai Allah adalah masalah menempatkan Allah sebagai Allah. Hal ini berarti bahwa yang berdaulat, yang berkehendak, dan yang menetapkan segala sesuatu di dalam hidup kita bukanlah diri kita, melainkan Allah Yang Mahakuasa. Mempercayai Allah sebagai Allah adalah menempatkan Allah sebagai orientasi penyembahan kita, menempatkan Ia sebagai orientasi hidup kita, dan menempatkan-Nya (dan kemuliaan-Nya) sebagai tujuan hidup kita. Pokoke, yang utama dan terutama dalam perjalanan hidup kita haruslah bagaimana Allah ditinggikan sebagai Allah, titik.
Nah, celakanya mentalitas ”penyembahan berhala” (atau penyembahan diri) ini tidak berhenti sampai kisah Israel. Umat Tuhan di sepanjang zaman terus dibayangi mentalitas semacam ini. Yang paling kronis adalah realita berjemaat saat ini. Tanya kenapa? Mengapa dan untuk apa orang Kristen saat ini datang ”berbondong-bondong” ke gereja setiap hari Minggu? Yang paling banyak terlontar dari mulut mereka untuk menjawab pertanyaan ini adalah: ”agar hidupku diberkati Allah, agar usahaku lancar, agar aku dijauhkan dari segala penyakit, agar rumah tanggaku bahagia dan jauh dari percecokkan.” Walah, kalau kebanyakan umat Tuhan datang ke gereja dengan motivasi seperti ini, apa bedanya orang Kristen dengan Israel? Coba tebak, apa reaksi kebanyakan orang Kristen ketika kesulitan menjamah hidup mereka? ”Tuhan, mengapa aku harus mengalami ini semua? Buktikan dong kalau Engkau Tuhan yang penuh kuasa. Tolonglah aku, lepaskan aku dari masalah ini, lepaskan aku dari penyakit ini, lepaskan aku dari utang-utang perusahaan ini, dan seterusnya, dan seterusnya.” Coba tebak, siapa yang diuntungkan terus dalam ibadah kontemporer semacam ini? Bukan Tuhan yang dimuliakan, tetapi perut terus dikenyangkan! Tanya kenapa? Mengapa setiap ibadah di gereja, banyak jemaat yang setia menanti doa berkat dari sang pendeta, namun begitu terburu-buru mau pulang ketika menaikkan pujian doksologi yang menutup ibadah? Itu semua berakar dari motivasi diri dalam menyembah dan beribadah di gereja. Itu semua berakar dari bagaimana menempatkan Allah sebagai Allah. Kalau Allah ditempatkan tidak lebih daripada berhala yang mudah disuruh-suruh untuk memenuhi semua kebutuhan dan kemauan kita, jadinya ya seperti ini.
Oops, semua ini bukan tulisan anti berkat Tuhan, lho. Berkat kog ditolak! Ya itulah, semua kembali kepada bagaimana kita menempatkan berkat secara tepat di dalam relasi kita dengan Allah. Yang namanya berkat itu tergantung kerelaan hati yang memberi; diberi yang syukur, tidak juga puji syukur. Bukankah berkat identik dengan anugerah? Coba lihat janji berkat Allah kepada Abraham dalam Kejadian 12:1-3? Apakah Abraham berhak menuntut, ketika kesulitan hidupnya datang? Di sinilah letak kesalahannya, iman Abraham dibuktikan melalui ketaatannya kepada Allah, baru kemudian janji berkat Allah digenapi. Pemahaman ini jangan dibalik-balik. Berkat adalah dampak dari penyembahan yang benar kepada Allah. Maka berkat tidak perlu dikejar-kejar, terlalu dirindukan, atau bahkan dipuja-puja. Kalau kita sedikit lebih jujur, Perjanjian Baru malah mengajarkan kepada kita untuk berani hidup susah di tengah dunia ini. Perhatikan apa yang terus ditekankan penulis Injil mengenai mengikut Kristus: ”Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku” (Luk. 9:23; 14:27; Mat. 10:38).
Jadi, bagaimana selama ini kita melihat Allah? Coba simak pendapat St. Agustine yang sangat tajam ini: ”Allah menjadi Allah yang melukai harga diri manusia.” Dallas Willard pun berkomentar mengenai mentalitas meng-illahkan diri ini dalam bukunya, Renovation of the Heart: ”Jika Allah menjalankan alam semesta dan yang pertama-tama mengajukan klaim atas hidup kita, coba tebak siapa yang tidak menjalankan alam semesta dan tidak mendapatkan segala sesuatu seperti yang mereka sukai?” Masih tetap mau menjadi umat Tuhan yang sejati? Sangkali diri, pikul salib Kristus setiap hari, dan ikutlah Dia!


(buat "prof " en sobatku: thanks untuk risalah ”Mitos Kehendak Bebas”-nya...)

21 November 2006


Gift
by: James Thomson


Give a man a horse he can ride,
Give a man a boat he can sail;
And his rank and wealth, his strength and health,
On sea nor shore shall fail.

Give a man a pipe he can smoke,
Give a man a book he can read;
An his home is bright with a calm delight,
Though the room be poor indeed.

Give a man a girl he can live,
As I, O my love, love thee;
And his heart is great with the pulse of Fate,
At home, on land, on sea.

(when the loneliness comes this morning…)

11 November 2006

Selamat Jalan, Bang Roy...
(in memoriam Roy Simanjutak)

Selalu mengumbar senyuman manisnya; itulah kesan pertama yang aku tangkap dari seorang Roy Simanjutak; tidak pernah terlihat ja-im (alias jaga image), apalagi arogan. Aku mengenal entah berapa tahun yang lalu... Seingatku sudah sejak aku ngikut pelayanan mahasiswa di Jember. Jelas dia lebih senior dari aku (untuk itu aku panggil "Bang"), tapi kesan menggurui apalagi sok tahu tidak pernah terlepas dari bibirnya.
Cakep; istriku juga katakan itu... Secara fisik Bang Roy lumayan sedap dipandang... Singkat kata, pasaran tinggilah... Tapi beberapa waktu yang lalu aku sempat bertanya dengan sedikit bercanda, "Kog dari dulu nggak punya calon sih, Bang? Apa perlu aku carikan? Yang Batak atau apapun?" Seperti biasa dia cuman senyum...
Kemaren, aku bertanya sama Mas Jo, teman dan senior Staf Jember, "Kog sepatu Mas Jo kayak punya Bang Roy sih? O ya, Bang Roy kog gak pernah kelihatan main ke sini yan?" Memang sejak bulan lalu Bang Roy diterima kerja di Jember dengan tugas di Banyuwangi. Seperti biasa, masih demen jadi salesman. Mungkin hobi di jalanan kali ya?

Jumat, 10 November 2006 kemaren aku lagi asyik ikut Halal bi Halal di "Gang Kelinci" (jalan di sekitar rumahku). Tiba-tiba sms masuk dari Mas Jo yang lagi di Banyuwangi, "Yus, Bang Roy kecelakaan di Jember, meninggal. Jenasahnya malam ini langsung dibawa ke Jember dari RSU Jember... Beritahu teman-teman alumni."
Ah..., Tuhan, mengapa Kau panggil begitu cepat... Padahal dia belum juga merasakan cinta seorang istri... Padahal belum lama berselang Papa dan Mama Bang Roy Kau panggil dengan begitu cepat pula... Padahal Anet dan adiknya masih butuh figur sang abang... Padahal aku dan Mas Jo masih punya banyak rencana bersama Bang Roy... Padahal... ah... Tuhan...



Hanya satu yang menjadi penghiburan kami: "Selanjutnya kami tidak mau, saudara-saudara, bahwa kamu tidak mengetahui tentang mereka yang meninggal, supaya kamu jangan berdukacita seperti orang-orang lain yang tidak mempunyai pengharapan. Karena jikalau kita percaya, bahwa Yesus telah mati dan telah bangkit, maka kita percaya juga bahwa mereka yang telah meninggal dalam Yesus akan dikumpulkan Allah bersama-sama dengan Dia" (1Tes. 4:13-14). Selamat jalan Bang Roy, selamat jalan Sobat...






(Sabtu, 11 November 2006, 11.47 a.m.)



Berbicara tentang Kedaulatan Allah: Siapa sih kita…?
Sebuah Refleksi Yer. 18:1-23


Sebuah iklan rokok di televisi sempat booming dengan ungkapannya: "siapa sih kamu...?" Nampaknya ungkapan ini pantas diajukan kepada Yehuda yang terjangkiti penyakit arogansi alias kesombongan rohani. Siapa sih Yehuda di hadapan Allah? Bukankah pertanyaan ini lebih pantas diajukan secara terbalik: "Siapakah Allah YHWH bagi Yehuda?" Dia bukan "sekadar" Allah yang berkuasa di wilayah teritorial Yehuda. Melainkan Allah yang berdaulat dan berkuasa atas segala bangsa. Dialah Allah yang mencabut, merobohkan, dan membinasakan bangsa-bangsa sesuai kehendak-Nya (ay. 6-7). Maka siapakah Yehuda sehingga ia mau berbantah-bantah dengan Allah dan nabi-Nya? Bukankah mereka tidak lebih dari sekelompok budak Mesir yang telah dibebaskan-Nya?
Bukannya berbalik dan mensyukuri janji pemulihan Allah bagi mereka yang bertobat (ay. 8-9), Yehuda malah bermegah dan begitu arogan dengan kemampuan mereka sebagai manusia (ay.18).
Yehuda adalah profil generasi yang begitu arogan dengan kemampuan mereka, sehingga bukan saja otoritas Yeremia yang dipertanyakan: bahkan mereka berani menolak otoritas Allah atas hidup mereka. Maka Allah tidak akan segan lagi memalingkan wajah-Nya dari Yehuda. Kengerian dan ketakutan tidak akan terhindarkan lagi menyergap Yehuda karena kedegilan hati merekan.

Saya sedang kuatir, jangan-jangan Yehuda adalah profil kita, gereja-Nya yang hidup di abad digital ini. Generasi sekarang ini telah menjadi begitu percaya dan bangga dengan kemampuan mereka. Generasi yang terus mempertanyakan dan meragukan setiap otoritas yang berusaha mengatur hidup mereka. Dan jika perlu, mereka juga akan mempertanyakan kedaulatan Allah atas hidup mereka... Apakah umat-Nya saat ini juga memiliki sikap yang mengerikan ini?
Keengganan bekerja sama dengan orang-orang yang berbeda, keengganan untuk menerima keunggulan pihak lain (atau gereja lain?), semangat ingin memecah diri atau mencari kebenaran sendiri, dan semangat mengunggulkan kelebihan-kelebihan diri adalah sikap-sikap yang siap membawa kita kepada arus arogansi dan keraguan terhadap segala otoritas. Dan jika perlu otoritas Allah atas hidupnya juga diragukan? Otonomi, Kemandirian, Independensi, dan "bebas dari pengaruh siapapun" adalah jargon-jargon generasi abad ini yang terus meragukan otoritas.
Belajarlah dari pesan Yeremia 18: kita adalah bejana yang tidak memiliki kuasa sedikitpun di tangan Sang Tukang Periuk Agung. Mampukah kita berbuat sekehendak hati kita?
Karena itu, terhadap segala arogansi jargon otonomi dan independensi, saya mengingatkan: "Waspadalah, waspadalah...!"

09 November 2006

Ucapan Bahagia Versi Dunia Sungsang


Bergembiralah orang yang "ambisius": karena mereka akan maju terus di dunia ini.

Bergembiralah orang yang keras kepala: karena mereka tidak pernah membiarkan hidup ini menyakiti mereka.

Bergembiralah mereka yang suka mengeluh: karena pada akhirnya mereka mendapatkan apa yang mereka mau.

Bergembiralah mereka yang masa bodoh: karena mereka tidak pernah dipusingkan oleh dosa-dosa mereka mereka.

Bergembiralah mereka yang tukang perintah: karena mereka akan mendapatkan hasil.

Bergembiralah yang berpengetahuan tinggi di dunia ini: karena mereka tahu mau ke mana.

Bergembiralah orang yang suka mencari masalah: karena mereka akan membuat orang memperhatikan mereka.

Apakah ini cerminan semangat dan motivasi hidup Anda...? Ataukah gambaran Khotbah di Bukit dalam Matius 5:3-12 lebih cocok menjadi gambaran hidup yang anda kejar...?




(puisi satirical di atas dikutip dari buku C. Swindoll Improving Your Serving yang juga mengutip dari gambaran J. B. Phillips dalam buku When God was Man)












08 November 2006


Kepemimpinan yang Menghamba
Sebuah Refleksi dari Interaksi Kepemimpinan
2-3 November 2006, “Duta Panisal” Jember

"You know that those who are considered rulers over the Gentiles lord it over them, and their great ones exercise authority over them. Yet it shall not be so among you; but whoever desires to become great among you shall be your servant. And whoever of you desires to be first shall be slave of all.
For even the Son of Man did not come to be served, but to serve, and to give His life a ransom for many."
(Mark. 10:42-45)


Berbicara tentang kepemimpinan tidak akan pernah ada habisnya. Ada ribuan definisi tentang kepemimpinan telah dibuat. Demikian pula ada ratusan buku kepemimpinan telah ditulis. Namun siapakah yang dapat menghayati dan menghidupi ajaran Yesus Kristus, Sang Pemimpin-Hamba yang Sejati itu? “Menjadi pemimpin bukanlah menjadi tuan (lord over) atas orang lain.” “Yang terbesar dari seorang pemimpin bukanlah ketika ia menjalankan kekuasaan (exercise authority) atas orang lain.” Menjadi pemimpin adalah menjadi hamba. Menjadi pemimpin adalah menjadi budak (slaves) atas orang lain. Dan yang terbesar dari seorang pemimpin-hamba adalah ketika ia berhasil melayani dan mau menjadi “jongos” (baca: budak) bagi orang lain. Itu semua adalah definisi kepemimpinan versi Sang Pemimpin-Hamba Sejati. Dan Dia tidak sekedar mendefinisikan, tetapi juga menjadi model yang nyata bagi definisi kepemimpinan tersebut: ”Anak Manusia juga datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan (a ransom) bagi banyak orang.”

Pertanyaannya bagi kita adalah, mudahkah proses menjadi pemimpin yang menghamba ini? Ah, betapa sulitnya bagi kita yang seringkali masih ego-centrist. Charles R. Swindoll (Improving Your Serve) menggambarkan, betapa manusia seringkali membangun sebuah menara piramida yang dibangun atas dasar ”aku,” ”milikku,” dan ”diriku sendiri.” Semangat kesuksesan demi pemujaan diri masih begitu melekat di dalam diri kita. Bahkan diakui atau tidak, disadari atau tidak, jiwa narsistik (memuja diri sendiri) seringkali menjangkiti banyak orang yang mengaku pengikut Kristus. Untuk itu, jalan memikul salib dan menyangkal diri nampaknya harus menjadi tangga pertama yang harus kita pijak: ”Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku” (Luk. 9:23; bdk. Mat. 16:24 dan Mark. 8:34). Dan jujur saja, menyangkali diri adalah sebuah proses yang harus dilatih…

(Selamat menjadi para pemimpin gereja yang menghamba Saudara-saudariku…)


Pembaharuan Hati


Yer. 17:1-13

Kebebalan: hati yang dipenuhi ukiran dosa oleh pena besi yang bermata intan

Kepada Yeremia, Allah menggambarkan betapa hati orang Yehuda telah begitu "bengkok," sehingga digambarkan mereka memiliki "hati yang telah terukir oleh dosa dengan menggunakan pena besi yang berujung intan." Begitu melekatnya dosa Yehuda di dalam hati mereka, sehingga keturunan demi keturunan akan terus hidup di dalam dosa penyangkalan akan eksistensi dan karya Allah YHWH atas hidup mereka.

Hati adalah pusat kehendak dan gerak kehidupan manusia.

"Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan" (Ams. 4:23).
"The heart is deceitful above all things, And desperately wicked; Who can know it?" (ay. 9).
Hanya Tuhan yang tahu dan menyelidiki hati. Ia mengerti motif terdalam dari kehidupan manusia. Hanya Dia yang mengerti kehendak dan pikiran manusia. Karena itu setiap isi hati yang terdalam tidak pernah tersembunyi bagi Dia.
Maka kemudian Yeremia mencatat; orang yang mengandalkan Tuhan dalam hatinya akan tampak dari kesegaran hidup yang ia hasilkan (ay. 7-8). Ia akan serti pohon yang tertanam di tepi aliran air: yang selalu hijau daunnya, yang tak mengenal musim kering, dan yang selalu menghasilkan buahnya. Sedangkan orang yang mengandalkan manusia akan tampak kering dan layu di masa-masa kehidupan yang berat. Ia dengan mudah akan tertiup angin lalu: terbang dan berlalu tanpa bekas... Maka mengarahkan dan menjaga kencenderungan hati kepada Tuhan adalah sebuah kunci kehidupan yang penuh kesegaran.



Lalu bagaimana hati manusia dapat dipulihkan dari "ukiran" dosa? Ada sebuah lagu "religius" mengatakan: "Jagalah hati, jangan kau nodai..." Mungkin manusia dapat membangun dan membentuk (to form) hatinya melalui "formasi spiritualitas"nya sendiri-sendiri. Ada "formasi spiritualitas" Hindu, ada "formasi spiritualitas" Islam, ada "formasi spiritualitas" Gerakan Zaman Baru, atau "formasi spiritualitas" Pascamodernisme.


Namun hanya Yesus yang menawarkan sebuah transformasi (bukan sekedar "formasi") hati yang tuntas. Transformasi menekankan pembaharuan yang tuntas dan bukan sekedar pembentukan yang bersifat eksternal.


"Barangsiapa minum air yang akan Kuberikan kepadanya, ia tidak akan harus untuk selama-lamany. Sebaliknya air yang akan Kuberikan kepadanya, akan menjadi mata air di dalam dirinya, yang terus-menerus memancar sampai kepada hidup yang kekal" (Yoh. 4:14).





Inspired by "Renovation of The Heart" (Dallas Willard) & Jer. 17:1-13

07 October 2006

Kesendirian adalah Sebuah Anugerah



Menjalani hari-hari seorang diri (alone) itu enggak enak. Namun, merasa merasa sendiri (lonely) meski ada banyak teman, lebih membuat kita menderita.

Yang lebih menyakitkan lagi adalah, menjalani hari-hari seorang diri dan sekaligus merasa tanpa teman untuk berbagi; to be alone and to be lonely too. Beberapa hari ini aku mengalaminya... Sepi abiez...

Namun satu yang menghiburkanku, Sang Penebusku tidak pernah meninggalkan aku sendiri. Kamu tahu mengapa? Karena satu alasan yang mendasar: Dia pernah ditinggalkan seorang diri. Semua teman meninggalkan-Nya, bahkan semua manusia berpaling daripada-Nya. Bukan hanya itu... bahkan seluruh mahluk tidak mempedulikan kesendirian dalam kepedihan-Nya. Yang lebih menyakitkan lagi: Bapa yang begitu intim dalam hidup-Nya seolah juga berpaling dari pada-Nya. "Mengapa Engkau meninggalkan Aku?" demikian jeritan sepi-Nya.


Sang Penebusku, Engkau pernah ditinggal sendiri, benar-benar seorang diri... Apalah arti kesendirianku bagi-Mu.
Terima kasih buat anugerah kesendirian ini, di mana aku lebih mengenal penderitaan kesendirian-Mu di kayu salib.
Terima kasih Yesus, Sang Penebusku.

27 September 2006

Gairah cinta yang bergulir di tengah musim...
(sekali lagi refleksi dari Kidung Agung 2:8-3:5)


Kekasihku mulai berbicara kepadaku: "Bangunlah manisku, jelitaku, marilah! Karena lihatlah, musim dingin telah lewat, hujan telah berhenti dan sudah lalu. Di ladang telah nampak bunga-bunga, tibalah musim memangkas; bunyi tekukur terdengar di tanah kita. Pohon ara mulai berbuah, dan bunga pohon anggur semerbak baunya. Bangunlah, manisku, jelitaku, marilah! Merpatiku di celah-celah batu, di persembunyian lereng-lereng gunung, perlihatkanlah wajahmu, perdengarkanlah suaramu! Sebab merdu suaramu dan elok wajahmu!" (2:11-15)

Kala sang kekasih laki-laki terus berlari - bagai kijang dan anak rusa - ingin segera menangkap kekasih perempuannya, sang kekasih perempuan lebih merindukan suatu perhatian yang penuh, kedewasaan di dalam penjagaan.

Dua kekasih ini akhirnya merayakan sukacita yang mereka rasakan di tengah ciptaan Allah dan di dalam aroma cinta mereka. Tuhan menciptakan dunia ini, segala keindahannya, mengaruniakan cinta kasih, keindahan seksualitas, serta memberikan kita kepekaan dan perasaan untuk menikmati semua itu.
Nikmati semua keindahan ciptaan-Nya, cinta, dan seksualitas di dalam luapan syukur kepada Dia yang telah memberikannya.

"Tangkaplah bagi kami rubah-rubah itu, rubah-rubah yang kecil, yang merusak kebun-kebun anggur, kebun-kebun anggur kami yang sedang berbunga!" (2:15)

"Rubah-rubah kecil" adalah sebuah gambaran bermacam masalah yang dapat mengganggu ikatan kasih dan pernyataannya di dalam jalinan kasih saling mencintai. Dua orang kekasih yang telah berkomitmen di dalam membangun ikatan cinta kasih mereka harus menyadari apa yang menjadi "rubah-rubah kecil" dalam ikatan kasih mereka yang berpotensi mengganggu kebun anggur cinta (pernikahan) di antara mereka. "Rubah-rubah kecil" itu harus ditangkap untuk kemudian terus diwaspadai oleh kedua kekasih di dalam menjalani ikatan cinta kasih di antara mereka.

Duhai kawanku, pemuda-pemudi yang masih berlari ke sana kemari bagai kijang lepas dari perangkap pemburu; janganlah bangunkan cinta sebelum waktu yang dikehendaki-Nya... Dambakan itu di dalam syahdu paku bersama Sang Khalik... Rindukan itu bersama ketenangan Kasih Sang Penebusmu... Namun, janganlah mereguknya sebelum waktu yang diberikan-Nya...

26 September 2006

Jangan Kaugerakkan Cinta Sebelum Waktunya...


Membaca Kidung Agung...?
Pasti banyak jemaat yang masih "blingsatan" ketika membacakannya. Bahkan harus diakui, para pengkhotbah di gereja seakan "tabu" mengkhotbahkannya. Makanya, jangan heran kalau remaja dan pemuda gereja "nyengir-nyengir kuda" ketika membaca kitab yang satu ini.
Porno...? Please dehh... Minta ampun sama Tuhan...
So what geetu loh...?

Yang pasti, sebenarnya orang Kristen musti bersyukur, karena Alkitab yang adalah satu-satunya Pedoman Hidup yang dapat diandalkan, berbicara sangat jujur tentang realita kehidupan manusia. Manusia itu utuh, karena Allah juga menciptakan dan mengasihinya secara utuh. Antara kebutuhan psikis, kebutuhan rohani, dan bahkan kebutuhan tubuh (baca: seksualitas), tidak ada yang dinomorduakan Allah, untuk dianugerahkan-Nya bagi manusia.
Jadi, Kidung Agung adalah penyataan Allah yang Agung tentang relasi yang paling intim antara dua insan yang disatukan-Nya. Kidung Agung adalah sebuah blueprint kehidupan seksualitas yang kudus dan penuh rasa syukur.

Seksualitas adalah untuk disyukuri di dalam "tenda pernikahan" Bukan untuk diumbar di pasar swalayan. Bukan pula untuk di-peti-es-kan seperti kasus korupsi yang melibatkan pejabat...

"...., demi kijang-kijang atau demi rusa-rusa betina di padang: jangan kamu membangkitkan dan menggerakkan cinta sebelum diingininya!" (Kidung Agung 2:7)

(24 September 2006, Sebuah Refleksi tentang Cinta dan Seksualitas)

19 September 2006



Latihan Badani Terbatas Gunanya...

(tapi tetep ada gunanya kog...)

Percaya atau nggak (percaya aja deh...), menjadikan hidup kita sebagai persembahan yang hidup bagi Tuhan bukanlah perkara yang mudah. Buktinya, untuk bertahan dari rasa kantuk di dalam pekerjaan setiap hari bagi Dia saja susah puol...

Anakku, Si Theo, dengan lugu ngomong, "Makanya, olah raga Yah, tiap hari. Jangan bobo' terus." Ups... aku diomeli Si Kecilku nih...

Memang benar, apa yang dimaksud Rasul Paulus dengan "latihan badani" bukanlah olah raga, tapi okelah kalau aku mencomot ayat tersebut untuk sekedar mengatakan kepada diri sendiri... "Kuasai dirimu dengan baik, latihlah untuk kebugaran bagi pekerjaan Tuhan." Bukankah persembahan hidup bagi Tuhan juga menyangkut kesehatan dan kebugaran tubuh ini...? Kalau sakit dan penuh kolesterol mana mungkin dapat memberikan hidup sebagai persembahan bagi Tuhan... 'Tul enggaak... (tuuuul....).

Buat yang rajin olah raga, berikan hidupmu bagi Tuhan; tubuhmu, hatimu, dan seluruh jiwamu...

15 September 2006


Kesatuan bukanlah keseragaman...
Kesatuan adalah menerima perbedaan apa adanya (dan bukan "ada apanya").
Kesatuan sejati adalah sebuah proses saling asah... saling asuh... dan bukan saling sesah...
Kesatuan sejati dikerjakan oleh Pribadi Ruh Suci yang melahirkan vitalitas alias kesegaran hidup; bangkit dari hidup yang usang... menuju hidup yang gress...
Kesatuan sejati harus ada di dalam sebuah persekutuan yang menyebut Dia: "Sang Penebusku."
(catatan 14 Sept. 06)

12 September 2006


Character Assassination
(sekali lagi pembelajaran dari Nehemia)

Bagaimana seorang Kristen meresponi sebuah character assassination?

Character assassination bukanlah sebuah "asinan karakter" atau "karakter yang asin." Character assassination dapat diartikan sebagai “pembunuhan karakter” atau dengan istilah yang lebih sadis: “pembantaian karakter.” Beberapa waktu yang lalu istilah ini mencuat, ketika seorang tokoh politik, Si Anu, merasa karakternya di assassin-ni (jangan baca: “di-asin-ni”) oleh tokoh politik Si Anu yang lain. Istilah yang lebih umum dari “pembantaian karakter” adalah “pencemaran nama baik.” Kita sering mendengar seorang artis Si Itu sedang melapor ke Polda (wuih… bukan main-main nih), karena merasa namanya dicemarkan oleh artis Si Itu yang lain.

Ternyata Indonesia bukan hanya negeri dengan seribu kasus pencemaran sungai oleh limbah industri, tetapi juga negeri dengan sejuta kasus pencemaran nama baik (yang sebetulnya sudah enggak baik…).
Budaya abad ini adalah budaya saling menuntut. Atas nama “hukum,” seseorang dengan mudah menuntut orang lain dengan tuntutan "pencemaran nama baik." Dan kisah “pencemaran nama baik” ini ternyata lebih menarik ibu-ibu rumah tangga (bersama pembantu rumah tangganya…), daripada kasus-kasus pencemaran limbah industri yang semakin menyedihkan.

Terkadang aku berpikir, apa yang sedang diperjuangkan manusia abad ini? Sebuah nama baik, ataukah ego manusia yang mengalami obesitas?

Lalu, bagaimana sikap seorang Kristen dengan "pencemaran nama baiknya"? Nehemia mempunyai sikap yang sangat menarik untuk kita pelajari (Neh. 6:1-19):
1. Ia tetap fokus pada pekerjaan yang Allah percayakan kepadannya (ay. 3-4). Nehemia tahu bahwa setiap mengerjakan pekerjaan Tuhan, pasti ada "oknum-oknum" yang tidak akan tinggal diam mengganggu jalannya pekerjaan itu.
2. Ia menyerahkan penuh masalah character assassination atau "fitnah" kepada Allah yang akan bekerja membalas mereka (ay. 9, 14).
3. Nehemia menggunakan hikmat Tuhan untuk mengetahui siapa lawan siapa kawan sejati, karena di dalam pekerjaannya juga ada orang-orang yang berkhianat kepada Sanbalat dan Tobia (ay. 10, 17-19).

Integritas hidup dan kebergantungan mutlak kepada Tuhan adalah kunci kemenangan seorang Kristen terhadap character assassination.

Menikah = Bercermin…?
(catatan minggu penuh pernikahan 8-10 Sept’ 06)


Seorang pakar pernah berkata, “Tujuan dari pernikahan dan keluarga adalah untuk menjadikan kita realistis.”
Wuiihh…, aku yakin kata-kata bijak ini bukan lahir dari sebuah lamunan semata. Aku sudah membuktikannya, prenzz… At least (binti paling tidak), selama lima tahun ini aku memang diajak untuk lebih realistis. Kalau boleh aku menerjemahkan kata-kata bijak-sana di atas dengan kata-kata “bijak-sini” ku:
“menikah itu sama dengan bercermin.”

Bagaimana tidak, dulu aku yakin banget, kalau tidur aku benar-benar seperti bayi dalam nina bobo bundanya: silent... alias “nyaris tak terdengar.” Eh, setelah aku bercermin kepada "cermin keluargaku," ternyata di saat tidur cukup banyak suara “yang tak tertafsirkan” keluar dari mulutku. Dan aku bahkan tidak bisa ber-pledoi, karena Theo kecilku mampu bersaksi atas dengkuran yang keluar dari bantal yang menutup wajahku.
Bagaimana tidak, aku dulu yakin banget dengan kebijakan dan hikmatku. Tapi setelah lima tahun bercermin kepada istriku, ternyata aku belum cukup dewasa untuk dikatakan bijak.
Ah… aku sebenarnya malu mengatakan gambaran wajah dalam cermin pernikahanku…

Namun, lebih daripada semua itu, bukankah sebuah pertobatan harus diawali dengan pengakuan dan kejujuran? Ketika kita bercermin dan melihat “wajah buruk” kita di dalam cermin, bukankah lebih baik kita mengakui dan menerimanya, daripada membelah cermin itu? Bahkan, mungkin itulah maksud Tuhan bagi kita ketika Ia memberikan kado “cermin pernikahan,” yaitu istri, anak atau keluarga kita. “Mereka keduanya telanjang, manusia dan isterinya itu, tetapi mereka tidak merasa malu” (Kej. 2:25).
Bila buruk muka, janganlah cermin dibelah. Akuilah, realistis-lah, dan kemudian benahilah diri kita… Itu namanya pertobatan…
Terima kasih kepada Tuhan yang memberikan kado "cermin keluarga" buat kita yang "nekat" menerimanya...

(buat Mas Jo-Jeng Wenis, & Nana-Lia, selamat bercermin… selamat hidup di dalam realitas sejati…)

08 September 2006

Ada Apa di dalam Pikiran Wakil Rakyat kita?

Menjadi orang yang mewakili rakyat seharusnya mewakili juga apa yang dirasakan rakyat. Kalau rakyat bisa "ber-ha-ha-ha", sang wakil wajib "ber-ha-ha-ha." Kalau rakyat lagi "kebanjiran rejeki," maka sang wakil boleh juga kebanjiran "angpau."
Namanya juga mewakili apa yang dialami rakyat...

Tapi yang terjadi di dunia Indonesia ini memang selalu "aneh binti ngawur."
Sang rakyat sedang menangis, eh... sang wakil cuman bisa meringis. Sang rakyat sedang resesi, eh... malah sang wakil terus resepsi.
Dan yang lucu, sang rakyat sedang menuntut pembagian dana kompensasi karena rumahnya kebanjiran lumpur lapindo, eh... malah sang wakil ikut menuntut karena "dana kompensasi" rapat masih "kurang banjir."

Yang diwakili sedang kebanjiran lumpur busuk, yang mewakili terus mengeruk banjir rejeki dari nafsu busuk...
Muak aku...

Aku mengajak Nehemia-Nehemia Indonesia untuk menangis bagi negeri ini...

07 September 2006

The world is charged with the grandeur of God,
It will flame out, like shining from shook foil;
It gathers to a greatness, like the ooze of oil
Crushed. Why do men then now not reck his rod?
Generations have trod, have trod, have trod;
And all is seared with trade; bleared, smeared with toil;
And wears man’s smudge and shares man’s smell: the soil
Is bare now, nor can foot feel, being shod.

And for all this, nature is never spent;
There lives the dearest freshness deep down things;
And though the last lights off the black West went
Oh, morning, at the brown brink eastward, springs—
Because the Holy Ghost over the bent
World broods with warm breast and with ah! bright wings.

(Louis Untermeyer)

06 September 2006

Hari ini aku capek... pek...
Tapi entah kenapa ya, ada sukacita di sudut hati sana. Mungkin memang menceritakan Kabar Baik itu selalu membawa sukacita, entah untuk kita, entah untuk yang mendengarkannya. Meski sempat kepotong waktu sama Franko, tapi senang juga lihat dia antusias. Apalagi liat Aris yang ketawa-ketiwi waktu mendengar dan meresponi The Gospel. Doaku buat kalian, adik-adikku, agar Sang Ruh Penjaga Jiwa terus berkarya di dalam hatimu...

Di tengah sukacita jiwa, aku juga harus "menyempatkan" diri menangis buat hati yang sedang gundah dan kecewa. Percaya enggak, ini pelayanan konselingku yang pertama sejak "turun gunung," Jeck... Aku nggak nemu'in solusi buat si konseli sih. At least aku bisa berharap dan berdoa bagi Tuhan, agar esok bisa membuat "sang hati ini" bisa sedikit tersenyum. Kacian deh Jeck, jauh dari ortu dan sanak saudara. God, keep her in Your Gentle Hand...

Tapi ternyata ada juga yang bikin hati ini capek... Untung nggak sampe "makan hati"... (hi... hi... gak jadi minum teh botol Sosro deh...). Masak ada orang yang mau melayani tapi cari mudahnya saja... "Aku mau melayani, asal... Aku mau nyenagin Tuhan, asal gak susah-susah ya..." Ah, mungkin Tuhan akan mengatakan, "Gak janji deh..." Melayani Tuhan itu bukan sebuah pilihan mudah, Preen... Jangan cengeng dong... Capek deh aku dengan kalian...

Tuhan aku mau bobo' malam ini di dalam rengkuhan sayap-MU... Cape' aku...
Met bobo' Ma, met bobo' my dear Theo...

04 September 2006

Cuman salam…?


Salam dapat berarti cuman basa-basi. ”Salam buat orang tuamu, ya.” Demikian seorang guru yang berusaha menunjukkan perhatian pada muridnya. Mungkin dia ‘gak terlalu pusing apakah salam itu disampaikan atau tidak. Namanya juga basa-basi. Besok toh akan menjadi basi…

Tapi salam juga berarti “sinyal” cinta yang “nyambung.” ”Salam ya, sama Si Katy. Gw naksir berat nih...” Demikian celoteh seorang ”remaja putih abu-abu” kepada sobatnya yang sekelas dengan Katy yang dimaksud.

Namun, salam yang disampaikan rasul Paulus kepada Febe, Priskila dan Akwila, Maria, Andronikus, Yunias, Apliatus, Urbanus, dan yang lainnya di Roma 16:1-16 bukanlah salam basa-basi, atau salam ”ada udang di balik batu.” Salam rasul Paulus kepada nama-nama ini adalah ”segenggam” pengakuannya yang utuh akan peran penting mereka di dalam hidup dan pelayanan Paulus. Dengan kata lain, tanpa mereka yang Tuhan tempatkan di sekitar hidup Paulus, hidup dan pelayanannya tidak akan seefektif saat itu. Paulus bukan sejenis manusia "kacang yang lupa kulitnya." Dia sadar betul, tanpa orang-orang yang ditempatkan Tuhan di sekitar hidupnya, ia bukan siapa-siapa, bahkan he's nothing.

Seberapa sering kita menganggap orang-orang yang di sekeliling kita berarti bagi hidup kita? Seberapa sering kita berkirim salam untuk mereka secara tulus. Seberapa sering kita berkata kepada saudara kita di dalam Tuhan, ”Salam dan peluk cium kudus dariku untuk sukacitamu di dalam Tuhan.”

(Coretan tangan ini buat kakakku di dalam Tuhan, Mas Heri P., yang sedang sakit. Thanks Mas…, you laid down in me a precious stone which has been changing my purpose in this life… Cepat sembuh ya…)

03 September 2006





My History is His-Story


Perjalanan hidupku bukanlah semata-mata garis linear yang bergerak tanpa suatu titik tujuan yang pasti. Yang sebenarnya, ada sebuah Tangan yang Kekal sedang merajut dan merenda hari-hariku sejak di dalam kandungan ibuku...

Rabu, 4 Desember 1974, aku lahir di dalam tenunan Sang Tangan yang Kokoh Kekal. Ayah dan Ibuku memberi nama aku Yusuf Deswanto. Entah nama "Yusuf" yang mana di dalam Alkitab yang ada di dalam benak mereka waktu itu. Yusuf yang dijual ke Mesir-kah, ataukah Yusuf papi dari Yesus Sang Kristus. Aku sendiri hingga kini lebih senang jika harapan orang tuaku adalah aku menjadi seperti Yusuf yang kemudian menjadi perdana menteri di Mesir. Satu joke yang sering aku ulang di dalam perkenalan adalah, "kalau Yusuf di Alkitab digoda oleh istri Potifar, tapi kalau Yusuf ini malah menggoda 'tante Potifar'." Tentu ini hanya sebuah canda yang terselip di dalamnya doaku, agar aku juga dapat hidup berintegritas seperti Yusuf yang menjadi alat Tuhan di dalam menyelamatkan suatu generasi tebusan-Nya.

Ayahku, Asmari (setelah menjadi Kristen, pendeta yang membaptisnya memberi nama "Pilipus" di depan Asmari), adalah seorang teladan rohani yang tak mungkin aku saingi. Jika banyak generasi saat ini kecewa dengan ayah mereka, aku adalah orang yang bangga dengan ayahku yang hidup di dalam persekutuan intimnya dengan Sang Khalik alam ini.
Ibuku seorang yang sangat sederhana. Bahkan hingga saat ini ia tidak mempunyai kesempatan untuk membaca Alkitab, karena "kebutaannya" akan akan simbol-simbol yang biasa kita sebut dengan huruf ini. Mungkin salah kami juga (anak-anaknya) yang tidak dengan tekun mengajarnya membaca. Namun demikian, tiap hari tidak pernah ia lewatkan tanpa menyapa Yesus yang telah menyelamatkannya. Dan lebih dari itu semua, ia sangat mengasihi aku, anaknya yang bungsu...

Aku lahir sebagai putra bungsu dari tujuh bersaudara, tiga orang perempuan, dan empat orang laki-laki (termasuk aku). Saat ini Mbak Lies, Mbak Mien, Mas Didik, Mas Nduk Kris, Mas Yi, dan Mbak Ester telah hidup sebagai diaspora di dalam keluarganya masing-masing. Hanya Mbak Lies yang tinggal bersama Ibu dan Bapak, karena suaminya yang meninggal, ketika Bonny, anaknya, masih kanak-kanak.

Sejarah adalah milik-Nya. Its history is His-Story... Tiga puluh dua tahun aku hidup di dunia ini. Lahir dari keluarga yang "biasa-biasa saja," namun Dia mengganggap aku "istimewa" sehingga Tangan-Nya menebusku dan bahkan menjadikan aku "mitra kerja-Nya." Zelo zelatus pro Deo...
"Karena kasih karunia-Nya, aku ada sebagaimana aku ada sekarang ini. Dan kasih karunia-Nya tak akan kubuat sia-sia."