27 December 2007

Natal dan Inkarnasi - Dahulu dan Kini
Antara Kerendahan Hati dan Arogansi
Sebuah Refleksi dari Yohanes 1:1-28


Natal yang sejati tidak bisa lepas dari kejujuran makna inkarnasi: Allah Sang Pencipta Jagad Raya rela menghamba, memenjarakan diri-Nya dalam keterbatasan daging. Bagaimana mungkin kita mampu memahami Sang Penguasa alam semesta yang akbar ini harus menjadi janin, dan dilahirkan sebagai bayi yang lemah? Namun itulah inkarnasi. Firman yang kekal rela menjadi daging, agar setiap manusia percaya yang masih hidup dalam kesia-siaan daging dapat diselamatkan dalam Roh-Nya. Dan Allah telah memilih media kehadiran diri-Nya dalam sebuah definisi kehinaan yang nyata. Bagaimana mungkin Sang Raja diraja harus lahir dalam kehinaan kandang. Itulah inkarnasi! Allah peduli dengan kehinaan hidup manusia; yang hidup dalam tipu daya, dalam gemerlap kemunafikan, dalam keangkuhan, dan dalam kehinaan hidup yang lain.

Inkarnasi akhirnya mau tidak mau "menyeret" orang yang mengimaninya untuk hidup rela dihinakan. Yohanes Pembaptis memberikan gambaran kepada kita apa arti Natal yang sebenarnya: Inkarnasi dan Kerendahan hati. Maka Yohanes Pembaptis pun berkata: "Dia harus makin besar, dan aku semakin kecil."

Namun kini, Natal telah meleset jauh dari kejujuran maknanya!
Ups, ini bukan sebuah kutukan atau umpatan.
Lihat saja, Natal di era materialisme dan hedonisme ini! Ia telah menjadi semacam atmosfir untuk ajang show-off bagi orang-orang yang menyebut anak-Nya. Natal telah menjadi ajang unjuk diri dan unjuk gigi. Bagi pribadi-pribadi yang menggandrungi pemujaan diri, Natal tak lebih sekadar ajang pamer fisik. Maka ketika mereka berkumpul menjadi satu, dengan mengatasnamakan gereja, mereka memaknai Natal sekadar sebagai wahana mempercantik "panggung Natal" dan bahkan memoles bangunan gereja dengan "gincu" yang tebal. Natal di gedung gereja yang baru nan seronok! Wow, siapa tak akan bangga?
Namun, alih-alih menghadirkan Natal yang sebenarnya, Natal itu sendiri telah kehilangan makna. Ia tak lebih daripada ajang pamer, tanpa peduli gubug tetangga yang reot. Tidak ada inkarnasi dalam diri umat-Nya masa kini. Maka semakin langka lah semangat dan jiwa menghamba, semangat menjadi pelayan.
Itukah Natal saat ini? Entahlah...

06 December 2007

The Gift of Pain

(Penderitaan itu Anugerah)


Rasa sakit, penderitaan, tekanan mental, terpojokkan, dan teraniaya; siapakah orang menginginkannya? Setiap insan takkan pernah merindukan sebuah derita dan rasa sakit. Reaksi "normal," atau lebih tepatnya reaksi umum dari setiap orang yang menghadapi kepedihan adalah berusaha menghindarinya atau bahkan menghilangkan kepedihan itu. Namun kunci kehidupan menjadi murid Kristus adalah "hidup menerima dan meresponi penderitaan secara tepat. " Menerima penderitaan dan meresponinya secara tepat? Ya, karena Kristus sendiri mengajar kepada setiap murid-Nya: "Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku" (Lukas 9:23; bdk. Mat. 16:24; Mrk. 8:34). Bahkan di bagian lain Tuhan Yesus berkata dengan nada negasi yang keras: "Barangsiapa tidak memikul salibnya dan mengikut Aku, ia tidak layak bagi-Ku" (Mat. 10:38; Luk. 14:27).
Setiap usaha untuk menyangkali realita pahit dalam hidup, sebenarnya tidak akan menyelesaikan masalah, sebaliknya akan melahirkan masalah baru yang lebih runyam. Tentu saja yang dimaksudkan di sini adalah kepahitan yang muncul bukan karena "kebodohan-kebodohan" kita sendiri. Yang dimaksudkan di sini adalah kepahitan dan kegetiran hidup yang seolah "muncul tanpa sebab." Dalam hal ini, Yakobus menyebutnya sebagai "ujian:" "Saudara-saudaraku, anggaplah sebagai suatu kebahagiaan, apabila kamu jatuh ke dalam berbagai-bagai pencobaan, sebab kamu tahu, bahwa ujian terhadap imanmu itu menghasilkan ketekunan. Dan biarkanlah ketekunan itu memperoleh buah yang matang, supaya kamu menjadi sempurna dan utuh dan tak kekurangan suatu apapun" (Yak. 1:2-4).

Maka dapat kita katakan bahwa rasa sakit dan kepedihan hidup bukan saja sebuah keniscayaan bagi hidup kekristenan. Duka dan luka ada sebuah prasyarat kemuridan di dalam Kristus, karena setiap orang Kristen memang dipanggil untuk memikul salibnya. Dan tujuan dari semuanya adalah kedewasaan dalam Kristus. Maka benarlah jika Dr. Paul Brand bersama Philip Yancey menyebut rasa sakit sebagai anugerah. Rasa sakit itu jika kita lihat dengan perspektif salib akan menjadi sebuah pembelajaran bagi kehidupan bagi Kristus. Sekarang semua bergantung kita. Menghindari salib itu, atau menerimanya sebagai anugerah. Sehingga di dalam kelemahan kita, kekuatan Allah nyata bagi kita; "Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku" (Fil 4:13). Dan di bagian lain Paulus bahkan menandaskan pernyataan yang luar biasa mengenai penderitaan: "Karena itu aku senang dan rela di dalam kelemahan, di dalam siksaan, di dalam kesukaran, di dalam penganiayaan dan kesesakan oleh karena Kristus. Sebab jika aku lemah, maka aku kuat" (2Kor. 12:10).

27 November 2007


Laugh with Immanuel

"The implications of the name 'Immanuel' are both comforting and unsettling. Comforting, because He has come to share the danger as well as the drudgery of our everyday lives. He desires to weep with us and to wipe away our tears. And what seems most bizarre, Jesus Christ, the Son of God, longs to share in and to be the source of the laughter and the joy we all too rarely know." - Michael Card

"All this took place to fulfill what the Lord had said through the prophet: 'The virgin will be with child and will give birth to a son, and they will call him Immanuel' - which means, 'God with us.'" Matthew 1:22-23 (NIV)
"Surely you have granted him eternal blessings and made him glad with the joy of your presence." Psalm 21:6 (NIV)

Why do we turn to God so quickly in times of sorrow and struggle, in danger and fear, and forget Him in the times of joy and rejoicing? If God is the giver of joy and He is "God with us," then He must want to share in those moments of great joy - and even those times of silly laughter and fun.

24 November 2007


An Ode to My Wife

A wife of noble character who can find?
She is worth far more than rubies
...
She is clothed with strength and dignity;
she can laugh at the days to come
(Proverbs 31:10, 25)

A wife is granted for me by the mercy of God,
She does not shine like a star,
not glamour,
not fashionated
But she stands like a mirror
which show my wrong ways and days.
Shw is not as hard as heroine
she is simple, but humble.
She loves me and grants me days of cheers.
She is my wife who says who am I.
She is my wife who give a smart son.
She is a wise wife for me.

21 November 2007


The Greatest Christmas Gift

"This is Christmas: not the tinsel, not the giving and receiving, not even the carols, but the humble heart that receives anew the wondrous gift, the Christ." - Frank McKibben


"And what a difference between our sin and God's generous gift of forgiveness. For this one man, Adam, brought death to many through his sin. But this other man, Jesus Christ, brought forgiveness to many through God's bountiful gift. And the result of God's gracious gift is very different from the result of that one man's sin. For Adam's sin led to condemnation, but we have the free gift of being accepted by God, even though we are guilty of many sins. The sin of this one man, Adam, caused death to rule over us, but all who receive God's wonderful, gracious gift of righteousness will live in triumph over sin and death through this one man, Jesus Christ." Romans 5:15-17 (NLT)


Each year we are reminded that Christmas should not be just about giving and receiving presents. But if we really think about Christmas, it truly is all about gift giving! At Christmas we celebrate the birth of Jesus Christ, the greatest gift ever given, by the greatest gift-giver of all, our wonderful God and Father!

16 November 2007


Ode to Theo

Memandangi telentang tidurmu
Ada damai yang mengisi hatiku
Mata terpejam, seolah seluruh dunia ikut menimang
Menyanyikan kidung syahdu merdu

Kala gelisah dan penat hati mendesak dada,
Desah halus nafas lelapmu adalah penyejuk penat kalbuku
Jika aku mampu menyeruak tenang-hening mimpimu,
Akan kupeluk dunia lelapmu
Agar galau-duka hati ini menjadi terobati

Theodicy, anakku…
Dalam telentang tidur lelapmu.
Kutemukan asa untuk esok pagi.

(Thursday eve’ – Nov 15, 2007)

15 November 2007



"Jesus said to his disciples: 'Be constantly on the watch! Stay awake!...You do not know when the Master of the house is coming.'" Mark. 13:33
First Sunday of Advent

O Jesus, your voice sounds through the house of my world: Be on your guard! Stay awake!
Yet I hardly hear you. Busy with so much, I go about the things I do like a servant trapped in household routine, hardly giving a thought to what my life is about. My spirit within has grown tired and you, my God, seem far away. How can I hear your voice today?
Speak to my heart during this season of grace, as you spoke to your prophets and saints. Remind me again of the journey you call me to make and the work you would have me do. I am your servant, O Lord. Speak to me in this holy season and turn my eyes to watch for your coming.
O Emmanuel, Jesus Christ,desire of every nation, Savior of all peoples, come and dwell among us.



When John the Baptizer made his appearance as a preacher in the desert of Judea, this was his them: Reform your lives. The reign of God is at hand!" Mt. 3:1
Second Sunday of Advent

O Jesus, in an empty desert your prophet John proclaimed: God is here, at your side. God has come to bring about a kingdom where injustice and suffering will be no more, where tears will be wiped away, and where those who turn to God will feast at a banquet.
"Turn now, your God is standing at your side. Reform your lives, God's kingdom is at hand." In an empty desert John said these things.
Give me faith like John's, O Lord, strong enough to believe even in a desert that you and your kingdom are no farther from me than my hand. Make my heart strong like his, not swayed by trials or snared by false pleasures. Give me courage to be faithful until your promises are fulfilled.
O King of all nations, Jesus Christ,only joy of every heart,come and save your people.


John's disciples said to Jesus, "Are you 'He who is to come' or do we look for another?" In reply, Jesus said: "Tell John what you hear and see: the blind recover their sight, cripples walk, lepers are cured, and the poor have good news preached to them..." Lk. 3:10
Third Week of Advent
O Jesus, I rejoice at the signs that say you are near. Your power is everywhere if I could see it.
Yet my eyes often see only darkness and what has yet to be done. I believe in you, yet when I look around evil seems so strong and goodness so weak. If you have come, why is there still so much suffering and why do the poor still despair? Where are your miracles today?
Your grace, O Lord, is more fruitful in my world than I imagine. I know your power is everywhere around me, if I could only see it. Show me today where the blind see and cripples walk.
Make my vision sharper than it is.


The angel Gabriel said to Mary, "Do not fear, Mary, you shall conceive and bear a son and give him the name Jesus. Great will be his dignity and he will be called Son of the Most High..." Lk. 1
Fourth Sunday of Advent
O Jesus, I believe you were born of Mary and are God's Son.
Your mysterious coming is beyond understanding. Yet like your holy mother, Mary, I wish that you come to me, for you promised you will. Let me serve you in any way I can and know that you are with me day by day as my life goes by.
Like Mary, your mother, though I know you only by faith, may my whole being proclaim your greatness and my spirit rejoice in your favor to me.
O Wisdom, holy Word of God, Jesus Christ,holding all things in your strong yet tender hands,come and show us the way to salvation.


The Mystery of Incarnation
Sebuah Refleksi Teologis dari 1 Timotius 3:16


“And without controversy great is the mystery of godliness: God was manifested in the flesh, Justified in the Spirit, Seen by angels, Preached among the Gentiles, Believed on in the world, Received up in glory.” (NKJV)


Tubuh atau daging adalah tempat di mana kita mendapatkan realitas hidup kita di dalam ruang, waktu, atau sejarah manusia. Di sepanjang zaman, manusia sering terjebak ke dalam dua ekstrim yang berbeda di dalam melihat tubuh. Pada satu sisi, manusia sering melihat tubuh sebagai suatu kutukan, sesuatu yang hina, “penjara” yang daripadanya kita harus melepaskan diri demi pencapaian sebuah “kesejatian hidup.” Di dalam pandangan yang mempertentangkan da-ging dan roh ini, kemuliaan hidup terletak pada roh manusia, dan bukan pada tubuh. Pada sisi ekstrim yang lain, manusia seringkali malah memuja tubuh dan dagingnya sedemikian rupa, sehingga orientasi hidupnya diarahkan hanya kepada pemujaan, pemuasan, dan pen-dandan-an tubuhnya. Bagi orang-orang seperti ini, tubuhnya adalah jati dirinya. “Your body is you” atau “you are what you wear” menjadi contoh motto hidup mereka.
Namun Alkitab memberikan sebuah pandangan yang “mendobrak” dan merombak kedua konsep di atas. Tubuh bukan untuk dipuja, karena tubuh telah sedemikian terkontaminasi dosa. Tubuh bukan pula untuk dinista, karena di dalam tubuhlah Allah menebus dosa manusia. Ya, inkarnasi adalah sebuah cara Allah yang unik; sebuah cara yang mence-ngangkan sekaligus memusingkan dunia. Bagaimana mungkin Allah Yang Kudus, Yang Mulia, Yang Kekal, dan Yang Tak Terjangkau segala pikiran zaman, kini telah memasuki sejarah manusia di dalam segala keterbatasan tubuh manusia? Karenanya, Rasul Paulus memproklamirkan sebuah pujian: “And without controversy great is the mystery of godliness: ‘God was manifested in the flesh’— Sesungguhnya agunglah rahasia ibadah kita: ‘Dia, yang telah menyatakan diri-Nya dalam rupa manusia…’”
Istilah “inkarnasi” memang tidak terdapat dalam Alkitab kita. Inkarnasi berasal dari bahasa Latin, in (ke dalam) dan caro (daging). Namun inkarnasi adalah konsep teologis yang berakar dari pernyataan Alkitab sendiri bahwa Allah atau Firman itu telah menjadi daging (band. Yoh. 1:14). Lalu mengapa Paulus menyebutnya sebagai “misteri ibadah”? In-karnasi adalah sebuah misteri karena kebenaran ini tersebunyi di sepanjang kehidupan, sampai akhirnya Allah sendiri me-nyatakannya di dalam kelahiran Yesus Kristus melalui anak dara Maria. Inkarnasi adalah sebuah misteri karena ia melampaui rasio dan segala pemahaman manusia. Namun misteri itu telah disingkapkan oleh Kitab Suci, sehingga ia telah menjadi “rahasia ibadah” kita. Di dalam inkarnasi, yaitu Allah yang menjadi Manusia, seluruh ciptaan, dan bahkan malaikat, dapat menyaksikan dan memuji kemuliaan Allah. Akhirnya, di dalam inkarnasi pula, seluruh bangsa boleh mengalami anugerah Allah, karena Yesus Kristus yang datang untuk “berkemah” di antara manusia, telah rela menjadi korban tebusan kekal bagi dosa-dosa manusia.
Itulah “rahasia ibadah” kita; setiap orang yang menyambut inkarnasi dan mau mengenal “Firman yang menjadi Manusia” itu ia akan hidup kekal (band. Yoh. 17:3). Penebusan manusia yang berdosa menjadi sebuah keniscayaan, karena Allah yang kudus rela “terpenjara” di dalam daging.
Inilah sebuah misteri itu; bagaimana mungkin Allah Sebagai Pemilik Langit dan Semesta nan Agung ini, rela hidup dalam keterbatasan daging? Bagaimana mungkin Allah yang menyediakan makan bagi segala mahluk di jagad raya ini, kemudian harus sedemikian bergantung pada sang ibu agar Ia sendiri dapat dikenyangkan oleh air susu sang ibu? Lalu bagaimana mungkin Allah yang mendandani bunga bakung dengan pakaian yang lebih indah daripada milik Salomo itu, kemudian harus rela kedinginan karena Ia sendiri dengan telanjang lahir di kandang?
Namun inkarnasi telah menjadi cara Allah yang demikian luar biasa untuk menyelamatkan kita, insan-insan yang hina. Di dalam daging, Dia harus disesah, dihempaskan, terluka, dan berteriak, “Aku haus!” Di dalam daging pula, Dia meregang nyawa, rela terpisah dari Sang Bapa yang kemudian Ia panggil, “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” Inkarnasi adalah sebuah misteri. Namun inkarnasi pula yang memampukan hati dan mulut kita tetap memuji... “Solo Christus! Soli Deo Gloria…!”

Original presented in Newsletter Perkantas Jember


Orang Benar Hidup Oleh Percayanya
Lukas 19:1-10


Introduksi
Di setiap zaman dan di dalam kelompok sosial manapun selalu saja ada orang-orang yang dianggap sebagai orang-orang buangan, orang yang paling dibenci, atau sampah masyarakat! Bagi masyarakat kita saat ini, para penghuni jeruji bersi, para penghuni panti rehabilitasi narkoba, atau para penghuni lokalisasi mungkin saja dianggap sebagai kaum terpinggirkan. Namun pada masa kehidupan Tuhan Yesus, seorang yang kaya raya seperti Zakheus bukanlah orang yang terhormat. Meski ia bergelimang dengan fasilitas serta kemewahan, Zakheus adalah salah satu contoh dari apa yang kita sebut sekarang sebagai “sampah masyarakat” waktu itu. Mengapa demikian? Seorang pemungut cukai saja, bagi masyarakat Yahudi waktu itu, adalah “pengkhianat bangsa” karena bekerja untuk pemerintah kafir Romawi. Apalagi Zakheus, yang adalah “kepala pemungut cukai.” Dialah “public enemy number one,” salah satu orang yang paling dibenci masyarakat Yahudi pada waktu itu! Orang tuanya memberi nama “Zakheus,” dari kata Zakkai yang berarti “jujur” atau “jernih.” Namun ironis, hidup Zakheus yang memeras bangsanya sendiri ternyata penuh dengan tipu muslihat dan permainan kotor mengeruk keuntungan dari penderitaan orang lain. Dan Zakheus pun semakin dijauhi masyarakat!!

Zakheus yang Antusias Mengenal Kristus
Penolakan masyarakat pada waktu bukan tidak mungkin membuat hidup Zakheus sangat kesepian. Mungkin sebagai kepala kantor pajak di kota Yerikho ia bisa membeli apapun yang ia mau, termasuk pelayan-pelayan yang bisa menemaninya. Namun sebagai manusia ia tentu membutuhkan teman yang mau menerima dia dengan tulus. Kisah dalam Lukas 19 :1-10 ini dimulai dengan perjalanan Yesus Kristus memasuki dan melintasi kota Yerikho. Kedatangan Sang Guru yang mulai tenar ini tentu saja sampai ke telinga Zakheus. Di sinilah muncul pengharapannya akan perubahan di dalam hidupnya yang sepi.
“Ah, aku harus melihat Dia…” demikian mungkin ia berpikir. “Selama ini orang banyak memperbincangkan mengenai Yesus dari Nazareth yang banyak menyembuhkan orang sakit, dan menjadi sahabat orang-orang terpinggirkan sepertiku. Mungkinkah aku dapat bertemu dan mengenal-Nya?”
Berbeda dengan para rabi yang sangat benci kepada para pemungut cukai, pelacur dan pendosa, Yesus justru termashur sebagai "sahabat para pemungut cukai dan pendosa" (Luk 7:34). Mungkin itulah yang mendorong Zakheus ingin melihat Dia. “Aku harus bertemu dengan Yesus dari Nazareth itu. Harus…!”
Maka, segeralah Zakheus keluar rumahnya. Melihat kerumunan orang yang mulai memadati jalan, dan menyadari tubuhnya yang pendek sehingga sulit melihat di sela-sela orang banyak, maka Zakheus pun berlari-lari dan akhirnya menemukan sebuah pohon ara hutan yang cukup tinggi namun mudah dipanjat. Maka memanjatlah Zakheus ke atas pohon itu...
Saya tidak bisa membayangkan. Zakheus tentu saja tidak mengenakan jeans ketat seperti anak-anak muda zaman sekarang. Pada zaman itu, seorang yang kaya seperti Zakheus ke mana-mana selalu mengenakan jubah yang mahal. Ketika ia berlari-lari mendahului orang banyak dan memanjat pohon ara hutan itu, dia pasti akan mengangkat jubahnya tinggi-tinggi. Di dalam tradisi Yahudi pada waktu itu, seorang laki-laki sekalipun pantang mengangkat jubahnya sehingga kakinya nampak bagi orang lain, karena hal itu berarti mempermalukan diri sendiri. Namun Zakheus bukan saja berlari mengangkat jubahnya. Ia bahkan memanjat sebuah pohon besar, dan tentu saja ia tidak peduli lagi setinggi apa jubahnya tersingkap. Mungkin saja pada waktu itu banyak orang-orang mencibirkannya dengan muak.
“Huh... lihat…! Si Kerdil Kepala Pemungut Cukai itu bukan saja tidak tahu malu memeras kita dengan pajak untuk orang-orang kafir. Dia bahkan sudah kehilangan rasa malunya hingga bertingkah seperti anak kecil…”
Namun Zakheus tidak peduli. Yang dipikirkannya hanyalah satu hal:
“Aku harus melihat Dia… Aku harus bertemu Yesus…” mungkin inilah yang dipikirkan Zakheus terus.
Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan. Apa yang dapat kita pelajari dari sikap dan tindakan Zakheus ini? Zakheus memiliki kerinduan, hasrat, dan antusiasme yang luar biasa untuk bertemu Yesus. Semangat dan kerinduan bertemu Yesus itulah yang membuat ia melakukan apapun, bahkan yang dianggap memalukan pada waktu itu. Di balik sikap yang penuh antusias ini sebenarnya tersimpan kerendahan hati Zakheus yang membutuhkan kehadiran Yesus dalam hidupnya. Di balik semangat Zakheus ini tersirat juga keinginan menggebu Zakheus agar hidupnya dapat diubahkan. Kesepian dan kekosongan hidupnya membuatnya rindu bertemu seorang Sahabat yang mampu mengubah hidupnya.
Antusiasme sekaligus kerendahan hati yang tulus seperti inilah yang harus menjadi modal dasar seseorang yang ingin mengalami pembaharuan hidupnya. Semangat dan hasrat yang tulus seperti yang dimiliki Zakheus ini tidak hanya harus kita miliki ketika kita bertobat menerima Kristus untuk pertama kalinya. Sikap antusias seperti ini harus terus kita miliki agar hidup kita terus diubahkan Allah. Karena itu, Tuhan Yesus sendiri di bagian lain mengajarkan: “Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga” (Mat. 5:3). Istilah “miskin di hadapan” adalah sikap yang terus membutuhkan Allah di dalam hidup kita.

Iman yang Memerdekakan vs. Konsep Hidup yang Terpenjarakan
Mari kita lanjutkan kisah kita kembali… Kisah perjumpaan Tuhan Yesus dengan Zakheus adalah kisah yang menggambarkan Allah (Yesus Kristus) yang bertindak terlebih dahulu untuk mencari dan menyelamatkan yang hilang (ay. 10). Ketika Tuhan Yesus telah sampai ke tempat di mana Zakheus memanjat pohon, Ia memandang Zakheus dengan tatapan bersahabat, dan kemudian memanggil nama Zakheus, “Zakheus, segeralah turun, sebab hari ini Aku harus menumpang di rumahmu.” Betapa Zakheus melonjak dengan penuh kegirangan. Orang yang ingin dikenalnya, ternyata telah mengenalnya. Ia mungkin sedikit terheran-heran,
“Dari mana Yesus tahu namaku? Ah, nampaknya Guru yang satu ini benar-benar penuh kuasa.” Namun segera ia melupakan keheranannya ini. Yang dirasakannya adalah sukacita yang meluap-luap. Bagaimana tidak, Sang Guru yang penuh kuasa ini hendak menumpang di rumahnya. Apalagi Sang Guru ini mengatakan “harus” yang berarti Ia pasti menumpang di rumahnya. O, betapa bahagianya Zakheus. Hidupnya selama ini dijauhi orang dan penuh dengan rasa sepi, saat ini malah dikunjungi oleh Seorang yang sangat luar biasa.
“Yesus mau menumpang di rumahku…? Ha… memikirkannya pun aku tak pernah.”
Maka Lukas mencatat di ayat 6: “Lalu Zakheus segera turun dan menerima Yesus dengan sukacita.”
Zakheus bersukacita karena untuk pertama kalinya ia merasakan kemerdekaan sejati; yaitu kemerdekaan dari rasa bersalah dan tidak berguna. Sukacita Zakheus adalah sebuah tanda kemerdekaannya dari keterasingannya selama ini. Zakheus bersukacita. Zakheus merdeka…!
Berbeda dengan Zakheus yang bersukacita, semua orang lain yang melihat peristiwa itu malah tidak senang ketika Tuhan Yesus menumpang di rumah Zakheus. Dalam tradisi mereka, orang yang menumpang di rumah, dan kemudian makan semeja dengan orang yang berdosa berarti menyetujui dosa orang tersebut. Orang-orang itupun bersungut-sungut:
“Lihat, Guru yang katanya penuh kuasa itu ternyata mau bergaul dengan Sang Pemungut Pajak yang berdosa itu. Jangan-jangan…”
Jemaat yang dikasihi Tuhan. Sikap hati dan tindakan Zakheus yang penuh antusias dan sukacita dengan indah seolah dipertentangkan (dikontraskan) dengan sikap orang-orang yang bersungut-sungut. Zakheus tidak mau terpenjarakan dengan kondisi hidupnya yang berdosa dan disisihkan masyarakat. Ketulusan, kerendahan hati, dan antusiasme-nya telah membawa Zakheus pada kemerdekaan hidup. Sedangkan orang-orang yang merasa sudah cukup puas dengan hidupnya, sehingga mereka merasa tidak membutuhkan Yesus, akhirnya terus hidup dalam keterpenjaraan. Zakheus telah berubah dan dimerdekakan. Namun orang-orang ini tetap terpasung dengan konsep pikirnya…
Jemaat yang dikasihi Tuhan, ketertutupan hati orang-orang ini terhadap perubahan hidup sangat mungkin terjadi dalam diri kita sendiri. Kita semua memiliki potensi terpasung dalam konsep pikir yang tidak mau berubah. Diawali dengan cara pandang kita yang cenderung memenjarakan diri dan orang lain:
“Ah, dari dulu aku khan begini. Mana bisa aku berubah.” Akhirnya cara pandang ini kita terapkan kepada orang lain: “Dasar kamu gak pernah berubah, dari dulu memang begitu. Sampai kapanpun kamu nggak mungkin berubah.”
Mari kita belajar dari Zakheus yang membuka dirinya kepada perubahan yang dikerjakan Allah. Dengan sikap keterbukaannya inilah, ia mengalami keberdekaan hidup. Imannya terhadap perubahan telah membawa hidup Zakheus benar-benar diubahkan oleh Allah melalui kehadiran Yesus Kristus. Hal inipun bisa kita alami!

Iman yang Merubah Tujuan dan Orientasi Hidup
Apa yang terjadi ketika Zakheus, Kepala Kantor Pajak Yerikho, berjumpa dengan Yesus dan menerima Dia di rumahnya?
Sebagai respons dari kasih Yesus yang telah menyentuh hidupnya, Zakheus menyatakan pertobatannya sekaligus perubahan orientasi hidupnya: “Tuhan, setengah dari milikku akan kuberikan kepada orang miskin dan sekiranya ada sesuatu yang kuperas dari seseorang akan kukembalikan empat kali lipat.”
Zakheus sungguh-sungguh bertobat, dan mengalami perubahan orientasi hidup secara mendasar (radikal) dan menyeluruh (total). Sebagai respons atau tanggapannya terhadap anugerah Allah, Zakheus melepaskan separuh atau 50% dari kekayaannya untuk dipersembahkan bagi orang-orang miskin. Bukan hanya itu, dia berjanji untuk mengembalikan empat kali lipat dari harta kekayaannya, seandainya ada yang diperolehnya dengan cara memeras orang lain. Jika kedua hal ini dilakukan, tanpa menghitung jumlah uang yang mungkin akan dikembalikan Zakheus kita bisa memperkirakan bahwa Zakheus berada di ujung kebangkrutan!
Di sinilah kita melihat suatu makna pertobatan yang sangat dalam. Sebelum bertemu Tuhan Yesus, apa yang terus diinginkan dan dikejar-kejar Zakheus adalah harta dan harta. Harta lah yang selama ini menjadi sandaran hidupnya. Harta pula yang selama ini menjadi tuhan atau mammon nya. Namun setelah bertemu dan mengenal Kristus semuanya itu bukan lagi menjadi tujuan dan pusat hidup Zakheus. Hal ini mengingatkan saya kepada ungkapan Rasul Paulus dalam Filipi 3:7-8: “Tetapi apa yang dahulu merupakan keuntungan bagiku, sekarang kuanggap rugi karena Kristus. Malahan segala sesuatu kuanggap rugi, karena pengenalan akan Kristus Yesus, Tuhanku, lebih mulia dari pada semuanya. Oleh karena Dialah aku telah melepaskan semuanya itu dan menganggapnya sampah, supaya aku memperoleh Kristus.”
Jika kita membandingkan dengan mundur beberapa ayat dari bagian yang kita baca, kita akan menemukan seorang tokoh yang sangat kontras dengan Zakheus, yaitu seorang pemuda kaya yang bertanya kepada Yesus dalam Lukas 18:18-25. Pemuda kaya ini adalah seorang dengan kualitas yang sangat luar biasa; seorang pemimpin, seorang kaya yang masih muda, seorang yang siap menjadi murid Kristus (ia panggil Yesus, “Guru”), ia juga seorang yang gemar melakukan Hukum Taurat, bahkan rutin memberikan perpuluhan seperti diamanatkan hukum taurat, tetapi ia masih belum juga berkenan untuk memperoleh keselamatan yang dari Allah. Tetapi ia menganggap bahwa dengan kualitas seperti itulah pastilah ia menerima keselamatan. Padahal motif-motif terdasar, orientasi dan tujuan hidup di dalam dirinya bukanlah mentaati Allah, melainkan kesenangan dirinya sendiri. Hal ini nampak ketika akhirnya Tuhan Yesus menantang dia untuk melepas semua hartanya. Alkitab mencatat sebuah respons yang sangat bertolak belakang dengan respons Zakheus: “Ketika orang itu mendengar perkataan itu, ia menjadi amat sedih, sebab ia sangat kaya.”
Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan. Tema kita pagi ini adalah: “Orang Benar Hidup Oleh Percayanya.” Iman dan keputusan Zakheus adalah sebuah teladan penting bagi hidup kita. Karena itu Tuhan Yesus sendiri berkata: “Hari ini telah terjadi keselamatan kepada rumah ini, karena orang inipun anak Abraham.” Ungkapan “anak Abraham” berarti bahwa Zakheus memiliki iman ang sama dengan Abraham, sehingga secara rohani ia layak menjadi anak Abraham.
Iman adalah respons kita terhadap penyataan kasih karunia Allah atas hidup kita. Respons yang paling mendasar terhadap kasih karunia Allah yang telah Ia nyatakan melalui Yesus Kristus dalam hidup kita adalah perubahan hidup secara menyeluruh. Motif-motif dasar kita, tujuan hidup kita, ambisi kita, tempat kebergantungan dan tempat sandaran hidup kita, semua harus berubah secara total dan radikal (artinya: sampai ke akar-akarnya). Janganlah kita seperti orang Israel di PL yang sekadar mengalihkan obyek penyembahan kita dari berhala kepada Allah. Tetapi lebih dari itu, kita harus menempatkan Allah sebagai Tuhan yang berkuasa dan menjadi pusat hidup kita.

Penutup
Seekor ulat yang menjijikkan hanya bisa melakukan pekerjaan menggemukkan dirinya sendiri: makan, makan, dan terus menggerogoti dedaunan. Namun ketika ia berubah menjadi seekor kupu-kupu, ia tidak sekadar berubah bentuk menjadi indah, tetapi kebiasaannya dan gaya hidupnya yang menggerogoti daun pun ditinggalkannya. Apa yang dilakukan kupu-kupu tidak lain adalah menghiasi taman dan membantu penyerbukan.
Iman bukan sekadar mengakui Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat pribadi. Iman adalah hidup sehari-hari bagi Kristus. Hidup sehari-hari karena Kristus. Karena “Orang benar akan hidup oleh Iman!” Amin.



Khotbah di GKI Jember; Minggu, 04 November 2007

09 November 2007


The Mystery of the Incarnation
A Disputation Between Christ and the Human Form

(For the Feast of the Nativity)

Comest Thou peaceably, O Lord?
"Yea, I am Peace!
Be not so fearful to afford
Thy Maker room! for I am the Reward
To which all generations of increase
Looking did never cease.
"Down from amid dark wings of storm
I set My Feet
To earth. Will not My earth grow warm
To feel her Maker take the form
He made, when now, Creation's purpose meet,
Man's body is to be God's Mercy-seat?

"Lord, I am foul: there is no whole
Fair part in me
Where Thou canst deign to be!
This form is not Thy making, since it stole
Fruit from the bitter Tree.
"Yet still thou hast the griefs to give in toll
That I may test the sickness of man's soul."

O Lord, my work is without worth!
I am afraid,
Lest I should man the blissful Birth.
Quoth Christ, "Ere seas had shores, or earth
Foundations laid,
My Cross was made!"

"Naught canst thou do that was not willed
By Love to be,
To bring the Work to pass through Me.
No knee
Stiffens, or bends before My Sov'reignty,
But from the world's beginning hath fulfilled
Its choice betwixt the valleyed and the hilled.
For both, at one decree,
My Blood was spilled.

"Yet canst Thou use these sin-stained hands?
"These hands," quoth Christ,
"Of them I make My need:
Since they sufficed to forge the bands
Wherein I hunger, they shall sow the seed!
And with bread daily they shall feed
My Flesh till, bought and bound, It stands
A Sacrifice to bleed.

"Lord, let this house be swept and garnished first!
For fear lest sin
Do there look in,
Let me shut fast the windows: lest Thou thirst,
Make some pure inner well of waters burst:
For no sweet water can man's delving win—
Earth is so curst.
Also bar up the door: Thou wilt do well
To dwell, whilst with us, anchorite in Thy cell.

Christ said "Let be: leave wide
All ports to grief!
Here when I knock I will not be denied
The common lot of all that here abide;
Were I so blinded, I were blind in chief:
How should I see to bring the blind relief?

Wilt Thou so make Thy dwelling? Then I fear
Man, after this, shall dread to enter here:
For all the inner courts will be so bright,
He shall be dazzled with excess of light,
And turn, and flee!
"But from his birth I will array him right,
And lay the temple open for his sight,
And say to help him, as I bid him see:
'This is for thee!'"

Laurence Housman (1865-1959)
The Oxford Book of English Mystical Verse, ed. Nicholson & Lee, pp. 488ff.

03 November 2007



Demokrasi Keintiman (1)

"DEMOKRASI KEINTIMAN":
SEBAGAI SEBUAH WAJAH REVOLUSI SEKSUALITAS
DAN TANGGAPAN KEKRISTENAN TERHADAPNYA


PENDAHULUAN
Perlakuan yang diskriminatif, dan bahkan represif dari dunia patriarki terhadap kaum perempuan dalam kurun waktu yang lama akhirnya melahirkan arus balik yang melawan hegemoni (penguasaan-kekuasaan) kaum pria. Gerakan feminisme yang memperjuangkan kesetaraan gender bagi perempuan terhadap laki-laki bukan sekadar merambah area filosofis-teologis, tetapi juga menyentuh sisi-sisi paling pribadi dari kehidupan manusia. Feminisme memang telah lama "berkibar" di dunia Barat. Namun, meski sedikit lambat, feminisme juga mulai menyentuh dunia pemikiran dan praktika kehidupan masyarakat Indonesia.
Sebagai masyarakat dengan penduduk muslim terbesar di dunia, masyarakat Indonesia tidak bisa dilepaskan dari tatanan patriarki yang sangat kuat. Beberapa sistem kebudayaan, misalnya dalam tatanan sosial suku Minang di Padang (Sumatera Barat), memang memiliki sistem matriarki (matrilineal). Namun, atmosfir keislaman yang kuat di bumi Indonesia secara umum telah menempatkan kaum perempuan di posisi yang lemah dan terpinggirkan. Dari masalah kekerasan dalam rumah tangga, masalah Tenaga Kerja Wanita (TKW) yang sering menjadi korban kekerasan, hingga isu RUU Anti Pornografi-Pornoaksi (RUU APP) yang konon mendiskreditkan kaum perempuan, semuanya cukup melukiskan gambaran hegemoni kaum laki-laki.
Kondisi tatanan yang sedemikian rupa mau tidak mau mendorong berkembangnya gerakan feminisme sebagai alternatif perjuangan membela hak-hak kaum perempuan. Pada kenyataannya, feminisme bukan saja menjangkau tataran filosofis dan perjuangan mengubah paradigma suatu komunitas terhadap perempuan. Bukan pula terbatas pada perjuangan untuk membela hak-hak kaum perempuan dalam ranah aturan baku dalam masyarakat (hukum dan perundang-undangan). Perjuangan feminisme pada gilirannya telah melampaui tuntutan kesetaraan gender, atau persamaan hak atas kaum perempuan di segala bidang. Kaum perempuan yang "menggeliat" terhadap kungkungan kaum laki-laki akhirnya juga berjuang menuntut kebebasan menentukan nasibnya sendiri sebagai mahluk eksistensial yang bebas dari "bayang-bayang" laki-laki. Hal ini bukan saja terbatas di dalam hal hak dalam bidang pendidikan, pekerjaan, dan hak untuk memimpin. Isu mutakhir dari feminisme telah mencapai wilayah yang paling pribadi dari manusia, yaitu seksualitas. Saat ini beberapa kelompok perjuangan hak perempuan di Indonesia telah sampai pada perjuangan untuk menentukan "status dan tujuan" seksualitas perempuan lepas dari "peruntukkan" bagi laki-laki. Isu inilah yang kemudian disebut sebagai "demokrasi keintiman."
Tulisan ini adalah suatu respon kekristenan menganggapi isu revolusi seksualitas, khususnya yang dikemas dan diramu di dalam gerakan feminisme. Makalah ini tidak akan menyoroti gerakan feminisme itu sendiri, tetapi akan lebih memfokuskan diri kepada apa yang disebut sebagai "seksualitas posdogmatik" dalam diri perempuan, yang kemudian disebut di sini sebagai suatu "demokrasi keintiman." Apa dan bagaimana demokrasi keintiman lahir dan apa tanggapan kekristenan terhadapnya akan dibahas kemudian dalam sub-bab berikut.

"DEMOKRASI KEINTIMAN": SEBUAH SEKSUALITAS POSDOGMATIK
Apa yang Dimaksud Demokrasi Keintiman atau Seksualitas Posdogmatik?
Istilah "Demokrasi Keintiman" yang dibahas di dalam makalah ini diambil dari judul sebuah buku yang ditulis Ratna Batara Munti, seorang Magister Sains dalam bidang Sosiologi jebolan UI yang juga Direktur LBH APIK Jakarta. Buku "Demokrasi Keintiman" terbitan LKiS Yogyakarta ini nampaknya mewakili apa yang saat ini sedang diperjuangkan oleh perempuan Indonesia. Buku ini merepresentasikan sebagian pemikiran aktivis perempuan Indonesia, yang mencoba memasuki wilayah seksualitas sebagai salah satu cara perempuan mendapatkan identitasnya.
"Demokrasi Keintiman" adalah salah satu bentuk pemaknaan ulang dari seksualitas kaum perempuan. "Demokrasi Keintiman" dimaksudkan sebagai salah satu cara pandang emansipatoris yang menandakan dimulainya pembebasan perempuan dari ruang seksisme yang meletakkan tubuh dalam fungsi subordinasi laki-laki. Inti pemikiran dari buku ini adalah sebuah pemahaman terhadap seksualitas perempuan yang mencoba lepas dari dogma agama (khususnya Islam), di mana tubuh dan seksualitas perempuan berada di dalam kontrol laki-laki. Hal yang paling hangat diperdebatkan adalah "peluang" penafsiran dogma agama (Islam) yang seolah melegalisasi praktek poligami. Paradigma seksualitas yang menolak dogma yang "berbau" hegemoni kaum laki-laki inilah yang sering disebut sebagai "seksualitas posdogmatik."
Kita masih mengingat dengan segar bagaimana getolnya para aktivis perempuan melawan penggodokan RUU APP. RUU APP ini diyakini oleh para aktivis perempuan sangat diskriminatif terhadap perempuan, di mana perempuan seolah ditempatkan sebagai penyebab utama (satu-satunya?) dari praktek pornografi dan pornoaksi. Apa yang diperjuangkan kelompok-kelompok pembela kaum perempuan ini ternyata tidak terbatas pada aksi turun ke jalan (demostrasi). Beberapa kelompok bahkan berjuang untuk meloloskan perundang-undangan yang melindungi dan membela hak emansipatif perempuan. Salah satu keberhasilan perjuangan mereka adalah lahirnya Undang-undang Anti Kekerasan Dalam Rumah Tangga (AKDRT), yang melindungi istri dari tindak kekerasan suami. Konon, RUU yang juga diajukan sebagai tindak lanjut AKDRT adalah RUU Demokrasi Keintiman yang mengatur dan memberikan perlindungan terhadap "kemandirian seksualitas" wanita (istri) lepas dari suami. Isunya, melalui udang-undang ini diharapkan perempuan (bahkan yang menikah sekalipun) memiliki kebebasan eksistensial atas seksualitasnya, terlepas dari otoritas suaminya. Dengan kata lain, (jika RUU ini terealisasi menjadi UU) seorang istri yang menolak berhubungan seksual dengan suaminya akan dilindungi oleh undang-undang.

Demokrasi Keintiman; Agenda Revolusi Seksual di Baliknya?
Seorang pengajar Universitas Islam Negeri Malang, Mohammad Mahpur, dalam harian Media Indonesia, 16 Juli 2005, mengaitkan pemikiran Ratna Batara Munti dalam "Demokrasi Keintiman" dengan buku sosiolog besar dari Inggris, Anthony Giddens, yaitu The Transformation of Intimacy: Sexuality, Love and Eroticism in Modern Societies. Diuraikan dalam buku ini, bahwa seksualitas modern menandai era baru yang disebutnya sebagai seksualitas plastik (plastic sexuality), ketika akselerasi seks berkembang tidak berbatas pada hubungan reproduksi, yakni soal bagaimana mengatur keturunan atau kepantasan dalam mencapai kepuasan batin (sexual intercourse).
Lebih dari itu seks telah menggelembung menjadi wacana yang direproduksi secara heterogen, dialektis, dan diapresiasi hampir tanpa lagi terbatas oleh legalitas dan hiruk-pikuk ritual perkawinan. Batas-batas larangan wicara seks perlahan-lahan bergerak secara evolutif dan revolusioner, dan sedang mengambil ruang liar yang merasuk menjadi komodifikasi hiburan (rekreasi), di mana setiap orang tidak lagi susah payah mencari realitas seks rekreatif.
Seksualitas plastik adalah cara apresiasi seks yang melintasi ambang batas normalitas-abnormalitas dan perayaan emansipasi praktik seks dengan beragam manifestasi kenikmatan (pleasure) tanpa batas dogma heteroseksualitas. Pembenaran biologis bagi heteroseksualitas sebagai normal menjadi kepercayaan yang dianggapnya sebagai tradisi kelaziman yang telah runtuh. Heterosentris bukan lagi dogma apresiasi baku untuk memperoleh kenikmatan seksual, ia telah jauh dari tuntutan reproduksi, suatu bentuk seksualitas yang tidak terpusat (decentred sexuality). Dalam buku ini dijelaskan bahwa ragam alternatif yang berkaitan dengan orientasi seksual diperluas melalui cara emansipasi dan pluralitas-inklusif bagai perayaan baru, yaitu dengan ditemukannya sebentuk kaidah bahwa seks adalah kenikmatan, tanpa ada penetrasi berkedok pembakuan kinerja dua kelamin an sich yang heterosentris.
Dalam seksualitas modern (atau pascamodern?), kaidah-kaidah seks juga ikut didaur ulang dan dihadirkan dalam kerangka revolusi dan pembaharuan cara pandang yang membebaskan. Menurut Giddens, seks telah masuk dan hidup dalam dunia plural yang memanifestasikan berbagai filosofi, pilihan hidup, wacana, atau representasi identitas yang mencerminkan adanya kekuatan self-awareness, self-knowledge, dan kontemplasi. Karena itu, sekarang seks telah hadir dalam bentuk refleksi kritis terhadap wicara agama, kepada pilihan hidup kontemporer dan membebaskan dalam beragam gaya hidup, politik tubuh, atau gugatan.
Perhelatan revolusi seks muncul berkaitan dengan menguatnya gerakan feminisme yang menolak represi seksisme dari kerja dominasi tradisi yang berpusat pada phallosentris sebagai biang penindasan perempuan. Uraian ini merujuk pada pemikiran pos-strukturalis Simone De Beauvoir, perempuan adalah produk imajinasi untuk kebutuhan dimiliki dan ditindas. Dan kenyataannya perempuan tidak pernah dibebaskan oleh masyarakat dari kebutuhan laki-laki, nafsu dan hasrat dalam melanjutkan keturunan yang selalu mereproduksi ketergantungan laki-laki dalam pemenuhan kesenangan seksnya terhadap perempuan.
Seksualitas pascamodern juga ditandai dengan penerimaan pluralitas seksual. Pluralitas seksual adalah sisi lain bagi terbukanya penerimaan keramahan akan realitas subaltern seperti homoseks, gay, lesbian, waria, menjadi wanita single parent atau budaya baru hidup bersama sebelum nikah (seks pranikah). Semua mempunyai nilai dan komitmennya masing-masing. "Seks itu pilihan!" Demikian jargon seksualitas kontemporer saat ini. Setiap individu berhak memutuskan untuk memilih kesukaan dan tanggung jawab mengenai seksnya. Apakah ia akan memilih kawin, menundanya, atau memutuskan untuk melajang cukup lama, semua bebas dari klaim bipolar (tarik-menarik dua kutub) kenormalan dan abnormalitas.
Begitu juga istilah perawan tua, hal ini tidak lagi menjadi salah satu muara bagi gagalnya perempuan dalam mencari pasangan atau perempuan dianggap tidak laku ketika tidak bersegera menikah. Keputusan ini merupakan hak bagi setiap orang. Ia bagian dari dunia eksistensial adanya fenomena persamaan seksualitas. Kesimpulan fenomenal tersebut memunculkan satu pandangan bagi perempuan bahwa tidak ada yang "salah" pada diri mereka dan menjadi orang yang "berbeda" adalah "pilihan."
Inilah efek dari seksualitas global. Demokrasi keintiman tidak hanya mengubah pandangan, tetapi motivasi, orientasi, sikap, tujuan atau praktik seksualitas yang jauh melampaui kaidah-kaidah konvensional. Pemikiran dalam "Demokrasi Keintiman" yang diwarnai pemikiran Giddens ini, kemudian merajut arena baru seksualitas dan gaya hidup seseorang dalam mengafirmasi pilihan seksualnya dan pengayaan untuk menoleransi berbagai perbedaan orientasi seksual. Perilaku perselingkuhan dapat menjadi contoh dalam hal ini. Perselingkuhan tidak identik dengan peluang laki-laki "bermain" dengan WIL (wanita idaman lain). Perempuan juga mempunyai peluang sama untuk berselingkuh atau punya PIL (pria idaman lain).
Dari gambaran pemikiran Giddens dalam bukunya, Transformation of Intimacy, kita dapat melihat dengan jelas bahwa di balik perjuangan untuk Demokrasi Keintiman terdapat sebuah agenda revolusi seksual. Revolusi seksualitas selalu ditandai dengan "bergugurannya" nilai-nilai yang dianggap tabu, baik oleh keluhuran sebuah kebudayaan, maupun oleh sebuah dogma agama. Apa yang dulu dianggap "memalukan" dan "tak pantas" telah berubah menjadi "wajar" dan "normal." Bagaimana sikap kekristenan terhadap isu Demokrasi Keintiman ini?
Demokrasi Keintiman (2)

PANDANGAN ALKITAB TERHADAP DEMOKRASI KEINTIMAN
Lalu bagaimana pandangan Alkitab sendiri terhadap revolusi seksual yang mulai merasuki dunia pikir feminisme Indonesia? Apakah yang dikehendaki Allah dengan seksualitas manusia? Apakah seks itu baik atau buruk? Apakah fungsi seksualitas manusia? Pertanyaan ini tidak begitu saja mudah dijawab, karena Alkitab tidak memberitahukan kepada kita secara eksplisit-normatif mengenai tujuan seksualitas manusia itu sendiri. Namun setidaknya kita dapat memahami dalam Perjanjian Lama (PL) dan Perjanjian Baru (PB) mengenai indikasi hakikat seksualitas manusia.


Pandangan Perjanjian Lama Terhadap Seksualitas
Dalam narasi penciptaan ada dua kisah yang berkaitan dengan seksualitas manusia. Narasi pertama adalah Kejadian 1:1-2ª, menekankan hakikat seksualitas bahwa seks itu baik. Seks itu baik karena seks merupakan bagian integral dari seluruh ciptaanyang dinyatakan sebagai "sungguh amat baik" (Kej. 1:31). Segala ciptaan amat baik, tak terkecuali seksualitas. Narasi penciptaan menekankan bahwa manusia diciptakan sebagai mahluk seksual. Manusia diciptakan sebagai laki-laki (ish) dan perempuan (ishshah), dan dalam perbedaan seks itu mereka mencerminkan Allah: "Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka" (Kej. 1:27). Itu berarti seksualitas tidak hanya sesuatu yang baik, tetapi sekaligus mencitrakan kesucian dan kekudusan Allah.
Narasi kedua menekankan alasan mengapa dan untuk apa seksualitas diciptakan. Perempuan diciptakan supaya laki-laki tidak kesepian dan menemukan teman hidup (Kej. 2:18). Tujuannya supaya terjadi komunitas manusia yang dinyatakan dalam kesatuan daging dan tulang (Kej. 2:22-24). Penciptaan perempuan adalah pintu menuju komunitas. Komunitas ini tentu saja dipahami dalam arti luas, tetapi secara khusus terjadi dalam hubungan personal seorang laki-laki (ish) dengan seorang perempuan (ishah).
Seks melekat pada diri manusia sebagai mahluk psikosomatis (berjiwa raga). Seks tidak hanya berurusan dengan tubuh tetapi juga dengan jiwa dan roh manusia (seantero kehidupan). Oleh karena itu, seks bukan suatu tindakan yang didasarkan naluri semata-mata, melainkan perilaku yang harus diatur, dikendalikan, dan ditata sesuai dengan hakikat manusia sebagai gambar/citra Allah.
Seks pada dasarnya tidak kotor atau najis. Kekotoran atau kenajisan seks melakat inheren pada diri manusia, terlebih sesudah kejatuhan manusia dalam dosa. Manusia berdosa berpotensi, berbakat, bertendesi, dan bertabiat berbuat jahat dan manipulatif, termasuk dalam hal seksualitasnya. Jadi sebagai manusia berdosa, seksualitas manusia tidak murni lagi namun telah memiliki bias, terdistorsi, dan rentan terhadap manipulasi. Justru karena kenyataan dosa itu, maka PL cenderung konservatif dalam memaknai kekudusan seksualitas manusia. Penyelewengan dipandang sangat legalistik.
Persetubuhan atau hubungan seks dalam bahasa Ibrani disebut yada’ yang dapat juga diterjemahkan dengan kata "mengenal." We ha adam yada’ et hawa isto (Kemudian bersetubuhlah manusia itu dengan Hawa istrinya; Kej. 4:1). Ini adalah kesaksian pertama tentang hubungan sedaging antara suami dan istri (Adam dan Hawa). Rahasia seks tidak dapat dijelaskan dengan metode obyektif, misalnya dengan metode ilmiah. Pengenalan seksual sangat berbeda dengan pengetahuan tentang seks. Sebab itu hubungan seks bukan sekadar suatu pemuasan biologis melainkan suatu pengenalan dari dalam terhadap mitra hidup lebih dari pengetahuan apapun.
Seksualitas dalam PL dikaitkan dengan perkawinan. Perkawinan adalah tempat yang sah untuk relasi seksual. Narasi penciptaan tidak secara eksklusif menyebut kata nikah, tetapi interpretasi Tuhan Yesus terhadap Kejadian 2:23-24 menunjukkan bahwa memang lembaga pernikahan merupakan satu-satunya tempat yang Tuhan berikan untuk relasi seksual (Mat. 19:4-6). Kesatuan daging adalah istilah yang diartikan secara hurufiah dengan berhubungan seks. Tetapi kesatuan daging tidak semata-mata berurusan dengan tubuh, melainkan seluruh kehidupan itu secara utuh. Jadi hubungan seks adalah cermin dari hubungan total jiwa-raga. Itulah sebabnya hubungan seks itu dilegitimasi dalam upacara pernikahan.
Keintiman seksual memang merupakan salah satu hakikat pernikahan itu sendiri. Namun keintiman seksual an sich bukan satu-satunya tujuan pernikahan. Perjanjian Lama sangat menekankan mandat regenerasi sebagai salah satu tugas manusia yang penting: "beranakcuculah dan bertambah banyak... (Kej. 1:28). Tentu saja mandat ini tidak bisa dipahami secara harafiah, tetapi harus dilihat sebagai salah satu tujuan relasi seksual dalam perkawinan. Hanya melalui hubungan seks regenerasi dapat dilakukan, walaupun sekarang ini, tekhnologi sedang menjanjikan kemungkinan regenerasi aseksual (misalnya kemungkinan kloning). Keintiman seksual diberikan Allah sebagai anugerah dengan tujuan lebih lanjut yaitu regenerasi/prokreasi/propagasi.
Dengan fungsi regenerasi ini maka kesucian seks melalui pernikahan mendapat tempatnya yang penting. Generasi manusia perlu diatur dan ditata supaya menciptakan masyarakat yang sehat. Maka melakukan hubungan seks secara serampangan akan melahirkan generasi yang tidak tertata. Akibat selanjutnya adalah kekacauan dalam kehidupan manusia (lihat misalnya Kej. 6:1-7; bdk. Roma 1:24-32). Sekali lagi, di sini ditekankan bahwa kejahatan seksual dan penyimpangan seksual (baik dalam hakikat maupun tujuannya) adalah refleksi dari ketidaksetiaan kepada Tuhan, Sang Pencipta.
PL mencatat betapa pentingnya menjaga kesucian seks sehingga hubungan seks yang terjadi di luar pernikahan yang sah dipandang sama dengan penyembahan berhala (Im. 18:1-30; 20:10-21). Dalam komunitas Israel, hukuman terhadap pelaku perilaku seksual di luar pernikahan yang sah adalah hukuman mati (Ul. 22:13-30). Kerasnya tindakan terhadap mereka yang melakukan penyimpangan seks di luar pernikahan disebabkan oleh keyakinan bahwa seksualitas adalah simbol kesetiaan kepada Tuhan. Penyelewengan seksual di luar perkawinan adalah pengingkaran dan penghinaan akan kesucian dan kekudusan Allah sendiri.

Pandangan Perjanjian Baru Terhadap Seksualitas
Perjanjian Baru tidak berbicara tentang hakikat dan tujuan seksualitas tetapi berefleksi tentang perilaku seksual dan menyorotinya atas dasar PL dan Yesus Kristus. PB membicarakan hakikat seksualitas dengan menunjuk pada narasi penciptaan (Mat. 19:1-12). Hubungan seks dilegitimasi dengan pernikahan sebagai hubungan yang berisi kesatuan permanen yang diselenggarakan oleh Tuhan sendiri: "apa yang telah dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan manusia" (ay. 6).
Salah satu tujuan pernikahan adalah intimasi seksual. Bukan sebaliknya, berhubungan seks untuk menikah. Pernikahan adalah komitmen kasih untuk hidup dalam penyerahan total antara suami istri. Pernikahan mengandaikan hubungan intim antara Kristus dan jemaat (Ef. 5:22-23). Dalam ayat-ayat di atas ditekankan bahwa dasar pernikahan adalah kasih Kristus (agape), suatu kasih yang menekankan pada aspek pengorbanan dan kesediaan memberi seperti pada diri sendiri. Dalam hubungan seks tidak boleh ada egoisme. Dalam hubungan seks memang ada eros (saling tertarik) tetapi harus disempurnakan dengan agape (memberi, berkorban untuk pasangan).
Di dalam PB, sangat ditekankan kesetaraan/kesepadanan laki-laki dan perempuan. Kesepadanan itu pertama-tama harus dinyatakan dalam hubungan seksual. Dalam pernikahan, perempuan tidak menjadi obyek pemuas nafsu suami. Di dalam pernikahan tidak ada hierarki atau struktur antara suami dan istri. Mereka adalah sama, setara, dan partisipatoris. Ketundukan istri sebagaimana ditekankan dalam Efesus 5:22-24 tidak mencerminkan hubungan hierarkis dan struktural melainkan hubungan fungsional yang menjadi simbol ketaatan dan kesetiaan jemaat kepada Tuhan. Demikian pula kasih suami yang ditekankan dalam Efesus 5:25-30 menjadi simbol dari kasih (agape) Kristus terhadap jemaat. Apabila diterapkan dalam hubungan seksual maupun dalam hubungan suami istri secara keseluruhan, maka kasih itu adalah kasih timbal balik.
Hubungan seks sebagai representasi hubungan laki-lakidan perempuan haruslah merupakan penyataan kasih dan hormat secara timbal balik: "Bagaimanapun juga, bagi kamu masing-masing berlaku: kasihilah isterimu seperti dirimu sendiri dan isteri hendaklah menghormati suaminya" (Ef. 5:33). Kasih dan hormat terhadap pasangan hidup adalah kasih dan hormat pada diri sendiri. Relasi seperti ini tidak mungkin bisa dilakukan di luar pernikahan. Kesucian dan kekudusan seks hanya bisa dipelihara dalam pernikahan. Hanya di dalam pernikahan hubungan seks sebagai penyataan kesatuan kasih dan hormat dapat dilakukan sepenuhnya.
Di dalam pernikahan, fungsi alat kelamin bukanlah semata alat memuaskan hawa nafsu. Seks adalah suatu komitmen kasih dan kesetiaan, dan bukan produk properti (hak milik). Maka Tuhan Yesus memaknai kata "zinah" tidak sekadar sebagai suatu penyelewengan tetapi juga penguasaan hawa nafsu: "Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzinah dengan dia dalam hatinya" (Mat. 5:28).
Dalam PB ditekankan makna kesucian dan kekudusan seksualitas tetapi tidak mengingkari keunggulan kasih dan pengampunan. Penyimpangan seksual dipandang sebagai bagian realitas keberdosaan dan kelemahan manusiawi. Kasus perempuan berzinah yang diperhadapkan kepada Tuhan Yesus tidak dihadapi secara legalistis seba-gaimana yang dipahami oleh PL bahwa pezinah harus dihukum mati (Im. 10:20, Ul. 22:22-24). Bagi Yesus, penyelewengan seksual (zinah) adalah hakikat keberdosaan manusia. Maka yang dibutuhkan bukanlah hukuman melainkan pengampunan, kesadaran, dan penyesalan (pertobatan) serta perubahan: "Akupun tidak menghukum engkau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang" (Yoh. 8:11).
Walaupun demikian, dalam banyak teks PB ditemukan pula sikap konservatif seperti dalam PL, khususnya sikap terhadap perilaku seksual yang dianggap menyimpang umpamamnya pelacuran/prostitusi, perzinahan, dan homoseksualitas. Kalau kita mengambil contoh homoseksualitas, kita akan melihat bahwa baik PL maupun PB melihatnya secara negatif. Dalam teks-teks PL, homoseksual dipandangan sangat negatif (Im. 18:22; Yeh. 16:49). Demikian pula teks-teks dalam PB, memandang homoseksual sebagai suatu perilaku seksual yang menyimpang (Rom. 1:26-27; 1Kor. 6:9-11; 1Tim. 1:10 dan Yud. 7). Kedua sikap itu rupanya sangat dipengaruhi oleh praktek homoseksuial di lingkungan masyarakat Kanaan (PL), dan dunia Yunani-Romawi (PB).
Walau demikian, ada perbedaan pandangan antara PL dan PB tentang realitas penyimpangan-penyimpangan seksual itu. Kalau PL sangat menekankan "hukuman," maka PB sangat menekankan "pengampunan" terhadap semua perilaku seks yang menyimpang. Walaupun penyimpangan seks seperti percabulan, perzinahan, dan homoseksual dipandang sebagai suatu hal yang buruk, namun pengampunan di dalam Yesus Kristus dapat menyucikan, menguduskan, dan membenarkan (1Kor. 6:11). Syaratnya tentu saja adalah lahirnya kesadaran dan penyesalan yang ditandai dengan penyerahan diri kepada Tuhan. Seksualitas yang baik adalah seksualitas yang diikatkan dengan Tuhan (1Kor. 6:12-20, khusunya ayat 17).
Seksualitas Posdogmatik dalam Kacamata Christian Worldview
Dari uraian teks-teks Alkitab (PL dan PB) yang menggambarkan pandangan Alkitab terhadap seksualitas, kita dapat menarik suatu "benang merah" Christian Worldview (Cara Pandang Dunia Kristen) terhadap seksualitas. Yang pertama, Alkitab telah menyaksikan bahwa manusia diciptakan Allah sebagai mahluk seksual. Seksualitas adalah sebuah pemberian Allah dalam diri manusia yang dinilai-Nya sebagai "sangat baik." Implikasi dari pemahaman ini adalah, seksualitas harus dipandang sebagai kenormalan dan kenaturalan hidup. Penempatan seksualitas secara tepat dalam hidup manusia akan berpengaruh terhadapa kepenuhan seluruh hidupnya.
Yang kedua, sebagai dampak dari kejatuhan manusia dalam dosa, seksualitas juga mengalami banyak distorsi dan penyimpangannya. Perilaku seksual yang menyimpang bukan sebuah bukti bahwa seksualitas manusia merupakan sesuatu yang najis dan menjijikkan, tetapi sebuah gambaran pengaruh dosa yang begitu merusak di dalam diri manusia. Hal ketiga yang perlu ditekankan di sini adalah bahwa seksualitas diberikan kepada manusia sebagai suatu sarana relasi antar manusia. Dalam hal ini, seksualitas manusia berfungsi secara secara ganda; untuk tujuan prokreasi, dan untuk tujuan intimacy (saling mengasihi). Kedua tujuan ini harus ditempatkan secara seimbang dan tepat dalam kehidupan manusia. Mengutip ungkapan Pdt. (alm.) Eka Darmaputera, "seksualitas memungkinkan mutualitas dan hubungan timbal balik antar manusia, kesetaraan, dan kesatuannya."
Tujuan seksualitas manusia di atas membawa kita kepada implikasi yang paling penting dari keberadaan seksualitas dalam diri manusia, yaitu bahwa perkawinan adalah satu-satunya lembaga yang diperkenan Tuhan bagi sebuah relasi seksual. Penggunaan atau praktek seksual di luar lembaga perkawinan bukanlah tujuan dari penciptaan seksualitas dalam diri manusia. Karena itu, tepat jika seksualitas harus ditempatkan di dalam kerangka paradigma "trilogi seksualitas," yaitu seks, cinta, dan pernikahan. Ketiga aspek ini tidak bisa dilepaskan satu dengan yang lainnya di dalam kita melihat seksualitas manusia secara utuh.
Jadi bagaimana tanggapan kekristenan (Alkitab) terhadap revolusi seksual atau seksualitas posdogmatik? Yang perlu kita pahami pertama kali dalam melihat seksualitas posdogmatik adalah bahwa paradigma revolusi seksualitas ini lahir sebagai perlawanan terhadap kooptasi dunia paternalistik yang mendiskrimasi perempuan. Disebut dengan istilah "posdogmatik" karena para feminis melihat dogma mayoritas agama-agama di dunia ini (termasuk Kristen) sangat menyudutkan posisi kaum perempuan. Di dalam hal ini, kita harus ikut berjuang mengurangi seminim mungkin perkembangan paradigma dan praktek diskri-minatif terhadap perempuan. Alkitab (baik PL maupun PB) meski secara deskriptif mempunyai "warna" patriarkhi, namun secara preskriptif sangat jelas menempatkan perempuan setara/sepadan dengan laki-laki. Karena itu, perjuangan kristiani baik lewat mimbar, maupun dalam wujud praktis, harus menyentuh pada pembelaan dan pemberdayaan perempuan secara utuh seturut mandat Alkitab.
Namun di balik motivasi yang mulia di atas, kita harus memahami bahwa gerakan demokrasi keintiman dengan paradigma seksualitas posdogmatik ini bergulir kepada pengingka-ran hakikat dan tujuan seksualitas dalam diri manusia (khususnya perempuan). Perlawanan yang dilakukan para aktivis perempuan seperti Ratna Batara Munti dengan isu Demokrasi Keintiman-nya harus kita tanggapi secara kritis. Sebagaimana yang diuraikan dalam sub-bab deskripsi demokrasi keintiman di atas, agenda revolusi seksual telah menempatkan seksualitas manusia (dalam kasus ini perempuan secara khusus) dari hakikat sebenarnya. Di dalam kekhususan kelompok feminisme, seksualitas perempuan ditempatkan sedemikian rupa lepas dari hakikat peruntukan-nya bagi laki-laki (dalam hal ini suami). Seorang istri memiliki hak otonomi atas tubuh dan seksualitas, lepas dari suaminya. Seorang wanita berhak mengatakan "tidak," bahkan kepada sang suami jika dia tidak ingin melakukan hubungan seksual. Dan hal ini dapat dilindungi oleh undang-undang. Inilah agenda demokrasi keintiman.
Alkitab, terutama PB mengatur hubungan suami-istri dengan sangat jelas. Salah satunya yang penting adalah berkenaan dengan seksualitas suami-istri diajarkan Paulus kepada jemaat Korintus: "Hendaklah suami memenuhi kewajibannya terhadap isterinya, demikian pula isteri terhadap suaminya. Isteri tidak berkuasa atas tubuhnya sendiri, tetapi suaminya, demikian pula suami tidak berkuasa atas tubuhnya sendiri, tetapi isterinya" (1Kor. 7:3-4). Menambahkan apa yang telah diuraikan di atas sebagai hakikat dan tujuan penciptaan manusia dengan seksualitasnya, ajaran Paulus ini sangat jelas bertentangan dengan semangat yang sedang diusung oleh gerakan demokrasi keintiman. Alkitab mengajarkan kepada kita bahwa tubuh istri adalah milik suami. Demikian juga dengan tubuh suami adalah miliki istri. Istri dana suami harus saling melayani dalam kebutuhan seksualitas mereka. Hal ini sangat bertentangan dengan inti paradigma seksual posdogmatik yang berusaha mencabut seksualitas manusia dari tujuan penciptaanya oleh Allah.
Contoh praktek demokrasi keintiman yang juga harus kita tolak adalah kebebasan bagi seorang perempuan untuk memuaskan kebutuhan seksualnya tanpa ikatan apapun, dan dengan sipapun. Pilihan kebebasan perempuan yang "dilindungi" seksualitas posdogmatik adalah seorang perempuan yang bebas "menggunakan tubuhnya" untuk keinginannya sebagai mahluk bebas, perempuan yang berhak menjadi single parent (menjadi ibu tanpa harus menikah), dan perempuan yang berhak mengekspresikan seksualitasnya tanpa dipagari norma-norma yang ada. Jelas bahwa pilihan-pilihan kebebasan seksualitas perempuan kaum penggerak demokrasi keintiman ini bertentangan dengan kebenaran Alkitab. Karenanya, setiap wanita/perempuan Kristen tidak sepatutnya memahami hal ini sebagai perkembangan zaman yang normal.

PENUTUP
Kaum perempuan dan segala keberadaannya (termasuk seksualitasnya) adalah gambar dan rupa Allah yang indah. Karena itu, perempuan harus dijauhkan dari eksploitasi, tindak kekerasan, serta pelecehan seksual. Kebenaran Kristen yang hakiki mendorong setiap kita ikut berjuang dalam perlawanan terhadap diskriminasi perempuan. Dalam keluarga, dalam bergereja, dan dalam bermasyarakat, setiap pemimpin dan umat Kristen harus belajar menempatkan perempuan sebagaimana Allah memandangnya.
Namun ketika kita diperhadapkan kepada gerakan "Demokrasi Keintiman" beserta paradigma seksualitas posdogmatiknya, kita harus dengan tegas mengatakan bahwa perjuangan mereka telah "kebablasan." Demokrasi Keintiman telah mencabut seksualitas seorang individu (dalam hal ini seksualitas perempuan) lepas dari natur penciptaannya. Demokrasi Keintiman bukan sebuah alternatif yang tepat bagi pemberdayaan perempuan. Setiap wanita Kristen seharusnya dengan berani berkata, "Yes for woman empowerment, but no for postdogmatics sexuality."

03 October 2007

Pembayatan Para Hamba(tan) Allah



Hari Jemuah (bukan Jumat) itu adalah hari yang paling ditunggu bagi para cantrik Padepokan "Aji Wingit." Para cantrik ini menurut rencana akan dibayat, alias dibaptis menjadi "para ksatria" Kitab Pusaka Gesang. Bagaimana tidak, selama bertahun-tahun plus selusin bulan mereka bergelut dengan Kitab Pusaka Gesang yang - katanya - sangat ditekankan dalam pendidikan Padepokan "Aji Wingit." Maka bukan saja ayah-bundo yang mereka boyong ke kampus yang baru nan megah itu. Bahkan eyang-buyut, keponakan, dan bahkan calon istri, mereka borong untuk membanjiri kampus yang sedang kinyis-kinyis itu. Para cantrik yang telah menggunakan jubah kebesaran itu nampak begitu bangga. Sang cantrik laki-laki berjalan bak pahlawan yang siap perang, begitu gagah meski di kancah persilatan Kitab Pusaka Gesang nanti mereka belum tentu dapat jatah. Sedangkan para cantrik perempuan mesam-mesem, bak putri keraton Solo yang siap dipinang raja.

Menjadi "hamba Allah." Begitu cita-cita calon ksatria Kitab Pusaka Gesang ini. Maka pesta pembayatan yang meriahlah yang menjadi impian mereka. Dari kabar burung yang mereka dengar, upacara pembayatan kali ini akan dibarengkan dengan Pembukaan Cadar Kampus "Aji Wingit" yang baru. Apalagi puluhan ksatria dan hamba Allah yang telah terlebih dahulu melalang buana di negeri pencak silat Kitab Pusaka juga akan datang melihat upacara pembayatan itu. Maka yang terbayang di benak para cantrik yang imut-imut dan amit-amit itu adalah pesta pembayatan yang megah dan menjadi pusat perhatian...

Sayang seribu sayang. Ketika Sang Eyang Guru membacakan naskah Acara Upacara Pembayatan, ternyata upacara pembayatan itu sendiri hanya menjadi semacam "band pembuka" dari gelegar acara yang lebih megah: Pembukaan Cadar Kampus "Aji Wingit!" Sayang sejuta malang, kaum keluarga, orang tua, buyut dan para calon istri para cantrik-pun akhirnya hanya menyaksikan upacara pembayatan itu menjadi semacam "iklan tusuk gigi" yang tidak punya taji lagi...

Seorang cantrik dekil bergumam, "Wualah, kita ini dibayat untuk menjadi 'hamba Allah' atau 'hambatan Allah' ya...? Masak kita yang menurut Kitab Pusaka Gesang bisa bernilai seluruh kemegahan dunia ini kalah dihargai daripada bangunan kampus yang fana ini ya?" Sang teman di pojok ruangan hanya dapat menjawab, "Mboh, aku yo bingung..."

BAHASA ROH
SEBUAH KONTROVERSI DI TENGAH KEKRISTENAN MODERN


PENDAHULUAN
Berbicara mengenai karya Roh Kudus di tengah gereja abad modern ini, tidak bisa dilepaskan daripada isu "bahasa roh" sebagai suatu fenomena yang mengikuti gerakan Kharismatik. Isu bahasa Roh merebak luas dan ramai didiskusikan seiring lahirnya Gerakan Kharismatik atau yang biasa disebut gerakan Neo-Pentakosta, yang (secara sengaja atau tidak) dikaitkan erat dengan doktrin "Baptisan Roh" dan "Kepenuhan Roh." Akhir-akhir ini isu "bahasa roh" tidak sehangat beberapa tahun yang lalu, di mana fenomena-fenomena ibadah yang dikaitkan denga "roh" begitu marak dengan munculnya apa yang disebut sebagai Toronto Blessing. Meski saat ini isu ini tidak sehangat pada waktu kemunculan Toronto Blessing, namun pada kenyataannya ajaran dan praktek "berbahasa roh" masih terus berlangsung di beberapa gereja kharismatik. Karena itu, pembinaan di tengah pelayanan mahasiswa harus terus secara kritis melihat dan mengukur sejauh mana fenomena "bahasa roh" sejalan dengan kebenaran Alkitab.

SEBUAH DESKRIPSI MENGENAI BAHASA ROH
Deskripsi Bahasa Roh dalam Alkitab
Sebenarnya "bahasa roh" adalah istilah yang kurang tepat digunakan secara luas berdasarkan asal kata dalam Alkitab Yunani. Alkitab menggunakan kata glossolalia, atau "bahasa lidah," berasal dari kata Yunani γλώσσα (glossa) yang artinya “lidah,” dan λαλώ (lalô) yang berarti "berbicara." Jadi, istilah yang lebih tepat digunakan seharusnya adalah "bahasa lidah." Pemakaian istilah "bahasa roh" dikaitkan dengan pemahaman bahwa bahasa ini merupakan karunia yang diberikan oleh Roh Kudus sendiri, sehingga secara umum kini kedua istilah tersebut menjadi interchangable (bisa dipakai bergantian).

"Bahasa roh" sebenarnya harus dibedakan menjadi dua, yaitu bahasa yang tidak dipahami (glossolalia), dan bahasa asing yang diucapkan oleh orang yang sebelumnya tidak mengerti bahasa itu (xenoglossia). Ensiklopedia online Wikipedia Indonesia, mendeskripsikan "bahasa roh" sebagai "suatu ucapan atau ungkapan, yang pengertiannya tergantung pada si pendengar dan konteksnya, bisa sebagai bahasa asing (xenoglossia), bisa sebagai suku-suku kata yang tampak tidak berarti, atau sebagai 'bahasa mistis' yang tidak dikenal; di mana ucapan/ungkapan ini biasanya muncul sebagai bagian dari penyembahan religius (religious glossolalia)." Sedangkan Lester Kamp mendefinisikan karunia berbahasa lidah sebagai "kemampuan untuk berkata-kata dalam bahasa yang dapat dimengerti orang, tetapi sebelumnya tidak diketahui oleh orang yang berbicara itu." Ini berarti seorang yang mempunyai karunia berbahasa lidah dapat mengerti dan mengucapkan bahasa orang lain (asing) dengan sempurna dan dapat dimengerti oleh si pemilik bahasa tanpa mempelajarinya terlebih dulu secara alami.

Di dalam Alkitab, bahasa lidah (xenoglosia) pertama kali terjadi pada Hari Pentakosta yang dicatat di dalam Kisah Rasul 2:1-4. Gambaran alkitabiah mengenai orang-orang yang berbicara dalam bahasa roh muncul tiga kali dalam Kisah Para Rasul, dan setiap kali dirangkaikan dengan fenomena "pencurahan Roh Kudus," yakni dalam Kis 2:4, 10:46, dan 19:6. Dalam peristiwa yang dicatat Lukas dalam Kisah Rasul 2:1-4, digambarkan fenomena "penerjemahan mujizat," di mana ketika para rasul sedang berbicara, orang-orang dari berbagai belahan dunia yang hadir mendengar mereka berbicara dalam bahasa mereka masing-masing. Beberapa penafsir menilai bahwa kasus biblikal ini merupakan contoh dari xenoglossia religius, yakni berbicara secara ajaib dalam bahasa-bahasa asing yang tidak dikenal oleh si pembicara itu sendiri. Di dalam kisah ini, karunia berbahasa lidah para rasul adalah semacam kemampuan untuk berbicara dalam bahasa yang mereka tidak kuasai, tetapi yang langsung ditangkap pendengar mereka sebagai bahasa ibu masing-masing pendengar. Jelas dalam peristiwa ini yang disebut sebagai "bahasa lidah" adalah bahasa manusia yang disampaikan para rasul, meski mereka sendiri sebenarnya tidak pernah mengenal bahasa-bahasa tersebut.

Di bagian lain, PB terjemahan King James Version, terdapat kata unknown tongue ("lidah asing") dalam 1 Korintus 14:2. Dari hasil penelitian sarjana Alkitab, kemudian kata unknown ("asing") ini dituliskan dengan huruf miring (italics), yang menandakan bahwa kata tersebut sedianya tidak terdapat dalam manuskrip aslinya dalam Bahasa Yunani. Para penerjemah KJV memasukkan kata "lidah asing" ini dalam hasil terjemahannya. Dalam Alkitab Terjemahan Baru (LAI), kata-kata ini diterjemahkan sebagai "bahasa roh" (dengan "roh" huruf kecil). Nampaknya fenomena "bahasa roh" di dalam jemaat Korintus yang dirisaukan Paulus berbeda dengan karunia berbahasa dalam bahasa lain yang dimiliki para murid di Yerusalem pada hari Pentakosta.

Beberapa uraian Paulus mengenai bahasa roh penting untuk kita perhatikan. Bahasa roh menurut Paulus adalah berkata-kata kepada Allah; bukan kepada manusia; "oleh Roh mengucapkan hal-hal yang rahasia, dan tidak ada seorangpun yang mengerti bahasanya (1 Kor 14:2). Ia juga mengatakan bahwa orang yang berkata-kata dalam bahasa roh membangun (memperbaiki) dirinya sendiri (1 Kor 14:4). Bahasa roh merupakan doa yang dilakukan oleh roh (1 Kor 14:14), dan merupakan bahasa pengucapan syukur yang sangat baik (1 Kor 14:16-17).
Pada bagian lain, Paulus menyatakan juga beberapa hal: Paulus meminta jemaat agar "jangan melarang orang yang berkata-kata dengan bahasa roh" (1 Kor 14:39). Ia berharap jemaat semua "berkata-kata dengan bahasa roh," tetapi lebih mendorong jemaat untuk "bernubuat," karena "orang yang bernubuat lebih berharga dari pada orang yang berkata-kata dengan bahasa roh" (1 Kor 14:5). Menurutnya, nubuat adalah kata-kata bagi manusia (jemaat) untuk membangun, menasihati, dan menghibur; sedangkan bahasa roh adalah bahasa untuk membangun diri sendir. Ia juga mengaku, "berkata-kata dalam bahasa roh lebih dari pada kamu semua" (1 Kor 14:18). Pada bagian lain Paulus meminta agar jemaat berlaku bijak dalam berbahasa roh, karena bila dalam suatu ibadah setiap orang berkata-kata dalam bahasa roh, maka orang-orang yang tidak percaya bisa mengatakan mereka "gila" (1 Kor 14:23).
Alkitab juga mencatat gambaran akan tata cara ibadah berkaitan dengan bahasa roh. Yang pertama, Paulus menegaskan bahwa jika dalam suatu ibadah sepenuhnya diwarnai oleh bahasa roh, maka orang lain tidak dapat mengerti apa yang dikatakan (1 Kor. 14:11). Di bagian lain dikatakan bahwa karunia-karunia Roh harus diusahakan untuk dipergunakan membangun Jemaat (1 Kor. 14:12). Di bagian selanjutnya dinyatakan: "Siapa yang berkata-kata dalam bahasa roh, haruslah berdoa agar diberikan juga karunia untuk menafsirkannya" (karena bila berdoa dalam bahasa roh, maka roh yang berdoa, dan akal budi tidak ikut berdoa – 1 Kor 14:14). Oleh karena itu, dalam suatu ibadah/pertemuan jemaat, Paulus menyarankan agar didominasi dengan penggunaan bahasa yang dimengerti oleh semua orang (1 Kor 14:19). Ini berarti, jika ada yang berkata-kata dalam bahasa roh, haruslah ada yang dapat menafsirkannya (1 Kor 14:27).

Alkitab juga mengajarkan bahwa bahasa roh berguna sebagai tanda. Bahasa roh merupakan tanda bagi orang yang belum beriman, bukan untuk orang beriman (1 Kor 14:22). Konteks dari poin di atas, menurut Yesaya 28:11, mengindikasikan bahasa roh sebagai "tanda penghakiman," ketimbang "tanda belas kasihan." Yesus sendiri menyatakan hal tersebut dalam Markus 16:17: "Tanda-tanda ini akan menyertai orang-orang yang percaya: mereka akan mengusir setan-setan demi nama-Ku, mereka akan berbicara dalam bahasa-bahasa yang baru bagi mereka."

Antara Karunia Roh, Baptisan Roh dan Bahasa Roh
Karunia Roh (tunggal: charisma; jamak: charismata) adalah pemberian Roh Kudus bagi setiap orang percaya. Hakikat makna "karunia" adalah bukan karena kemampuan atau hasil usaha manusia. Setiap orang yang percaya menerima karunia Roh (atau karunia rohani) dalam berbagai jenis. Berbeda dengan Karunia Roh yang bersifat khusus, Buah Roh bersifat umum. Buah Roh menjadi bukti karya Roh Kudus dalam hidup kita, dan akan mengindika-sikan kedewasaan rohani kita. Karena itu, dalam ajaran Paulus, Buah Roh tetap menjadi hal yang lebih utama daripada Karunia Roh. A. F. Ballenger dalam hal ini menuliskan:
"Barangsiapa yang mencari pernyataan Karunia Roh sebelum pernyataan buah Roh, menunjukkan bahwa ia dalam kondisi yang belum siap untuk dipercayakan Karunia tersebut. Orang yang mencari Karunia Mujizat sebelum kelemahlembutan tidak akan diberikan karunia tersebut. Bagi yang mengejar Karunia Bahasa Lidah, tetapi tidak dapat menahan diri, adalah tidak tepat diberikan karunia tersebut sebab satu lidah saja belum digunakannya dengan tepat. Orang yang menuntut Karunia Kesembuhan namun tidak memiliki kasih, sesungguhnya ia sendiri perlu disembuhkan terlebih dahulu."

Bagi beberapa kelompok dari gerakan kharismatik dan pentakosta, bahasa roh selalu menjadi tanda yang harus muncul jika seseorang sudah menerima baptisan Roh. Seorang penulis Kharismatik, Laurence Christenson, mengatakan, "Di luar pertobatan, di luat jaminan keselamatan, di luar mempunyai Roh Kudus, ada baptisan Roh Kudus." Ajaran ini didasarkan terutama pada dua bagian Alkitab:
"Sebab Yohanes membaptis dengan air, tetapi tidak lama lagi kamu akan dibaptis dengan Roh Kudus" (Kis. 1:5).
"Sebab dalam satu Roh kita semua, baik orang Yahudi, maupun orang Yunani, baik budak maupun orang merdeka, telah dibaptis menjadi satu tubuh dan kita semua diberi minum dari satu Roh." (1Kor. 12:13).
Kalimat "dibaptis dengan Roh Kudus" yang diucapkan Yesus di sini ditafsirkan sebagai Baptisan Roh. bSeorang yang sudah menerima Baptisan Roh otomatis menunjukkan tanda terjelas, yaitu berbahasa Roh. Bagi orang-orang kharismatik, orang Kristen yang sudah percaya kepada Yesus belum tentu dapat berbahasa Roh, karena mereka belum menerima Baptisan Roh ini. Contoh yang sering diberikan adalah para murid Yesus sendiri. Sebelum peristiwa Pentakosta, mereka sudah percaya pada Yesus, namun mereka baru bisa berbahasa Roh setelah menerima Baptisan Roh yang terjadi pada peristiwa Pentakosta itu. Karena itulah maka Baptisan Roh sering juga disebut sebagai Berkat Kedua (The Second Blessing).

Apa yang diucapkan Paulus dalam 1 Korintus 12:13 sebenarnya menunjukkan bahwa "dalam satu Roh" kita "telah dibaptis menjadi satu tubuh." Kata "telah dibaptis" di sini memakai bentuk kata kerja aorist tense, artinya an unrepeated operation, a completed past action, once and for all. Hal ini dipertegas oleh peristiwa di Efesus, di mana orang-orang Efesus sudah menerima baptisan Yohanes (fisik), namun belum menerima Roh Kudus (spiritual). Itu sebabnya Paulus berkata, "Sudahkah kamu menerima Roh Kudus, ketika kamu percaya?" (Kis. 19:2), dan "… mereka harus percaya pada Dia… yaitu Yesus" (Kis. 19:4). Hal ini menyiratkan bahwa orang-orang Efesus saat itu belum sungguh-sungguh percaya dan menerima Yesus secara pribadi sebagai Tuhan dan Juruselamat, sekalipun mereka sudah menerima baptisan Yohanes sebagai "tanda pertobatan." Hal ini juga banyak terjadi dalam gereja modern saat ini, di mana banyak orang dengan mudah menerima baptisan air, namun belum sungguh-sungguh menyadari dan melalui pertobatan yang sejati. Karena itu, jelas bahwa "percaya dan dibaptis dalam Yesus" tidak bisa dilepaskan makna dan kualitasnya dari "percaya dan dibaptis Roh." Dalam hal ini, "Baptisan Roh Kudus" lebih menekankan aspek spiritual, di mana seseorang mengalami karya Roh Kudus secara pribadi yang melahirbarukan dia hingga mampu meresponi anugerah di dalam Kristus. Sedangkan "baptisan air" adalah aspek "proklamasi fisik" seseorang yang menyatakan imannya kepada Kristus di tengah jemaat.

Karena itu, pemahaman bahwa "baptisan roh" adalah pengalaman kedua setelah menjadi Kristen yang ditandai dengan kemampuan "berbahasa roh" adalah pemahaman yang tidak berdasarkan penafsiran Alkitab yang bertanggung jawab.

PRAKTEK BAHASA ROH DI DALAM DAN DI LUAR KEKRISTENAN
Sejarah Perkembangan Praktek Bahasa Roh dalam Gereja
Aliran Pentakosa atau gerakan Kharismatik abad kedua puluh bukan merupakan aliran yang pertama kali "berbahasa lidah" selama Sejarah Gereja. Pendahulu-pendahulu dalam berabad-abad era Kristen, di antaranya adalah Justin Martyr, tahun 150 M, menyinggung mengenai bahasa lidah dalam sebuah dialog dengan Trypho, "Jika Anda mau membuktikan mengenai Roh Allah yang bersama dengan jemaat Anda dan membiarkan Anda untuk datang kepada kami, datanglah ke dalam jemaat-jemaat kami, dan Anda akan menemukan Dia mengusir setan-setan, menyembuhkan yang sakit, dan mendengar Dia berbicara dalam bahasa lidah dan bernubuat." Sebelum tahun 200, Iranaeus dalam risalahnya Against Heresies (Melawan Bidat/Ajaran Sesat), menuliskan mengenai mereka "yang melalui Roh berbicara dalam segala macam bahasa."

Kemudian sekitar 200 M, Tertulianus menyinggung tentang "interpretasi bahasa roh" sebagai "tanda." Tahun 350, Ambrosia dalam karyanya, Of the Holy Spirit, menyebutkan "karunia bahasa roh" sedang dicurahkan pada masanya oleh "Sang Bapa." Berikutnya sekitar 390 M, Agustinus dalam sebuah pengajaran mengenai Mazmur 32, mendiskusikan fenomena biasa di jamannya mengenai mereka yang "bernyanyi dalam sorak-sorai," menyanyikan pujian bagi Allah bukan dalam bahasa mereka sendiri, tetapi dalam gaya yang "tidak dapat dibatasi oleh keterbatasan bahasa."

Tahun 1100-an, Hildegard dari Bingen berbicara dan bernyanyi dalam bahasa roh. Lagu rohani yang dinyanyikannya sering disebut-sebut pada masanya sebagai "konser dalam Roh." Tahun 1300-an, Kelompok Merovian disebut-sebut berbahasa roh oleh para pengkritiknya. Tahun 1500-an, "Nabi-nabi Perancis: Para Camisard" juga terkadang berbicara dalam bahasa-bahasa yang tidak dikenal: "Sekelompok orang dari jenis kelamin berbeda," James Du Bois dari Montpellier teringat, "Saya mendengar dalam kegembiraan mereka mengucapkan kata-kata tertentu, yang tampaknya adalah Bahasa Asing." Kalimat-kalimat ini kadang-kadang diikuti dengan interpretasi atas karunia tersebut, dan menurut pengalaman Du Bois, dilakukan oleh orang yang telah memiliki bahasa roh.

Tahun 1600-an, Perkumpulan Quaker, seperti Edward Burrough, menyatakan bahwa bahasa roh dipergunakan dalam kebaktian-kebaktian mereka: "Kami berbicara dalam lidah asing, sebagaimana diberikan Tuhan untuk kami katakan, dan Roh-Nya memimpin kami." Tahun 1800-an, Edward Irving, seorang gembala dari Gereja Apostolik Katolik Skotlandia, menulis mengenai seorang wanita yang "berkata-kata sangat panjang, dan bukan dengan kekuatan manusia biasa, dalam bahasa yang tidak dikenal, mengherankan semua yang mendengarnya, dan bagi dia sendiri ada kemajuan dan kebahagiaan dalam Tuhan." Irving melanjutkan bahwa "bahasa roh adalah sebuah instrumen hebat untuk pembaharuan diri, sekalipun hal itu mungkin tampak misterius bagi kita."

Pentakostalisme awal, kaum Pentakosta awal percaya bahwa bahasa lidah yang mereka nyatakan merupakan xenoglossia. Kebanyakan praktek glossolalia kelompok Pentakosta saat ini menjadi semacam kebaktian pribadi mereka. Beberapa bagian komunitas ini juga menerima dan terkadang turut mempromosikan penggunaan glossolalia selama ibadah penyembahan bersama. Hal ini terutama sekali nyata dalam tradisi Karismatik (atau yang juga disebut Neo-Pentakosta). Kedua kelompok ini percaya bahwa kemampuan berkata-kata dalam bahasa roh dan ungkapan-ungkapannya, adalah karunia supernatural dari Allah.
Bahasa Roh Di Luar Kekristenan

Russ Spittler dan David du Plessis pernah melakukan sebuah studi dan menyimpulkan bahwa "bahasa roh" ternyata terdapat pula dalam agama-agama lain dan bahkan di luar lingkungan agama. Pada abad ke-11 SM, misalnya, ditemukan bukti bahwa nabi-nabi Mesir juga mengucapkan kalimat-kalimat serupa. Atau juga, para ahli meyakini bahwa Delphi Oracle, ucapan-ucapan seorang nabiah Yunani bernama Delfi, serupa dengan apa yang kini kita sebut dengan glossolalia. George Jennings menemukan bahwa para bhikku di Tibet, tatkala mereka melakukan tarian keagamaan, sanggup mengucapkan kalimat-kalimat dalam bahasa Inggris, kutipan tulisan Shakespeare dan malah kata-kata kotor yang banyak diucapkan tentara-tentara Inggris, Jerman, dan Perancis, ketika sedang mabuk. Selain itu Jennings juga menemukan fenomena serupa dalam kultus Peyote di antara orang Indian, upacara Haida Indian di Pasific, Shamanisme di Sudan, kultus Shago di Trinidad, kultus Voodoo di Haiti, kultus Zor di Ethiopia, Shamanisme di Greenland, kultus Dayak di Kalimantan, dan masih banyak lagi.

BAHASA ROH SEBAGAI SEBUAH KONTROVERSI DALAM JEMAAT
Harus diakui bahwa fenomena bahasa roh atau bahasa lidah yang berkembang di tengah gereja akhir-akhir ini seringkali menyebabkan pertentangan dan perselisihan di antara kelompok kekristenan sendiri. Gereja-gereja dengan latar belakang gerakan pentakostalisme, dan terutama kharismatik selalu mengklaim bahwa bahasa roh adalah satu bukti utama dari "baptisan Roh," yang mereka pahami sebagai the second blessing yang harus dialami oleh setiap orang percaya yang sungguh-sungguh. Sebagai acuannya, Gereja Bethel Indonesia sebagai satu organisasi gereja kharismatik yang besar di Indonesia menempatkan Baptisan Roh, dan "tanda awalnya" berupa berbicara dalam bahasa roh. Sedangkan di sisi lain gereja-gereja injili yang berhaluan ortodoks/tradisional menolak keras fenomena bahasa roh sebagai karunia yang utama di dalam gereja. Bahkan tokoh-tokoh seperti John F. MacArthur, Jr. berani menegaskan bahwa karunia bahasa roh sudah berhenti dan tidak dibutuhkan di tengah kehidupan gereja saat ini. Lalu bagaimana seharusnya sikap kita dalam menyikapi fenomena bahasa lidah ini? Untuk menjawab hal ini, alangkah baiknya jika kita belajar dari pengalaman Paulus di dalam mengarahkan jemaat Korintus di dalam suratnya, 1 Korintus 12-14.

Apakah Bahasa Roh adalah Karunia yang Tertinggi?
Dalam 1 Korintus 14:5, Rasul Paulus mengatakan, "Aku suka, supaya kamu semua berkata-kata dengan bahasa roh, tetapi lebih daripada itu, supaya kamu bernubuat." Ucapan Paulus dalam 1 Korintus 14:5 dan pembahasan sekitarnya mengenai kehadiran dan fungsi karunia-karunia rohani dalam diri orang-orang beriman telah menimbulkan banyak pertanyaan: Apa kedudukan "bahasa roh" di dalam jemaat? Apakah orang-orang yang telah mendapatkan karunia rohani ini menjadi orang Kristen yang lebih saleh, lebih terbuka terhadap pekerjaan Roh Kudus, dibandingkan mereka yang belum mendapatkannya? Apakah Paulus bermaksud mengatakan bahwa semua orang Kristen harus mendapatkan karunia ini? Atau sebaliknya semua orang harus berpartisipasi dalam pekerjaan nubuat, dan memberikan tempat yang tidak penting untuk "berkata-kata dengan bahasa roh?"

Beberapa orang Kristen, terutama dari kelompok kharismatik, atas dasar teks ini dan teks-teks lainnya, merasa lebih tinggi, atau lebih lengkap, karena mereka memiliki karunia bahasa roh, dan bersama-sama Paulus berharap bahwa saudara-saudara seiman mereka dapat memiliki pengalaman yang sama ini. Orang-orang Kristen lainnya, atas dasar teks yang sama, menganggap glossolalia ini perwujudan dari iman yang primitif dan tidak dewasa, dan menganggap ketiadaan karunia atau pengalaman ini sebagai tanda kedewasaan yang lebih besar. Yang lainnya lagi, melihat iman yang bersemangat dan antusias, dan juga kesaksian dari beberapa orang yang memiliki karunia berkata-kata dengan bahasa roh, merasa bahwa mereka tidak berjalan seiring dengan Roh Allah dan sungguh-sungguh merindukan atau mencari pengalaman Roh yang akan menimbulkan semangat pada iman yang statis.

Masalah di atas, yang sedikit banyak sudah ada di sebagian gereja sepanjang sejarah gereja telah muncul kembali akhir-akhir ini dalam sebuah bentuk yang dikenal dengan nama gerakan kharismatik (dari kata bahasa Yunani charisma: "karunia"). Karena gerakan ini telah masuk ke dalam semua golongan gereja dan mempengaruhi orang-orang beriman dalam hampir semua tradisi Kristen, kita sangat perlu mengerti ajaran Paulus mengenai hal ini. Sebuah definisi singkat tentang istilah-istilah yang digunakan oleh Paulus akan bermanfaat. Dua aktivitas yang dipertentangkan dalam ucapan sulit ini adalah "berkata-kata dengan bahasa roh" dan "bernubuat."

Seperti yang telah diuraikan di atas, fenomena "bahasa roh" yang dinyatakan oleh Paulus sebagai karunia (bahasa Yunani, charisma) dari Roh Kudus ini (1 Korintus 12-14) harus dibedakan secara jelas dari fenomena yang menyertai pencurahan Roh Kudus pada hari Pentakosta (Kisah Para Rasul 2:1-12). Dalam Kisah Para Rasul, Roh Kudus memampukan murid-murid Yesus untuk "berkata-kata dalam bahasa-bahasa lain" (glossai Kisah Para Rasul 2:4, 11) sedemikian rupa sehingga para pendengarnya, yang terdiri dari orang-orang dari berbagai kelompok bahasa di seluruh daerah Yunani Roma, mendengar mereka berbicara mengenai kabar baik tentang Yesus (Kisah Para Rasul 2:6, 8) dalam bahasanya masing-masing (bahasa Yunani, dialekton: "dialek/bahasa"). Di sini jelas terjadi pernyataan dan pendengaran yang penuh keajaiban di mana artinya yang jelas terungkap dan diterima pendengar.
Penafsiran Paulus tentang fenomena ini juga menunjukkan bahwa hal tersebut harus dimengerti sebagai pernyataan yang jelas tentang kebesaran Allah. Ia mengutip nubuat dalam Yoel 2:28-32, di mana pencurahan Roh Kudus itu menimbulkan nubuat (Kisah Para Rasul 2:17-18). Di Korintus, di pihak lain, fenomena bahasa roh yang dirisaukan Paulus diidentifikasi sebagai "bahasa yang tidak dimengerti:" tidak seorangpun mengerti hal ini (1 Korintus 14:2); bahasa itu perlu ditafsirkan jika ingin membangun jemaat (14:5); bahasa ini dikontraskan dengan "kata-kata yang jelas" (14:9, 19) dan "banyak macam bahasa...tidak ada satu pun di antaranya yang mempunyai bunyi yang tidak berarti" (14:10); bahasa ini tidak mencakup akal budi (14:14); orang lain tidak tahu apa yang dikatakan (14:16).

Paulus membandingkan karunia bahasa roh ini dengan karunia "nubuat." Kita harus berhati-hati sejak awal untuk tidak memberikan gagasan yang terbatas pada kata nubuat. Kata ini tidak hanya berarti "meramalkan masa yang akan datang." Nubuat kadang-kadang mencakup unsur peramalan ini (baik di antara nabi-nabi Perjanjian Lama maupun nabi-nabi Kristen), tetapi aspek ini tidak eksklusif ataupun utama. Nabi-nabi Israel terutama menunjukkan Firman Allah pada kenyataan yang sekarang. Ini juga merupakan aspek utama dari pemberitaan Injil dalam kekristenan awal yang mula-mula. Dalam Kisah Para Rasul, nubuat Yoel (bahwa "anak-anakmu laki-laki dan perempuan akan bernubuat" Kisah Para Rasul 2:17-18) terpenuhi dalam pernyataan tentang apa yang telah dilakukan Allah dalam Yesus Kristus (Kisah Para Rasul 2:22-36).

Dalam 1 Korintus 11, berdoa dan bernubuat dibicarakan sebagai dua aspek khas dari orang Kristen dalam ibadah jemaat. Doa ditujukan kepada Tuhan, sedangkan nubuat berarti menunjukkan Firman Tuhan kepada jemaat yang beribadah. Dalam 1 Korintus 14:19-33, aktivitas nabi-nabi Kristen diartikan menyampaikan isi wahyu ilahi kepada jemaat demi pengajaran dan dorongan. Tujuan perkataan nabi ini sangat penting daam kontras antara nubuat dengan berkata-kata dalam bahasa roh, yaitu untuk membangun, menasihati, dan menghibur (1 Korintus 14:3). Kita dapat meringkas perbedaan di atas sebagai berikut: Paulus memahami "bahasa roh" sebagai ucapan yang bersemangat dan penuh gairah, tetapi tidak jelas tanpa penafsiran. Tempatnya yang asli dan sesuai adalah dalam doa (1 Korintus 14:2, 16). Ia memahami "nubuat" sebagai pernyataan wahyu yang bersemangat (mungkin mencakup Injil, yaitu tindakan Allah di dalam Kristus, dan pengungkapan yang lebih jauh dari tujuan Allah berdasarkan kejadian itu), yang disampaikan pada gereja dalam bentuk perkataan yang jelas untuk pertumbuhannya yang terus menerus. Dengan latar belakang dan definisi ini kita sekarang siap untuk mengikuti argumentasi Paulus tentang bahasa roh ini.

Bahasa Roh di dalam Praktek Jemaat Korintus
Konteks yang lebih luas terdapat sebelum pasal 12-14, di mana Paulus membicarakan masalah-masalah dalam kehidupan masyarakat gereja, khususnya dalam konteks ibadah. Prinsip yang utama dan pokok untuk tindakan Kristen adalah prinsip kemajuan rohani. Semua kehidupan dan tindakan Kristen seharusnya diatur oleh pertanyaan: Apakah ini bermanfaat bagi orang lain? Apakah hal ini menimbulkan keselamatan dan/atau pertumbuhan iman mereka? Apakah ini baik untuk mereka (1 Korintus 8:1, 9, 13, 9:12, 19-22; 10:23-24, 31-33; 11:21, 33)? Prinsip ini terus berlanjut sebagai lintasan pedoman dalam pembahasan Paulus tentang kedudukan dan fungsi karunia rohani dalam 1 Korintus 12-14.

Fokus dari pembahasan tersebut adalah manfaat relatif dari "bahasa roh" dan "nubuat" (pasal 14). Tetapi Paulus menggunakan "nubuat" untuk membahas apa yang nampaknya merupakan masalah inti di Korintus: sikap meninggikan karunia berkata-kata dengan bahasa roh sedemikian rupa sehingga karunia-karunia lainnya dan juga orang-orang yang memiliki karunia itu diremehkan. Orang-orang yang menggunakan bahasa roh jelas melihat karunia ini sebagai tanda kerohanian yang lebih tinggi. Pandangan semacam ini biasanya muncul secara alamiah di antara sekelompok orang beriman di Korintus yang merasa yakin bahwa mereka telah dibebaskan dari semua hubungan tanggung jawab dan masalah etika praktis.

Dalam ibadah, orang-orang yang tinggi rohani ini merasa bangga dalam fenomena wahyu sebagai pengesahan terakhir bahwa mereka bebas dari eksistensi yang terikat pada bumi, termasuk kata-kata yang rasional dan jelas. Pertanyaan Paulus kepada mereka dalam hal ini, seperti juga pertanyaan yang lebih awal sehubungan dengan masalah lain, adalah: Bagaimana peranan karunia ini untuk keselamatan atau untuk membangun orang lainnya, dan bukan hanya diri sendiri (1 Korintus 14:4)? Dasar untuk mengatasi masalah ini dijelaskan dengan teliti dalam bab 12-13. Singkatnya, pemikiran Paulus berkembang sebagai berikut: Ada bermacam-macam karunia untuk orang beriman, tetapi semuanya itu berasal dari Roh Allah (1 Korintus 12:4-6). Implikasinya adalah tidak seorang pun memiliki alasan untuk merasa bangga! Perwujudan dari Roh yang satu ini dalam bermacam-macam karunia itu adalah demi kepentingan bersama (1 Korintus 12:7). Jadi, dimilikinya karunia khusus itu bukanlah demi keuntungan pribadi seseorang. Rohlah yang menentukan bagaimana karunia itu dibagikan (1 Korintus 12:11). Karena itu, pemilik dari satu karunia tertentu tidak mempunyai alasan untuk merasa lebih disukai secara khusus atau dalam pengertian tertentu lebih tinggi daripada seseorang yang tidak memiliki karunia yang sama.

Rangkaian pemikiran ini kemudian ditunjang oleh gambaran jemaat sebagai tubuh Kristus, yang dibandingkan dengan anggota tubuh manusia yang hidup (1 Korintus 12:12-27). Tujuannya yang utama adalah untuk menyatakan bahwa walaupun ada bermacam-macam orang dan karunia dalam gereja, tidak boleh ada perpecahan; masing-masing bagian harus memperhatikan bagian yang lainnya (1 Korintus 12:25). Setelah menekankan penting dan absahnya semua anggota tubuh, dan juga karunianya yang bermacam-macam, Paulus kemudian melanjutkan dengan menunjukkan bahwa sehubungan dengan prinsip-prinsip yang membimbing kehidupan dan tindakan Kristen yaitu agar orang-orang lain dapat diselamatkan dan dibangun beberapa panggilan dan karunia lebih utama, lebih mendasar dari yang lain, dan memberikan sumbangan yang lebih langsung dan besar terhadap tujuan itu.

Walaupun Paulus memulai daftar panggilan karunia itu dengan cara menyebutkan satu demi satu ("pertama rasul, kedua nabi, ketiga guru" – 1Kor. 14:28), ia tidak melanjutkan penyebutan itu pada daftar karunia yang tersisa. Pelayanan rangkap tiga dari kata itu yaitu kesaksian Rasul yang mendasar bagi Injil, pemberitaan Injil nabi pada gereja, dan pengajaran tentang arti dan implikasi praktis dari Injil jelas merupakan yang utama, sedangkan aktivitas-aktivitas lainnya yang ditandai oleh karunia-karunia itu (1 Korintus 14:28) bersifat tergantung dan sekunder terhadap pelayanan tersebut. Penyebutan bahasa roh di urutan terakhir tidak harus berarti bahwa karunia inilah yang "paling kecil" berdasarkan urutan hirarkisnya (karena kelima karunia itu tidak diberi nomor). Lebih mungkin Paulus menyebutkannya paling akhir karena bagi jemaat yang antusias di Korintus kata ini terletak di paling atas. Tetapi, sudah jelas bahwa "bahasa roh" ini termasuk ke dalam sekelompok karunia yang satu tingkat lebih rendah daripada pelayanan nubuat. Hal ini ditegaskan oleh kalimat penutup Paulus dalam Korintus 12:31, "Jadi berusahalah untuk memperoleh karunia-karunia yang utama." Dapat diduga dari lanjutannya dalam pasal 14 bahwa pemberitaan nabi (khotbah) dan pengajaran adalah "karunia-karunia yang utama" itu.

Desakan untuk memperoleh karunia-karunia yang utama diikuti oleh panggilan menuju daya tarik yang lebih besar, "Dan aku menunjukkan kepadamu jalan yang lebih utama lagi" (1 Korintus 12:31 "jalan yang lebih baik lagi," Alkitab versi RSV). Yang lebih baik lagi daripada berusaha memperoleh karunia-karunia yang lebih utama, menurut Paulus, adalah mengikuti jalan kasih (1 Korintus 13:1). Karena, seperti ditunjukkannya dengan sangat mengesankan di bab 13, karunia yang kecil maupun besar suatu hari akan lenyap. Tetapi kasih abadi. Paulus mungkin mengungkapkan panggilan yang luar biasa terhadap kasih ini karena ia mengetahui bahwa kasih itu secara murni ditujukan kepada orang lain dan akan menjadi kekuatan yang memberi semangat untuk mencari karunia-karunia yang membangun orang lain. Karena itu "kejarlah kasih itu dan usahakanlah dirimu memperoleh karunia-karunia Roh, terutama karunia untuk bernubuat" (1Kor. 14:1).

Hakikat, Fungsi, dan Manfaat Bahasa Roh dalam Jemaat Korintus
Sekarang kita sudah siap untuk membahas secara khusus hakikat, fungsi, dan manfaat relatif dari bahasa roh dan nubuat. "Bahasa roh" adalah bahasa hati, yang ditujukan kepada Allah (1Kor. 14:2). "Nubuat" adalah kata-kata Allah yang ditujukan kepada manusia untuk menasihati dan menghibur (1 Korintus 14:3). "Bahasa roh’ pada pokoknya merupakan masalah pribadi; bahasa roh ini membangun diri sendiri. "Nubuat" merupakan masalah umum, nubuat ini membangun jemaat (1 Korintus 14:4).

Paulus menegaskan perlunya dimensi pribadi dan juga dimensi umum dari karunia-karunia yang berlawanan tersebut ketika ia mengungkapkan harapannya agar mereka semua memiliki karunia bahasa roh, dan kemudian segera melanjutkan harapan itu dengan harapan yang lebih besar, "tetapi lebih daripada itu, supaya kamu bernubuat" (1 Korintus 14:5). Pengalaman pribadi yang menggairahkan, khususnya dalam keakraban hubungan doa seseorang dengan Allah, tidak seharusnya ditolak ("Janganlah melarang orang yang berkata-kata dengan bahasa roh" – 1Kor. 14:39). Paulus mengetahui nilainya dari pengalaman pribadi (1Kor. 14:18). Dalam konteks ibadah jemaat sekalipun, bahasa roh ini bisa bermanfaat jika dijelaskan melalui penafsiran (1 Korintus 14:5) sehingga orang-orang lain dapat "dibangun" (1Kor. 14:16-17). Karena "bahasa roh" itu dikenal sebagai karunia Roh dan diberikan oleh Roh Allah, Paulus dapat mengatakan, "Aku suka, supaya kamu semua berkata-kata dengan bahasa roh." Ini akan merupakan bukti bahwa Roh bekerja di dalam diri mereka. Walaupun demikian, prinsip pelaksananya (yaitu demi kebaikan orang lain) membawanya tanpa syarat kepada pilihan terhadap pemberitaan nubuat, "Tetapi dalam pertemuan jemaat aku lebih suka mengucapkan lima kata yang dapat dimengerti untuk mengajar orang lain juga, daripada beribu-ribu kata dengan bahasa roh" (1 Korintus 14:19).

Kesimpulan: Membangun Sikap yang Tepat Terhadap Fenomena Bahasa Roh
Analisa di atas membawa kita pada ringkasan kesimpulan sebagai berikut: Tidak satupun karunia Roh bersifat mutlak; hanya kasih yang mutlak. Karena itu, memiliki atau menggunakan karunia yang manapun bukan merupakan tanda kedewasaan rohani. Seseorang yang beriman harus terbuka terhadap karunia Roh dan jika mereka menerimanya, mereka harus menggunakannya dengan rasa syukur dan rendah hati. Setiap pencarian karunia tertentu secara sungguh-sungguh harus dipimpin oleh keinginan untuk melibatkan diri dalam membangun jemaat sehingga seluruh umat Allah benar-benar dapat menjadi alternatif ilahi bagi masyarakat manusia yang sudah rusak. Dan di atas itu semua, kasih harus menjadi prioritas utama bagi jemaat untuk dikejar, dimiliki, dan dipraktekkan di dalam berjemaat.
Dengan demikian, dalam kaitan lebih khusus berbicara mengenai bahasa roh, setiap orang Kristen seharusnya sadar bahwa tidak pada tempatnya meletakkan bahasa roh sebagai sebuah "karunia yang mutlak" dan "harus dimiliki" oleh orang Kristen yang hidup dipenuhi Roh Kudus. Buah Roh lebih utama daripada karunia Roh, karena itu kasih harus menjadi yang utama dalam praktek pengembangan karunia dalam bergereja. Dalam prakteknya, kelompok-kelompok yang menekankan bahasa roh sebagai pengalaman yang dapat dilatih dan "ditransfer" (impartasi) jelas tidak sejalan dengan kebenaran Alkitab, di mana bahasa roh adalah sebuah "karunia" yang diberikan Allah di dalam kewenangan prerogatif-Nya. Di sisi lain, setiap orang Kristen, apapun kelompoknya, tidak perlu merasa curiga, memusuhi, apalagi melarang praktek ibadah dengan bahasa roh, sebelum mereka benar-benar yakin akan kebenaran praktek itu (di dalam terang Alkitab sebagai Firman Tuhan).


Solus Christus