19 February 2010


Gereja Yang Aktif
dan Visi
"Kedewasaan dalam Kristus"


Seorang rekan begitu antusias mengajak saya untuk datang dalam salah satu acara kategorial gereja. "Ayo, Pak. Luangkan waktu dong untuk datang." Begitulah kurang lebih, rekan saya itu selalu nampak bersemangat mendorong jemaat yang lain untuk hadir di kelompok kategorial di gereja kami. Dia tidak pernah menyerah. Selalu bersemangat. Bahkan terkadang sering tampak memaksa. Terus terang, saya kagum dengan antusiasmenya dalam memotivasi jemaat yang lain. Saya berpikir, mungkin gembala sidang saja tidak pernah memotivasi jemaat seantusias dia.

Namun ketika saya berpikir-merenung, dan memperhatikan realita yang ada, saya juga prihatin. Banyak gereja masa kini (paling tidak yang saya tahu) hanya berorientasi pada rekrutmen anggota dan jumlah yang hadir dalam ibadah. Gereja masa kini terlalu sibuk dengan ibadah formal, aktivitas-aktivitas pelayanan liturgikal, dan terkadang tidak sempat berhenti sejenak, berdiam diri, dan bertanya, "Untuk tujuan apa semua yang dilakukan gereja selama ini?"


Memikirkan hal itu, saya teringat salah satu bagian dari surat Paulus: “Dialah yang kami beritakan, apabila tiap-tiap orang kami nasihati dan tiap-tiap orang kami ajari dalam segala hikmat, untuk memimpin tiap-tiap orang kepada kesempurnaan dalam Kristus
[huruf miring ditambahkan – RSV:mature in Christ]. Itulah yang kuusahakan dan kupergumulkan dengan segala tenaga sesuai dengan kuasa-Nya, yang bekerja dengan kuat di dalam aku” (Kol.1:28-29). Ayat ini sangat menarik karena masih dekat dengan konteks ayat-ayat kredo (pengakuan iman) yang diterima sebagai landasan gereja dalam beribadah (Kol. 1:15-18). Maka jika kita kembali kepada pertanyaan, untuk apa semua kesibukan terjadi di gereja? Jawabannya yang paling ringkas adalah, "Untuk memimpin setiap orang menuju kepada kedewasaan dalam Kristus."

Pertanyaannya kemudian adalah, "bagaimana gereja mencapai kedewasaan dalam Kristus bagi jemaatnya? Apakah cukup dengan datang aktif dalam ibadah raya dan kategorial, serta persekutuan doa secara otomatis membawa jemaat pada kedewasaan dalam Kristus?" Menjawab pertanyaan demikian tentu saja membawa kita kepada kesadaran bahwa aktivitas-aktivitas ibadah formal, dengan ruang penyampaian Firman Tuhan yang terbatas, serta minimnya waktu untuk berdiskusi, berdialog,
dan berinteraksi antar jemaat, bukanlah jawaban terhadap pertanyaan dan visi kedewasaan dalam Kristus.
Mari kita melihat apa yang Alkitab catat tentang apa yang dilakukan gereja mula-mula:
"Orang-orang yang menerima perkataannya itu memberi diri dibaptis dan pada hari itu jumlah mereka bertambah kira-kira tiga ribu jiwa. Mereka bertekun dalam pengajaran rasul-rasul dan dalam persekutuan. Dan mereka selalu berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa..." (Kisah Para Rasul 2:41-42).

Apa yang tercermin dalam aktivitas gereja mula-mula ini adalah pola yang seharusnya dengan setia diikuti oleh gereja masa kini. Ada tiga hal yang perlu dicermati di sini. Yang pertama adalah bahwa gereja mula-mula membangun dirinya di atas pengajaran rasul-rasul. Lukas mencatat, "mereka bertekun dalam pengajaran rasul-rasul." Frasa "dengan tekun" dalam ayat tersebut harus kita cermati agar kita mendapat pemahaman yang benar. Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa Inti dari kedewasaan di dalam Kristus adalah pertumbuhan jemaat melalui pembacaan dan penyelidikan Alkitab sebagai Firman Allah yang diwahyukan bagi jemaat masa kini.

Yang kedua, jemaat mula-mula ketika berkumpul mereka akan memecah roti, saling berbagi dan bersukacita bersama (ay. 42 dan ay. 46). Inilah gambaran berbagi hidup dan saling memberi diri yang dipraktekkan jemaat mula-mula. Praktek saling membagi hidup ini begitu orisinil, sehingga banyak orang akhirnya "gentar" dan kagum, serta tertarik dengan komunitas Kristen mula-mula ini (ay. 43, 47). Ini berbeda dengan banyak gereja saat ini. Gedung yang sedemikian megah membuat pertemuan-pertemuan jemaat menjadi begitu formal dan kaku, sehingga tidak nampak lagi praktek saling memberi diri dan berbagi hidup. Akhir-akhir ini banyak gereja mempraktekkan ibadah rumah-rumah. Namun, toh prakteknya tetap formal dan yang terjadi kemudian adalah "memindahkan ritual dalam gereja ke rumah-rumah." Tidak ada saling share atau membagikan pergumulan hidup, menyelidiki Alkitab bersama, dan saling mendoakan satu dengan yang lain. Jangan tanya apa yang dilakukan "gereja rumah" sekarang yang berkaitan misi. Dorongan untuk mereka "berdampak", bersaksi dan melayani masyarakat sekitarnya saja tidak pernah diuangkap gamblang dalam pertemuan-pertemuan "gereja rumah" abad ini.

Maka dampak "gereja-gereja rumah" abad sekarang sangat berbeda dengan "jemaat rumah mula-mula." Dulu jemaat memiliki dampak yang luar biasa bagi orang di sekelilingnya. Namun yang terjadi di tengah jemaat rumah masa kini adalah kehilangan "daya pikat" bagi masyarakat sekelilingnya.

Itulah gereja abad ini. Semakin megah gedungnya, semakin aktif jemaatnya, semakin sejuk ruang-ruang pertemuannya, namun semakin kehilangan "daya kesaksiannya" sebagai komunita yang seharusnya berdampak.