25 November 2006

Man a Nothing

Aku hanyalah tubuh kosong penuh kekotoran,
yang dihidupkan oleh Jiwa Rasional yang tak kelihatan
dan yang diperbaharui oleh Kuasa Anugerah yang tak tampak;

Sekali pun demikian aku bukanlah sesuatu yang langka dan berharga,
Aku tidak memiliki apa-apa dan bukan siapa-siapa,
sekali pun aku telah Kau pilih sejak kekekalan,
diberikan kepada Kristus, dan dilahirbarukan;

Aku sangat menyadari betapa jahat dan menyedihkannya keberdosaan,
dan betapa sia-sianya semua mahluk,
namun aku juga percaya akan kecukupan dari Kristus.

Ketika Engkau ingin membimbingku, aku justru berkuasa atas diriku.
Ketika Engkau ingin bertakhta, aku justru memerintah atas diriku.
Ketika Engkau ingin memeliharaku, aku justru mencukupi diriku.
Ketika seharusnya aku bergantung kepada kecukupan dari-Mu,
aku justru berusaha sendiri,
Ketika seharusnya aku berserah kepada pemeliharaan-Mu,
aku justru mengikuti keinginanku sendiri,
Ketika seharusnya aku mempelajari, mencintai,
menghormati serta mempercayai-Mu,
aku justru melayani diri sendiri

Aku menyalahi dan mengoreksi hukum-hukum-Mu
untuk disesuaikan dengan diriku sendiri,
Bukannya berusaha untuk diterima oleh Engkau,
aku justru berusaha agar diterima oleh manusia.
Secara natur, aku adalah pemuja berhala.

Tuhan, kehendakku yang utama adalah mengembalikan hatiku kepada-Mu.
Yakinkan aku bahwa aku tidak dapat menjadi Tuhan bagi diriku sendiri
atau membuat diriku sendiri bahagia,
tidak pula Kristus ciptaanku sendiri mampu memulihkan sukacitaku,
tidak pula rohku sendiri mampu mengajar, membimbing
dan memerintah atas diriku.

Tolonglah aku untuk melihat bahwa anugerah-Mu-lah
yang mampu melakukan semua itu melalui kesulitan-kesulitan
yang kualami dalam naungan pemeliharaan-Mu.

oleh karena ketika kebanggaanku menjadi tuhanku,
Engkau menurunkannya.
ketika kekayaan menjadi idolaku, Engkau mengambilnya,
ketika kesenangan menjadi segalanya bagiku,
Engkau mengubahnya menjadi kepahitan.

Ubahlah aku yang memiliki mata keranjang,
telinga yang selalu ingin tahu, ketamakan, serta hati yang penuh nafsu;

Tunjukkan aku bahwa semua hal tersebut
tidak mampu untuk menyembuhkan nurani yang terluka,
atau menopang tubuh yang terhuyung-huyung,
atau menguatkan semangat yang hilang.

Oleh karena itu, bawalah aku ke salib-Mu dan tinggalkan aku di sana.


(kutipan C. Swindoll dalam Improving Your Serve dari The Valley of Vision: A Collection of Puritan Prayers and Devotions)




24 November 2006

Dekonstruksi Triumphalism versi Yesus Kristus fokus khotbah PomKris Univ. Jember - 24 Nov.'06

Zaman ini adalah zaman di mana produktifitas menjadi sebuah tolak ukur yang mutlak bagi apa yang dinamakan "sebuah keberhasilan." Inilah zaman, di mana produktifitas dan hasil-hasil besar dimimpikan dan dikejar-kejar. Keberhasilan seseorang hanya diukur dari seberapa banyak ia menghasilkan "sesuatu." Efisiensi dan efektivitas kerja menjadi sebuah moto yang terus dikumandangkan di zaman ini. Betapa sering pekerjaan hanya diukur dari hasilnya. Seringkali hasil itu bahkan dipersempit lagi dalam bentuk angka-angka.

Zaman ini juga disebut sebagai zaman yang mengejar kebesaran. Semua orang sedang berlari-lari untuk mengejar untuk menjadi yang terbesar. Semua ingin mengejar kejayaan. Semua ingin mengerjakan pekerjaan yang besar. Semua ingin diakui sebagai yang terhebat dan terbesar.


Namun Yesus hadir ke dunia ini untuk men-dekonstruksi dan meruntuhkan bangunan pemikiran manusia yang selalu berpusat pada "kerajaan diri" dan bukan Kerajaan Allah. Perhatikan apa yang ia ajarkan di dalam perumpamaan tentang talenta: "Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia; engkau telah setia dalam perkara kecil, aku akan memberikan kepadamu tanggung jawab dalam perkara yang besar." Masalahnya di sini bukan talenta yang berkembang, kog. Masalahnya adalah etos kerja yang diharapkan ada di tengah umat Tuhan adalah: setia dalam perkara kecil...


Lalu, bagaimana dengan gereja Tuhan saat ini di dalam mengerjakan pelayanan dari Dia? Mengejar yang besar-besar dan berpikir triumphalist, ataukah mau mengerjakan dengan setia apa yang bagi dunia nampak kecil, namun yang berharga di mata Allah?

23 November 2006

Seorang Pelayan Tuhan yang Ge-Er
Sebuah Refleksi dari Yeremia 29:15-32

"Oleh karena Semaya telah bernubuat kepadamu, sekalipun Aku tidak mengutusnya, dan ia telah membuat kamu percaya kepada dusta, maka beginilah firman TUHAN: Sesungguhnya, Aku akan menghukum Semaya, orang Nehelam itu, dan keturunannya..." (Yer. 29:31-32)

Ge-Er adalah istilah yang berasal dari bahasa Jawa; gede rumangsa, yang di dalam bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai "sikap terlalu percaya diri tapi nggak tahu diri." Akan menjadi bahaya yang besar bagi seorang pelayan Tuhan, jika ia berani berkata-kata kepada orang lain atas nama Tuhan, sedangkan Tuhan tidak berkata-kata kepadanya. Ini namanya “pelayan Tuhan yang ge-er.”

Semuanya ini berakar dari spiritualitas yang dangkal. Interaksi dengan Tuhan yang tidak mendalam secara perlahan akan menyeret seorang pelayan Tuhan (terutama pelayan Firman) untuk mengajar di dalam kepalsuan. Waktu-waktu meditasi dan waktu teduh, di mana seorang pelayan dapat berdiam diri dan membiarkan Tuhan berbicara kepadanya secara pribadi telah tergantikan dengan kesibukan aktivitas yang disebutnya "pelayanan." Penggalian Alkitab yang dilakukannya mungkin tetap tertib dan di dalam kerangka hermeunitika yang benar. Namun apa yang ia pelajari tidak pernah menyentuh hatinya sebagai sebuah Firman yang berkuasa mengubahkan. Maka yang terjadi kemudian adalah, ia mengajar namun tidak pernah belajar dari Tuhan… Itulah pelayan Tuhan model Semaya… Seorang pelayan yang ge-er…

O, betapa malunya jika seseorang berkata-kata atas nama Tuhan, namun kemudian Tuhan berkata, "Aku tidak mengutusmu untuk berkata-kata demi nama-Ku..." Inilah yang disebut "pelayan Tuhan yang ke-ge-er-an." Yang lebih celaka adalah jika yang disampaikannya telah menyesatkan orang yang mendengarnya.

Siapakah pelayan Tuhan yang "ge-er" ini? Bisa diriku, bisa dirimu... Jika kita tidak menggerakkan pelayanan kita di atas alas keintiman relasi dengan Tuhan yang mengutus kita, hal ini bisa terjadi pada kita: padaku dan padamu...
Waspadalah... sudahkah hari ini kita bertanya, "Tuhan, apakah Engkau mengutus aku hari ini untuk berbicara atas nama-Mu?"

22 November 2006


Menempatkan Allah sebagai Allah
menjunjung Kedaulatan Allah dan mengenal Dia dengan benar: sebuah refleksi

Kejatuhan Adam (dan Hawa) ke dalam dosa – dengan memakan buah dari “pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat” – bukanlah berakar dari masalah perut, meski memang buah itu nampak “sedap untuk dimakan” (Kej. 3:6). Akar kejatuhan Adam dan Hawa adalah karena pohon itu “mampu memberi mereka pengertian.” Dengan kata lain, Adam dan Hawa jatuh karena mereka ingin berpengertian sama seperti Allah. Mereka ingin seperti Allah: tidak sekedar tunduk dan patuh terhadap kebaikan moral yang Allah telah tetapkan, tetapi menentukan standar moral itu sendiri (otonomi – menentukan hukum bagi diri sendiri). Celakanya, episode dari “Drama Manusia ingin Menjadi Allah” ini tidak berhenti dalam kisah Adam dan Hawa ini. Semangat menjadi allah bagi diri sendiri terus ada di dalam jiwa manusia, baik dalam sejarah Israel, maupun dalam sejarah umat Tuhan, hingga saat ini.
Tanya kenapa? Mengapa Israel begitu mudah jatuh dalam penyembahan berhala? Padahal Allah terus mengingatkan, ”Akulah TUHAN, yang membebaskan engkau dari perbudakan Mesir” (bdk. Kel. 6:6-7; 20:2; 29:46; Im. 11:45; dst.). Toh akhirnya kita tahu, mentalitas penyembahan berhala telah begitu kuat merasuk dalam jiwa Israel, sehingga mereka juga menempatkan TUHAN Allah tak lebih dari salah satu dari berhala-berhala yang ada. Mentalitas penyembahan berhala? Ya, Israel telah salah kaprah. Mereka berpikir bahwa Allah YHWH sama dengan berhala-berhala Mesir, yang dapat disembah-sembah, disogok dengan persembahan sesajen, lalu disuruh menuruti kemauan mereka, disuruh mencukupi segala kebutuhan mereka, disuruh membuat mereka aman dan nyaman, dan disuruh membuat hidup mereka bebas dari masalah. Buktinya apa? Israel yang mudah bersungut-sungut, Israel yang mudah menuntut jika hidupnya sedikit susah, dan Israel yang mudah mencari cara sendiri untuk setiap penyelesaian masalah mereka adalah bukti bahwa Israel telah menempatkan TUHAN Allah sebagai berhala yang menuruti kemauan mereka. Inilah mentalitas penyembahan berhala; Allah disuruh-suruh menuruti kemauan manusia! Pada akhirnya, inti dari penyembahan berhala akhirnya adalah kepentingan diri sendiri. Itulah meng-illah-kan diri sendiri: motif dari segala penyembahan sebenarnya adalah kepentingan diri, alias self-oriented atau self-centrist.
Menyitir apa yang dikatakan Pdt. Eka Darmaputera, ”Mempercayai Allah sebagai Allah tidak cukup hanya mengalihkan obyek kepercayaan dari illah politeistik kepada Allah yang monoteistik.” Artinya, mempercayai Allah sebagai Allah adalah masalah menempatkan Allah sebagai Allah. Hal ini berarti bahwa yang berdaulat, yang berkehendak, dan yang menetapkan segala sesuatu di dalam hidup kita bukanlah diri kita, melainkan Allah Yang Mahakuasa. Mempercayai Allah sebagai Allah adalah menempatkan Allah sebagai orientasi penyembahan kita, menempatkan Ia sebagai orientasi hidup kita, dan menempatkan-Nya (dan kemuliaan-Nya) sebagai tujuan hidup kita. Pokoke, yang utama dan terutama dalam perjalanan hidup kita haruslah bagaimana Allah ditinggikan sebagai Allah, titik.
Nah, celakanya mentalitas ”penyembahan berhala” (atau penyembahan diri) ini tidak berhenti sampai kisah Israel. Umat Tuhan di sepanjang zaman terus dibayangi mentalitas semacam ini. Yang paling kronis adalah realita berjemaat saat ini. Tanya kenapa? Mengapa dan untuk apa orang Kristen saat ini datang ”berbondong-bondong” ke gereja setiap hari Minggu? Yang paling banyak terlontar dari mulut mereka untuk menjawab pertanyaan ini adalah: ”agar hidupku diberkati Allah, agar usahaku lancar, agar aku dijauhkan dari segala penyakit, agar rumah tanggaku bahagia dan jauh dari percecokkan.” Walah, kalau kebanyakan umat Tuhan datang ke gereja dengan motivasi seperti ini, apa bedanya orang Kristen dengan Israel? Coba tebak, apa reaksi kebanyakan orang Kristen ketika kesulitan menjamah hidup mereka? ”Tuhan, mengapa aku harus mengalami ini semua? Buktikan dong kalau Engkau Tuhan yang penuh kuasa. Tolonglah aku, lepaskan aku dari masalah ini, lepaskan aku dari penyakit ini, lepaskan aku dari utang-utang perusahaan ini, dan seterusnya, dan seterusnya.” Coba tebak, siapa yang diuntungkan terus dalam ibadah kontemporer semacam ini? Bukan Tuhan yang dimuliakan, tetapi perut terus dikenyangkan! Tanya kenapa? Mengapa setiap ibadah di gereja, banyak jemaat yang setia menanti doa berkat dari sang pendeta, namun begitu terburu-buru mau pulang ketika menaikkan pujian doksologi yang menutup ibadah? Itu semua berakar dari motivasi diri dalam menyembah dan beribadah di gereja. Itu semua berakar dari bagaimana menempatkan Allah sebagai Allah. Kalau Allah ditempatkan tidak lebih daripada berhala yang mudah disuruh-suruh untuk memenuhi semua kebutuhan dan kemauan kita, jadinya ya seperti ini.
Oops, semua ini bukan tulisan anti berkat Tuhan, lho. Berkat kog ditolak! Ya itulah, semua kembali kepada bagaimana kita menempatkan berkat secara tepat di dalam relasi kita dengan Allah. Yang namanya berkat itu tergantung kerelaan hati yang memberi; diberi yang syukur, tidak juga puji syukur. Bukankah berkat identik dengan anugerah? Coba lihat janji berkat Allah kepada Abraham dalam Kejadian 12:1-3? Apakah Abraham berhak menuntut, ketika kesulitan hidupnya datang? Di sinilah letak kesalahannya, iman Abraham dibuktikan melalui ketaatannya kepada Allah, baru kemudian janji berkat Allah digenapi. Pemahaman ini jangan dibalik-balik. Berkat adalah dampak dari penyembahan yang benar kepada Allah. Maka berkat tidak perlu dikejar-kejar, terlalu dirindukan, atau bahkan dipuja-puja. Kalau kita sedikit lebih jujur, Perjanjian Baru malah mengajarkan kepada kita untuk berani hidup susah di tengah dunia ini. Perhatikan apa yang terus ditekankan penulis Injil mengenai mengikut Kristus: ”Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku” (Luk. 9:23; 14:27; Mat. 10:38).
Jadi, bagaimana selama ini kita melihat Allah? Coba simak pendapat St. Agustine yang sangat tajam ini: ”Allah menjadi Allah yang melukai harga diri manusia.” Dallas Willard pun berkomentar mengenai mentalitas meng-illahkan diri ini dalam bukunya, Renovation of the Heart: ”Jika Allah menjalankan alam semesta dan yang pertama-tama mengajukan klaim atas hidup kita, coba tebak siapa yang tidak menjalankan alam semesta dan tidak mendapatkan segala sesuatu seperti yang mereka sukai?” Masih tetap mau menjadi umat Tuhan yang sejati? Sangkali diri, pikul salib Kristus setiap hari, dan ikutlah Dia!


(buat "prof " en sobatku: thanks untuk risalah ”Mitos Kehendak Bebas”-nya...)

21 November 2006


Gift
by: James Thomson


Give a man a horse he can ride,
Give a man a boat he can sail;
And his rank and wealth, his strength and health,
On sea nor shore shall fail.

Give a man a pipe he can smoke,
Give a man a book he can read;
An his home is bright with a calm delight,
Though the room be poor indeed.

Give a man a girl he can live,
As I, O my love, love thee;
And his heart is great with the pulse of Fate,
At home, on land, on sea.

(when the loneliness comes this morning…)

11 November 2006

Selamat Jalan, Bang Roy...
(in memoriam Roy Simanjutak)

Selalu mengumbar senyuman manisnya; itulah kesan pertama yang aku tangkap dari seorang Roy Simanjutak; tidak pernah terlihat ja-im (alias jaga image), apalagi arogan. Aku mengenal entah berapa tahun yang lalu... Seingatku sudah sejak aku ngikut pelayanan mahasiswa di Jember. Jelas dia lebih senior dari aku (untuk itu aku panggil "Bang"), tapi kesan menggurui apalagi sok tahu tidak pernah terlepas dari bibirnya.
Cakep; istriku juga katakan itu... Secara fisik Bang Roy lumayan sedap dipandang... Singkat kata, pasaran tinggilah... Tapi beberapa waktu yang lalu aku sempat bertanya dengan sedikit bercanda, "Kog dari dulu nggak punya calon sih, Bang? Apa perlu aku carikan? Yang Batak atau apapun?" Seperti biasa dia cuman senyum...
Kemaren, aku bertanya sama Mas Jo, teman dan senior Staf Jember, "Kog sepatu Mas Jo kayak punya Bang Roy sih? O ya, Bang Roy kog gak pernah kelihatan main ke sini yan?" Memang sejak bulan lalu Bang Roy diterima kerja di Jember dengan tugas di Banyuwangi. Seperti biasa, masih demen jadi salesman. Mungkin hobi di jalanan kali ya?

Jumat, 10 November 2006 kemaren aku lagi asyik ikut Halal bi Halal di "Gang Kelinci" (jalan di sekitar rumahku). Tiba-tiba sms masuk dari Mas Jo yang lagi di Banyuwangi, "Yus, Bang Roy kecelakaan di Jember, meninggal. Jenasahnya malam ini langsung dibawa ke Jember dari RSU Jember... Beritahu teman-teman alumni."
Ah..., Tuhan, mengapa Kau panggil begitu cepat... Padahal dia belum juga merasakan cinta seorang istri... Padahal belum lama berselang Papa dan Mama Bang Roy Kau panggil dengan begitu cepat pula... Padahal Anet dan adiknya masih butuh figur sang abang... Padahal aku dan Mas Jo masih punya banyak rencana bersama Bang Roy... Padahal... ah... Tuhan...



Hanya satu yang menjadi penghiburan kami: "Selanjutnya kami tidak mau, saudara-saudara, bahwa kamu tidak mengetahui tentang mereka yang meninggal, supaya kamu jangan berdukacita seperti orang-orang lain yang tidak mempunyai pengharapan. Karena jikalau kita percaya, bahwa Yesus telah mati dan telah bangkit, maka kita percaya juga bahwa mereka yang telah meninggal dalam Yesus akan dikumpulkan Allah bersama-sama dengan Dia" (1Tes. 4:13-14). Selamat jalan Bang Roy, selamat jalan Sobat...






(Sabtu, 11 November 2006, 11.47 a.m.)



Berbicara tentang Kedaulatan Allah: Siapa sih kita…?
Sebuah Refleksi Yer. 18:1-23


Sebuah iklan rokok di televisi sempat booming dengan ungkapannya: "siapa sih kamu...?" Nampaknya ungkapan ini pantas diajukan kepada Yehuda yang terjangkiti penyakit arogansi alias kesombongan rohani. Siapa sih Yehuda di hadapan Allah? Bukankah pertanyaan ini lebih pantas diajukan secara terbalik: "Siapakah Allah YHWH bagi Yehuda?" Dia bukan "sekadar" Allah yang berkuasa di wilayah teritorial Yehuda. Melainkan Allah yang berdaulat dan berkuasa atas segala bangsa. Dialah Allah yang mencabut, merobohkan, dan membinasakan bangsa-bangsa sesuai kehendak-Nya (ay. 6-7). Maka siapakah Yehuda sehingga ia mau berbantah-bantah dengan Allah dan nabi-Nya? Bukankah mereka tidak lebih dari sekelompok budak Mesir yang telah dibebaskan-Nya?
Bukannya berbalik dan mensyukuri janji pemulihan Allah bagi mereka yang bertobat (ay. 8-9), Yehuda malah bermegah dan begitu arogan dengan kemampuan mereka sebagai manusia (ay.18).
Yehuda adalah profil generasi yang begitu arogan dengan kemampuan mereka, sehingga bukan saja otoritas Yeremia yang dipertanyakan: bahkan mereka berani menolak otoritas Allah atas hidup mereka. Maka Allah tidak akan segan lagi memalingkan wajah-Nya dari Yehuda. Kengerian dan ketakutan tidak akan terhindarkan lagi menyergap Yehuda karena kedegilan hati merekan.

Saya sedang kuatir, jangan-jangan Yehuda adalah profil kita, gereja-Nya yang hidup di abad digital ini. Generasi sekarang ini telah menjadi begitu percaya dan bangga dengan kemampuan mereka. Generasi yang terus mempertanyakan dan meragukan setiap otoritas yang berusaha mengatur hidup mereka. Dan jika perlu, mereka juga akan mempertanyakan kedaulatan Allah atas hidup mereka... Apakah umat-Nya saat ini juga memiliki sikap yang mengerikan ini?
Keengganan bekerja sama dengan orang-orang yang berbeda, keengganan untuk menerima keunggulan pihak lain (atau gereja lain?), semangat ingin memecah diri atau mencari kebenaran sendiri, dan semangat mengunggulkan kelebihan-kelebihan diri adalah sikap-sikap yang siap membawa kita kepada arus arogansi dan keraguan terhadap segala otoritas. Dan jika perlu otoritas Allah atas hidupnya juga diragukan? Otonomi, Kemandirian, Independensi, dan "bebas dari pengaruh siapapun" adalah jargon-jargon generasi abad ini yang terus meragukan otoritas.
Belajarlah dari pesan Yeremia 18: kita adalah bejana yang tidak memiliki kuasa sedikitpun di tangan Sang Tukang Periuk Agung. Mampukah kita berbuat sekehendak hati kita?
Karena itu, terhadap segala arogansi jargon otonomi dan independensi, saya mengingatkan: "Waspadalah, waspadalah...!"

09 November 2006

Ucapan Bahagia Versi Dunia Sungsang


Bergembiralah orang yang "ambisius": karena mereka akan maju terus di dunia ini.

Bergembiralah orang yang keras kepala: karena mereka tidak pernah membiarkan hidup ini menyakiti mereka.

Bergembiralah mereka yang suka mengeluh: karena pada akhirnya mereka mendapatkan apa yang mereka mau.

Bergembiralah mereka yang masa bodoh: karena mereka tidak pernah dipusingkan oleh dosa-dosa mereka mereka.

Bergembiralah mereka yang tukang perintah: karena mereka akan mendapatkan hasil.

Bergembiralah yang berpengetahuan tinggi di dunia ini: karena mereka tahu mau ke mana.

Bergembiralah orang yang suka mencari masalah: karena mereka akan membuat orang memperhatikan mereka.

Apakah ini cerminan semangat dan motivasi hidup Anda...? Ataukah gambaran Khotbah di Bukit dalam Matius 5:3-12 lebih cocok menjadi gambaran hidup yang anda kejar...?




(puisi satirical di atas dikutip dari buku C. Swindoll Improving Your Serving yang juga mengutip dari gambaran J. B. Phillips dalam buku When God was Man)












08 November 2006


Kepemimpinan yang Menghamba
Sebuah Refleksi dari Interaksi Kepemimpinan
2-3 November 2006, “Duta Panisal” Jember

"You know that those who are considered rulers over the Gentiles lord it over them, and their great ones exercise authority over them. Yet it shall not be so among you; but whoever desires to become great among you shall be your servant. And whoever of you desires to be first shall be slave of all.
For even the Son of Man did not come to be served, but to serve, and to give His life a ransom for many."
(Mark. 10:42-45)


Berbicara tentang kepemimpinan tidak akan pernah ada habisnya. Ada ribuan definisi tentang kepemimpinan telah dibuat. Demikian pula ada ratusan buku kepemimpinan telah ditulis. Namun siapakah yang dapat menghayati dan menghidupi ajaran Yesus Kristus, Sang Pemimpin-Hamba yang Sejati itu? “Menjadi pemimpin bukanlah menjadi tuan (lord over) atas orang lain.” “Yang terbesar dari seorang pemimpin bukanlah ketika ia menjalankan kekuasaan (exercise authority) atas orang lain.” Menjadi pemimpin adalah menjadi hamba. Menjadi pemimpin adalah menjadi budak (slaves) atas orang lain. Dan yang terbesar dari seorang pemimpin-hamba adalah ketika ia berhasil melayani dan mau menjadi “jongos” (baca: budak) bagi orang lain. Itu semua adalah definisi kepemimpinan versi Sang Pemimpin-Hamba Sejati. Dan Dia tidak sekedar mendefinisikan, tetapi juga menjadi model yang nyata bagi definisi kepemimpinan tersebut: ”Anak Manusia juga datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan (a ransom) bagi banyak orang.”

Pertanyaannya bagi kita adalah, mudahkah proses menjadi pemimpin yang menghamba ini? Ah, betapa sulitnya bagi kita yang seringkali masih ego-centrist. Charles R. Swindoll (Improving Your Serve) menggambarkan, betapa manusia seringkali membangun sebuah menara piramida yang dibangun atas dasar ”aku,” ”milikku,” dan ”diriku sendiri.” Semangat kesuksesan demi pemujaan diri masih begitu melekat di dalam diri kita. Bahkan diakui atau tidak, disadari atau tidak, jiwa narsistik (memuja diri sendiri) seringkali menjangkiti banyak orang yang mengaku pengikut Kristus. Untuk itu, jalan memikul salib dan menyangkal diri nampaknya harus menjadi tangga pertama yang harus kita pijak: ”Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku” (Luk. 9:23; bdk. Mat. 16:24 dan Mark. 8:34). Dan jujur saja, menyangkali diri adalah sebuah proses yang harus dilatih…

(Selamat menjadi para pemimpin gereja yang menghamba Saudara-saudariku…)


Pembaharuan Hati


Yer. 17:1-13

Kebebalan: hati yang dipenuhi ukiran dosa oleh pena besi yang bermata intan

Kepada Yeremia, Allah menggambarkan betapa hati orang Yehuda telah begitu "bengkok," sehingga digambarkan mereka memiliki "hati yang telah terukir oleh dosa dengan menggunakan pena besi yang berujung intan." Begitu melekatnya dosa Yehuda di dalam hati mereka, sehingga keturunan demi keturunan akan terus hidup di dalam dosa penyangkalan akan eksistensi dan karya Allah YHWH atas hidup mereka.

Hati adalah pusat kehendak dan gerak kehidupan manusia.

"Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan" (Ams. 4:23).
"The heart is deceitful above all things, And desperately wicked; Who can know it?" (ay. 9).
Hanya Tuhan yang tahu dan menyelidiki hati. Ia mengerti motif terdalam dari kehidupan manusia. Hanya Dia yang mengerti kehendak dan pikiran manusia. Karena itu setiap isi hati yang terdalam tidak pernah tersembunyi bagi Dia.
Maka kemudian Yeremia mencatat; orang yang mengandalkan Tuhan dalam hatinya akan tampak dari kesegaran hidup yang ia hasilkan (ay. 7-8). Ia akan serti pohon yang tertanam di tepi aliran air: yang selalu hijau daunnya, yang tak mengenal musim kering, dan yang selalu menghasilkan buahnya. Sedangkan orang yang mengandalkan manusia akan tampak kering dan layu di masa-masa kehidupan yang berat. Ia dengan mudah akan tertiup angin lalu: terbang dan berlalu tanpa bekas... Maka mengarahkan dan menjaga kencenderungan hati kepada Tuhan adalah sebuah kunci kehidupan yang penuh kesegaran.



Lalu bagaimana hati manusia dapat dipulihkan dari "ukiran" dosa? Ada sebuah lagu "religius" mengatakan: "Jagalah hati, jangan kau nodai..." Mungkin manusia dapat membangun dan membentuk (to form) hatinya melalui "formasi spiritualitas"nya sendiri-sendiri. Ada "formasi spiritualitas" Hindu, ada "formasi spiritualitas" Islam, ada "formasi spiritualitas" Gerakan Zaman Baru, atau "formasi spiritualitas" Pascamodernisme.


Namun hanya Yesus yang menawarkan sebuah transformasi (bukan sekedar "formasi") hati yang tuntas. Transformasi menekankan pembaharuan yang tuntas dan bukan sekedar pembentukan yang bersifat eksternal.


"Barangsiapa minum air yang akan Kuberikan kepadanya, ia tidak akan harus untuk selama-lamany. Sebaliknya air yang akan Kuberikan kepadanya, akan menjadi mata air di dalam dirinya, yang terus-menerus memancar sampai kepada hidup yang kekal" (Yoh. 4:14).





Inspired by "Renovation of The Heart" (Dallas Willard) & Jer. 17:1-13