29 September 2007


Sebuah Rumah di Atas Awan



Sebuah rumah megah usai dibangun di sebuah bukit menjulang. Sebuah proyek raksasa telah usai dikerjakan, siap menantang awan. Tempik sorak, tepuk tangan kekaguman dikumandangkan. Sang tuan rumah tersenyum puas, terpancar binar kebanggaan di raut wajahnya. "Well, ini semua untuk sebuah kata: persembahan!" Sang pemborong, kepala para tukang, tersenyum puas ketika namanya disebut sebagai perancang beton-beton angkuh yang sekarang menjulang di bukit yang dulunya gersang. Sementara rekan-rekan sang tuan rumah bertepuk tangan dan merasa ikut puas. Toh gedung-gedung mentereng itu tidak mungkin berdiri tanpa investasi yang mereka lakukan. Para tamu, yang terdiri dari para tentangga dan para handai taulan, ikut bertepuk tangan, meski mereka tidak tahu untuk apa dan kepada siapa mereka memberikan tepuk kekaguman. Toh di hati mereka heran, "Andai uang sebanyak itu untuk Mbak Jupri yang tak punya gubuk reot sekalipun... Tentu banyak mbah-mbah Jupri yang lain akan dapat berteduh dari terik dan hujan... Ah..."

Mereka hanya bisa mendesah...


Konon rumah itu dibangun di atas sebuah pondasi: atas nama Kerajaan Allah! Namun bukankah Kerajaan-Nya bukan berbicara tentang lokasi dan bangunannya? Kalau kemudian biaya perawatan bangunan yang sudah berdiri saja mampu menelan seluruh kekayaan kampung-kampung miskin di pedalaman Papua sana, apakah pantas jika dikatakan bahwa beton-beton itu didirikan atas nama Kerajaan-Nya? Kalau kemudian untuk memasuki halaman rumah itu aku harus menjawab pertanyaan-pertanyaan para punggawa yang berdiri di gerbangnya - jujur itu sempat membuat aku tergagap - apakah pantas jika dikatakan bangunan itu demi Keagungan nama-Nya? Ah... Aku mungkin terlalu naif... Sekarang, biarkan aku mendesah... Karena hanya itu yang mampu aku lakukan...


Rumah di atas awan. Aku mencoba melongok ke dalam. Mencoba melihat isinya. Tenggorokkanku mengering, tercekat dan bingung. Aku merasa asing. Aku mencoba menjejakkan kaki ke bumi beberapa kali. Namun aku tetap merasa terbang ke awan. Bukan lagi berjejak di bumi ini. Maka aku segera berlari, berlari-lari ke luar gedung megah itu. Dan meski nafasku tersengal, hatiku lega. Kakiku kembali berjejak di bumi. Jujur aku takut. Aku takut, jangan-jangan para penghuni rumah di atas awan itu begitu terlena melayang di sela-sela awan. Dan jika mereka terpaksa harus keluar, mereka tidak mampu berjejak di bumi. Berjejak di halaman-halaman lain yang dipenuhi gubuk reot. Ah... Sekali lagi aku hanya mampu mendesah... Kuatir. Namun pasrah...