16 December 2014

Mengambil Nilai Diri Kita dari Kristus

Kolose 1:9-20
"Karena seluruh kepenuhan Allah berkenan diam di dalam Dia"
Kol. 1:19

Pendapat orang cenderung menjadi masalah besar bagi kita, dan ego manusia seringkali membawa kita untuk mencari nilai diri kita di dalam pujian dan kritik orang lain. Kita dengan mudah melambung gara-gara pujian, dan sebaliknya menjadi terluka karena kritik orang lain. Namun kita perlu menyadari bahwa keinginan hati manusia begitu luas dan dalam sehingga pujian dari orang lain tidak akan pernah cukup untuk sepenuhnya memuaskan kita. Begitu pula, ketika kira mengerti betapa luasnya alam semesta yang tidak berujung, kita sadar bahwa bumi kita bukanlah pusatnya. 
Cara pandang yang demikian melepaskan kita dari sikap mementingkan diri sendiri dan membuka mata kita pada gagasan bahwa bisa jadi ada sesuatu atau seseorang yang lebih besar dan lebih tinggi daripada diri kira, yang layak menjadi tujuan hidup kita. Apabila kita mencoba untuk mencari nilai diri kita dari keberhasilan atau kegagalan kita, ataupun pujian dan kritik orang lain, kita akan selalu jauh dari kepuasan. Hati kita hanya dapat memperoleh kelegaan ketika nilai diri kita bersalah dari karya Kristus yang sempurna. Kristus adalah sumber, sarana, dan tujuan dari segala sesuatu, dan Dia adalah satu-satunya yang layak bagi hati dan hidup kita. Hanya di dalam Kristuslah kita akan mendapat kepuasan terdalam ketika mendngar Bapa kita berkata, "Engkaulah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Mulah Aku berkenan" (Luk. 3:22).

05 December 2014

Memulihkan Dukacita 
dalam Penyembahan
Refleksi Ratapan 2:1-10


Berapa banyak dari kita yang pernah masuk ke suatu kebaktian setelah mengalami minggu yang amat berat, dan terpaksa "berpura-pura khusuk" mengikuti ibadah? Sementara dunia Anda runtuh, Anda mengikuti irama musik, terpaksa tersenyum dan berjabat tangan dengan orang di samping Anda, dan membalas salam khas sang gembala, dan di tengah semuanya itu Anda merasa tidak sungguh terlibat dalam seluruh pengalaman tersebut. Dalam budaya pop saat ini, bahkan ketika ada pemimpin pujian bertanya apa kabar Anda, dengan "terpaksa" Anda harus menjawab, "luar biasa!"

Penyembahan dalam firman tidak selalu harus dengan bertepuk tangan dan menari-nari. Ketika kita membaca Mazmur, di situ bahkan ratapan dan dukacita yang mendalam, serta ungkapan hati yang remuk redam begitu nyata diungkapkan. Ada pula amarah, keputusasaan, seruan memohon keadilan, dan bahkan pertanyaan di tengah-tengah penderitaan - "Berapa lama lagi, TUHAN, Kaulupakan aku terus-menerus? Berapa lama lagi Kausembunyikan wajah-Mu terhadap aku? (Mzm. 13:1).
Sebaliknya, kebaktian Minggu kita saat ini  sudah semakin tidak peka dengan persoalan kehidupan nyata jemaat. Kebaktian Minggu kontemporer malah semakin mirip acara hiburan (yang bersifat membius), dimana bahkan secara eksplisit jemaat diminta untuk sejenak meninggalkan dan melupakan permasalahan kehidupannya.

Gereja perlu kembali melakukan praktik alkitabiah untuk meratap dalam ibadah, sebab banyak hal di dunia ini yang tidak berjalan sebagaimana mestinya. Kita adalah masyarakat yang tidak tahu lagi bagaimana seharusnya berdukacita - berduka atas dosa kita, berduka atas ketidakadilan dunia, dan berduka atas penderitaan lain (Matius 5:4). Bisa jadi, pola kebaktian Minggu gereja-gereja saat ini yang sedikit banyak "membius" jemaat, telah melahirkan sikap apatis dan kurang empati jemaat terhadap penderitaan dan dosa-dosa dalam masyarakat kita. Yesus sendiri adalah seorang yang mudah bersedih. Namun, Allah selalu muncul di tengah-tengah persoalan kehidupan nyata. Di tengah kehancuran inilah Dia membawa kita makin mendekat kepada-Nya.

(diangkat dan diedit dari Living Life, 4 Desember 2014)

28 September 2014

Bright Star

by. John Keats

Bright star, would I were stedfast as thou art—
         Not in lone splendour hung aloft the night
And watching, with eternal lids apart,
         Like nature's patient, sleepless Eremite,
The moving waters at their priestlike task
         Of pure ablution round earth's human shores,
Or gazing on the new soft-fallen mask
         Of snow upon the mountains and the moors—
No—yet still stedfast, still unchangeable,
         Pillow'd upon my fair love's ripening breast,
To feel for ever its soft fall and swell,
         Awake for ever in a sweet unrest,
Still, still to hear her tender-taken breath,

And so live ever—or else swoon to death. 


(a poem for someone from the past and for the present and future)