05 December 2014

Memulihkan Dukacita 
dalam Penyembahan
Refleksi Ratapan 2:1-10


Berapa banyak dari kita yang pernah masuk ke suatu kebaktian setelah mengalami minggu yang amat berat, dan terpaksa "berpura-pura khusuk" mengikuti ibadah? Sementara dunia Anda runtuh, Anda mengikuti irama musik, terpaksa tersenyum dan berjabat tangan dengan orang di samping Anda, dan membalas salam khas sang gembala, dan di tengah semuanya itu Anda merasa tidak sungguh terlibat dalam seluruh pengalaman tersebut. Dalam budaya pop saat ini, bahkan ketika ada pemimpin pujian bertanya apa kabar Anda, dengan "terpaksa" Anda harus menjawab, "luar biasa!"

Penyembahan dalam firman tidak selalu harus dengan bertepuk tangan dan menari-nari. Ketika kita membaca Mazmur, di situ bahkan ratapan dan dukacita yang mendalam, serta ungkapan hati yang remuk redam begitu nyata diungkapkan. Ada pula amarah, keputusasaan, seruan memohon keadilan, dan bahkan pertanyaan di tengah-tengah penderitaan - "Berapa lama lagi, TUHAN, Kaulupakan aku terus-menerus? Berapa lama lagi Kausembunyikan wajah-Mu terhadap aku? (Mzm. 13:1).
Sebaliknya, kebaktian Minggu kita saat ini  sudah semakin tidak peka dengan persoalan kehidupan nyata jemaat. Kebaktian Minggu kontemporer malah semakin mirip acara hiburan (yang bersifat membius), dimana bahkan secara eksplisit jemaat diminta untuk sejenak meninggalkan dan melupakan permasalahan kehidupannya.

Gereja perlu kembali melakukan praktik alkitabiah untuk meratap dalam ibadah, sebab banyak hal di dunia ini yang tidak berjalan sebagaimana mestinya. Kita adalah masyarakat yang tidak tahu lagi bagaimana seharusnya berdukacita - berduka atas dosa kita, berduka atas ketidakadilan dunia, dan berduka atas penderitaan lain (Matius 5:4). Bisa jadi, pola kebaktian Minggu gereja-gereja saat ini yang sedikit banyak "membius" jemaat, telah melahirkan sikap apatis dan kurang empati jemaat terhadap penderitaan dan dosa-dosa dalam masyarakat kita. Yesus sendiri adalah seorang yang mudah bersedih. Namun, Allah selalu muncul di tengah-tengah persoalan kehidupan nyata. Di tengah kehancuran inilah Dia membawa kita makin mendekat kepada-Nya.

(diangkat dan diedit dari Living Life, 4 Desember 2014)

No comments: