19 April 2007

Dunia Ironi


Memasuki bumi Jayapura, melewati berbagai tikungan berkelok, aku melihat ironi yang nyata.
Bumi yang indah, tanah yang hijau, sebuah gambaran lukisan ilahi yang begitu cantik.
Seharusnya mereka dapat hidup dengan tersenyum.
Seharusnya anak-anak mereka dapat bercanda riang di dalam tawa yang penuh harapan.
Tanah yang hijau, laut yang jernih siap direngkuh sebagai sumber kehidupan yang penuh cita.
Namun sebuah ironi segera menyeruak dari harap yang tergantung.
Saudaraku yang di sana sedang dalam duka.
Tanah tempat mereka menggantungkan harap untuk mengisi perut mereka telah tergadaikan. Mereka yang seharusnya menjadi tuan atas tanah mereka, kini siap melihat tangan sang tuan teracung kepada mereka.
Kegelapan akan siap mengancam dan menerkam laksana beruang yang lapar.
Mereka terlena, mereka terlelap...
Tanpa sadar bayang-bayang kelam virus mematikan siap menjadikan mereka pesakitan.
Kehidupan pesta kemabukan siap menelan mereka dalam kekosongan hidup.
Sebuah ironi segera terpampang:
Bumi yang cantik, namun saudaraku hidup dalam tangis.
Aku berdoa untukmu, sobat.
Aku menangis untukmu, saudaraku...
Kiranya Tuhan segera membangunkan tidur lelapmu. Berjuanglah, kawan...!
(Catatan Papua, 29 Maret-11 April 2007)