20 December 2006




THE LAMB


Little lamb, who made thee?
Does thou know who made thee,
Gave thee life, and bid thee feed
By the stream and o'er the mead;
Gave thee clothing of delight,
Softest clothing, woolly, bright;
Gave thee such a tender voice,
Making all the vales rejoice?
Little lamb, who made thee?
Does thou know who made thee?


Little lamb, I'll tell thee;
Little lamb, I'll tell thee:
He is called by thy name,
For He calls Himself a Lamb.
He is meek, and He is mild,
He became a little child.
I a child, and thou a lamb,
We are called by His name.
Little lamb, God bless thee!
Little lamb, God bless thee!

taken from William Blake's Poems
THE DIVINE IMAGE


To Mercy, Pity, Peace, and Love,
All pray in their distress,
And to these virtues of delight
Return their thankfulness.


For Mercy, Pity, Peace, and Love,
Is God our Father dear;
And Mercy, Pity, Peace, and Love,
Is man, His child and care.


For Mercy has a human heart;
Pity, a human face;
And Love, the human form divine:
And Peace the human dress.


Then every man, of every clime,
That prays in his distress,
Prays to the human form divine:
Love, Mercy, Pity, Peace.


And all must love the human form,
In heathen, Turk, or Jew.
Where Mercy, Love, and Pity dwell,
There God is dwelling too.




taken from William Blake's Poems Collection










THE SHEPHERD


How sweet is the shepherd's sweet lot!
From the morn to the evening he strays;
He shall follow his sheep all the day,
And his tongue shall be filled with praise.


For he hears the lambs' innocent call,
And he hears the ewes' tender reply;
He is watchful while they are in peace,
For they know when their shepherd is nigh.

taken from William Blake's Poems Collection

18 December 2006

Nyatakanlah Kebaikanmu, Tuhan sudah dekat !
Filipi 4:2-9
(Ringkasan Khotbah yg. Disampaikan kepada jemaat GKI Jember, 17 Desember 2006)


Pendahuluan
Masa Advent adalah masa di mana kita diajak untuk mempersiapkan diri kita di dalam penantian terhadap kedatangan Tuhan. Melalui masa Advent, setiap orang percaya diingatkan untuk terus bersiap-siap dan bekerja giat bagi-Nya seolah-olah Kristus akan datang esok hari. Ungkapan ”Tuhan sudah dekat” sebenarnya dapat dipahami dalam pemaknaan ganda. Kata ”dekat” seharusnya kita pahami bukan saja berbicara kronologi waktu, di mana ungkapan ”Tuhan sudah dekat” dikaitkan dengan kepastian kedatangan Kristus yang kedua kalinya nanti, atau yang biasa disebut sebagai parousia. Istilah ”dekat” juga dapat berarti bahwa Kristus yang telah naik ke sorga itu, sebenarnya dekat (dalam artian jarak) dengan setiap jemaat melalui kehadiran Roh Kudus. Di dalam pemaknaan ganda inilah Rasul Paulus seolah sedang mengingatkan jemaat di Filipi: ”Ingatlah, bahwa Kristus itu ada di tengah-tengah kita melalui Roh-Nya, dan Dia juga pasti akan segera datang untuk kedua kalinya. Karena itu hendaklah kebaikan hatimu diketahui setiap orang. Hendaklah kebaikanmu itu nyata bagi semua orang.”
Lalu apa yang dimaksudkan Rasul Paulus dengan ”kebaikan hati” dalam bagian ini? Istilah ”kebaikan” yang digunakan rasul Paulus di sini sebenarnya lebih khusus berkaitan dengan suatu sikap hati yang dipenuhi kasih sehingga memancarkan keramahan atau kelemahlembutan. Istilah ini berhubungan erat dengan kasih dan kelemahlembutan yang harus tampak dalam hidup orang Kristen, karena karakter ini juga tampak dalam diri Kristus. Dalam 2 Korintus 10:1, Rasul Paulus menggunakan kata yang sama dengan Filipi 4:5 ini, ”... aku memperingatkan kamu demi Kristus yang lemah lembut dan ramah.”
Secara singkat, dapat dikatakan bahwa dalam bagian ini rasul Paulus mengajak jemaat Filipi untuk menyatakan dan mengekspresikan kasih, keramahan dan kelemah-lembutan, sebagaimana yang nampak dalam karakter Kristus, baik kepada sesama jemaat maupun kepada orang lain yang belum mengenal Kristus. Alasan utama dari nasihatnya ini adalah agar mereka memberikan kesaksian kepada semua orang bahwa Kristus memang nyata dekat atau hadir dalam kehidupan mereka, dan bahwa Kristus akan datang kedua kalinya untuk menghakimi dunia ini. Lalu, bagaimana secara konkrit kasih, keramahan, dan kelemahlembutan itu nyata dalam kehidupan kita? Saya mencatat setidaknya terdapat dua hal yang harus menjadi sikap hati dan perilaku yang diharapkan Tuhan nyata sebagai ”kebaikan hati” dalam hidup kita.

1. Kasih, keramahan, dan kelemahlembutan itu harus nyata di dalam hubungan kerukunan di dalam kesatuan jemaat sebagai Tubuh Kristus (ay. 2-3)
Di ayat 2 Rasul Paulus menyebutkan dua nama yaitu Euodia dan Sintikhe dalam rangka menasehati mereka untuk sehati dan sepikir: ”Euodia kunasihati dan Sintikhe kunasihati, supaya sehati sepikir dalam Tuhan.” Nampaknya kedua orang ini adalah para wanita pemimpin jemaat di Filipi. Dari nasihat Rasul Paulus, nampak bahwa mereka sedang di dalam perselisihan yang serius. Terlepas dari apakah perselisihan itu begitu tajam atau tidak, namun tersebarnya kabar perselisihan itu hingga ke telinga Paulus, menunjukkan betapa relasi yang tidak baik antara dua tokoh wanita dari gereja Filipi ini sudah memberikan contoh yang kurang baik bagi kesaksian jemaat. Karena itu Rasul Paulus dengan penuh kelembutan menasehati mereka agar sehati dan sepikir di dalam Tuhan.
Betapa sering orang Kristen masa kini tidak mampu lagi menjadi kesaksian dan berkat bagi orang yang belum mengenal Allah, yang dikarenakan adanya perselisihan, pertengkaran, dan perpecahan di antara anggota tubuh Kristus sendiri. Sebaliknya, jika Bapak, Ibu, Saudara, seluruh jemaat bersehati dan sepikir di dalam Kristus, maka kemampuan kita untuk menyatakan kasih Kristus bagi orang lain akan semakin nyata. Bukankah Tuhan Yesus sendiri pernah berkata di dalam Yohanes 13:35, ”Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi.” Kuncinya adalah satu: marilah kita tempatkan hati dan pikiran kita di dalam Kristus. Perselisihan dan bahkan pertikaian tajam di antara jemaat Tuhan seringkali muncul karena setiap kita berpikir dan berkehendak dengan memusatkan diri sendiri. Karena itu, Rasul Paulus menasihatkan jemaat Filipi dan kita pada zaman ini, ”Marilah kita tempatkan hati, pikiran dan kehendak kita di dalam Kristus. Karena Dia adalah Kepala kita, dan hanya Dialah yang dapat berkehendak dengan sempurna bagi kita, jemaat-Nya.”

2. Kasih, keramahan, dan kelemahlembutan nyata dalam hidup yang tidak berkekuatiran melainkan hidup yang dipenuhi sukacita ilahi (ay. 4, 6-7)
Sikap kedua yang menjadikan kebaikan hati kita nyata bagi orang lain adalah ”hati yang meluap dengan sukacita, dan yang tidak berkekuatiran tentang apapun juga.” Kepada jemaat di Filipi rasul Paulus mengatakan, ”Bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan! Sekali lagi kukatakan: Bersukacitalah!” Tema sentral dari surat Filipi sebenarnya adalah sukacita di dalam Tuhan. Di balik tema sukacita ini sebenarnya terdapat beberapa fakta yang ironis. Yang pertama, Rasul Paulus menuliskan surat Filipi ini di dalam penderitaanya di dalam penjara di Roma. Tidak ada alasan berdasarkan kondisi yang dia alami yang dapat membuat Rasul Paulus bergembira. Yang kedua, jemaat Filipi pada masa itu adalah jemaat yang juga sedang menghadapi tekanan dan penganiayaan karena iman yang mereka pegang. Seharusnya yang Rasul Paulus sampaikan adalah penghiburan dan bukan nasihat untuk bersukacita. Namun Rasul Paulus bahkan menekankan, ”bersukacitalah selalu, sekali lagi kukatakan bersukacitalah.”
Sukacita Kristen yang sejati bukanlah sukacita yang sementara, yang segera berlalu bersama perubahan kondisi di sekitar yang memburuk. Sukacita kristiani yang sejati terus ada di dalam diri setiap orang yang hidup bergantung penuh di dalam Kristus. Karena itu, frasa ”di dalam Tuhan” (ay. 4) dan ”dalam Kristus Yesus” (ay. 7) digunakan Rasul Paulus di sini untuk menekankan pemahaman bahwa hanya orang-orang yang tinggal di dalam Kristus, hanya orang-orang yang memiliki keintiman relasi dengan-Nya yang dapat mengalami sukacita yang sejati.
Di ayat 6, nasihat untuk bersukacita ini kemudian Rasul Paulus kontraskan dengan nasihat agar jemaat Filipi tidak berkekuatiran, ”Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur.” Jelas ini merupakan kontras yang digunakan Rasul Paulus untuk menekankan konsep sukacita yang sejati. Dengan kata lain, orang yang bersukacita adalah orang yang hidupnya tidak berkekuatiran tentang apapun di dalam hidup ini. Jemaat Filipi yang menghadapi tantangan karena imannya, sangat mungkin terhanyut di dalam kekuatiran akan hidupnya. Karena itu rasul Paulus seolah berkata, ”Kalau kamu ingin bersukacita, kamu jangan kuatir tentang apapun juga. Bersandarlah dan bergantunglah secara total kepada Allah. Nantikan semua keinginanmu dalam doa, dan mengucap syukurlah untuk setiap jawaban yang Tuhan berikan.” Di dalam relasi yang begitu intim dengan Kristus inilah, seorang Kristen akan mengalami sukacita yang tidak tergoyahkan oleh kekuatiran tentang apapun. Maka akhirnya rasul Paulus yakin, ”Damai sejahtera Allah, yang melampaui segala akal, akan memelihara hati dan pikiranmu dalam Kristus Yesus.”
Karena itu, saya melihat kaitan yang sangat kuat secara teologis di dalam ungkapan ”di dalam Tuhan” atau ”dalam Kristus Yesus” dengan ungkapan ”Tuhan sudah dekat.” Orang yang bersukacita adalah orang yang sadar dan mengalami sepenuhnya bahwa Tuhan Yesus ada dekat, dan hadir di dalam segala kesusahan dan penderitaanya. Orang ini juga tidak pernah terserang oleh penyakit kekuatiran, melainkan terus berpengharapan menantikan kepastian kedatangan Kristus yang kedua yang pasti, untuk melenyapkan segala duka dan menggenapkan sukacitanya. Maka sekali lagi, di dalam kehidupan yang meluap dengan sukacita dan tak berkekuatiran itulah, seorang Kristen akan mampu menyatakan kebaikan hatinya bagi orang lain.

Penutup
Jemaat yang dikasihi Tuhan dan yang setia menantikan kedatangan Tuhan. Kebaikan hati yang terpancar dari hidup kita adalah tanda bahwa kita menyadari Tuhan Yesus dekat dan hadir dalam hidup kita. Hal itu juga terpandar dari pengharapan kita, bahwa Dia akan datang untuk kedua kalinya untuk menggenapkan sukacita kita dan melimpahkan ”damai sejahtera Allah yang melampaui segala akal” di dalam hidup kita. Amin. Maranatha.



15 December 2006

Putri Babel yang Menggoda


Seorang Putri yang cantik dan menggoda...
Ia bergaunkan kebinalan dan kenajisan hidup berwarna merah menyala
Siap menggoda dan menyeret siapa saja yang terpana melihatnya

Gemulai berjalannya selalu mempesona siapa saja yang memandangnya
Bahasanya adalah bahasa materialisme...
Senyumnya adalah hidup hedonisme...
Kerling matanya menyiratkan semangat relativisme...
Pikirannya memancarkan jiwa sekularisme...
Seluruh hidupnya ia persembahkan bagi penghujatan...

Lihatlah, siapa yang terpana kepadanya...?
Siapa yang menikmati anggur kemanisan perzinahannya...?
Mereka akan berkabung dalam debu...
Menangis menyayat hati...
Karena Sang Putri Babel yang jelita dan penuh gairah neraka,
akan tenggelam seperti batu yang dileparkan ke dalam lautan
akan dibakar di dalam tungku api hingga habis tiada tersisa...
Maka seluruh pengikut yang memujanya akan hidup dalam tangisan tiada henti...
O, putri Babel, janganlah kiranya aku hanyut dalam jeratmu...


Jumat, 15 Desember 2006

Sebuah Refleksi Wahyu 17-18

13 December 2006

Banyak orang Kristen berpikir bahwa seni dari memberi terletak pada pengorbanan dan kerelaan menderita karena harus kehilangan. Bahkan banyak mimbar gereja mengajarkan bahwa memberi adalah sebuah tindakan pemiskinan diri. Maka letak ”kebaikan memberi” (the virtue of giving), menurut para pengajar ini, adalah pada tindakan pengakuan akan pengorbanan memberi.

Perhatikan ajaran Tuhan Yesus tentang janda miskin yang memberi dua peser uang sebagai persembahan (Mrk. 12:41-44; Luk. 21:1-4). Seharusnya Tuhan Yesus memuji orang-orang kaya yang telah ”berkorban” lebih banyak daripada janda miskin tersebut. Namun ternyata Tuhan lebih memuji janda miskin tersebut, karena ia melakukan sesuatu yang lebih dari sekedar sebuah ”pengorbanan.” Sesungguhnya janda miskin ini telah memberi dengan segala ”kekayaannya,” karena dua keping uang tembaga tersebut adalah seluruh hartanya. Dapat dikatakan bahwa ia telah memberikan seluruh hidupnya. Saya begitu yakin bahwa janda miskin ini dipenuhi dengan luapan sukacita yang sejati ketika ia meletakkan dua keping uangnya sebagai persembahan. Meski sulit dibayangkan bahwa ia dapat tertawa ketika melakukannya, namun ia pasti telah dilingkupi oleh luapan syukur terlebih dahulu, dan bukan oleh semangat penderitaan karena harus berkorban dan menjadi ”bangkrut” karena pemberiannya itu. Ibu janda itu telah memberi dengan segala potensinya, memberi di dalam segala totalitas hidupnya, memberi di dalam segala keutuhan hidupnya. Bukan karena ia begitu kuat untuk menderita pemiskinan, tetapi karena ia begitu menghayati apa artinya hidup meresponi anugerah-Nya.

Erich Fromm menuliskan tentang seni memberi ini: ”Memberi adalah ekspresi tertinggi dari potensi. Dalam tindakan memberi yang sungguh-sungguh, saya merasakan kekuatan saya, kekayaan saya, kekuasaan saya. Vitalitas memuncak yang dirasakan memenuhi diri saya dengan sukacita. Saya merasakan diri saya seperti meluap, berguna, hidup, karenanya menjadi bersukacita. Memberi itu lebih membuat diri bersukacita daripada menerima, bukan karena tindakan ini adalah suatu kehilangan, tetapi karena di dalam tindakan memberi terletak ekspresi kegembiraan saya.”*



*) The Art of Loving (New York: Harper, 1974) 18-19.