13 December 2006

Banyak orang Kristen berpikir bahwa seni dari memberi terletak pada pengorbanan dan kerelaan menderita karena harus kehilangan. Bahkan banyak mimbar gereja mengajarkan bahwa memberi adalah sebuah tindakan pemiskinan diri. Maka letak ”kebaikan memberi” (the virtue of giving), menurut para pengajar ini, adalah pada tindakan pengakuan akan pengorbanan memberi.

Perhatikan ajaran Tuhan Yesus tentang janda miskin yang memberi dua peser uang sebagai persembahan (Mrk. 12:41-44; Luk. 21:1-4). Seharusnya Tuhan Yesus memuji orang-orang kaya yang telah ”berkorban” lebih banyak daripada janda miskin tersebut. Namun ternyata Tuhan lebih memuji janda miskin tersebut, karena ia melakukan sesuatu yang lebih dari sekedar sebuah ”pengorbanan.” Sesungguhnya janda miskin ini telah memberi dengan segala ”kekayaannya,” karena dua keping uang tembaga tersebut adalah seluruh hartanya. Dapat dikatakan bahwa ia telah memberikan seluruh hidupnya. Saya begitu yakin bahwa janda miskin ini dipenuhi dengan luapan sukacita yang sejati ketika ia meletakkan dua keping uangnya sebagai persembahan. Meski sulit dibayangkan bahwa ia dapat tertawa ketika melakukannya, namun ia pasti telah dilingkupi oleh luapan syukur terlebih dahulu, dan bukan oleh semangat penderitaan karena harus berkorban dan menjadi ”bangkrut” karena pemberiannya itu. Ibu janda itu telah memberi dengan segala potensinya, memberi di dalam segala totalitas hidupnya, memberi di dalam segala keutuhan hidupnya. Bukan karena ia begitu kuat untuk menderita pemiskinan, tetapi karena ia begitu menghayati apa artinya hidup meresponi anugerah-Nya.

Erich Fromm menuliskan tentang seni memberi ini: ”Memberi adalah ekspresi tertinggi dari potensi. Dalam tindakan memberi yang sungguh-sungguh, saya merasakan kekuatan saya, kekayaan saya, kekuasaan saya. Vitalitas memuncak yang dirasakan memenuhi diri saya dengan sukacita. Saya merasakan diri saya seperti meluap, berguna, hidup, karenanya menjadi bersukacita. Memberi itu lebih membuat diri bersukacita daripada menerima, bukan karena tindakan ini adalah suatu kehilangan, tetapi karena di dalam tindakan memberi terletak ekspresi kegembiraan saya.”*



*) The Art of Loving (New York: Harper, 1974) 18-19.

No comments: