23 December 2010

Sejarah Lagu "Malam Kudus"


Stille Nacht, heilige Nacht,
Alles schläft; einsam wacht
Nur das traute hochheilige Paar.
Holder Knabe im lockigen Haar,
Schlaf in himmlischer Ruh!
Schlaf in himmlischer Ruh!

(lagu "Malam Kudus" dalam Bahasa Jerman)

...

Kita tentu akan merasa ada sesuatu yang kurang kalau ada perayaan Natal tanpa menyanyikan "Malam Kudus," bukan?

Terjemahan-terjemahan lagu Natal kesayangan itu sedikit berbeda satu dari yang lainnya, namun semuanya hampir serupa. Hal itu berlaku juga dalam bahasa- bahasa asing. Lagu itu begitu sederhana, sehingga tidak perlu ada banyak selisih pendapat atau perbedaan kata dalam menterjemahkannya.

"Malam Kudus" sungguh merupakan lagu pilihan, karena dinyanyikan dan dikasihi di seluruh dunia. Bahkan para musikus ternama rela memasukkannya pada acara konser dan piringan hitam mereka.

Anehnya, nyanyian yang terkenal di seluruh dunia itu sesungguhnya berasal dari sebuah desa kecil di daerah pegunungan negeri Austria. Inilah ceritanya....

Orgel yang Rusak

Orgel di gereja desa Oberndorf sedang rusak. Tikus-tikus sudah mengunyah banyak bagian dalam dari orgel itu.

Seorang tukang orgel telah dipanggil dari tempat lain. Tetapi menjelang Hari Natal tahun 1818, orgel itu masih belum selesai diperbaiki. Sandiwara Natal terpaksa dipindahkan dari gedung gereja, karena bagian-bagian orgel yang sedang dibetulkan itu masih berserakan di lantai ruang kebaktian.

Tentu tidak ada seorang pun yang mau kehilangan kesempatan melihat sandiwara Natal. Pertunjukan itu akan dipentaskan oleh beberapa pemain kenamaan yang biasa mengadakan tour keliling. Drama Natal sudah menjadi tradisi di desa itu, sama seperti di desa-desa lainnya di negeri Austria.

Untunglah, seorang pemilik kapal yang kaya raya mempunyai rumah besar di desa itu. la mengundang para anggota gereja untuk menyaksikan sandiwara Natal itu di rumahnya.

Tentu saja Josef Mohr, pendeta pembantu dari gereja itu, diundang pula. Pada malam tanggal 23 Desember, ia turut menyaksikan pertunjukan di rumah orang kaya itu.

Sesudah drama Natal itu selesai, Pendeta Mohr tidak terus pulang. la mendaki sebuah bukit kecil yang berdekatan. Dari puncaknya ia memandang jauh ke bawah, dan melihat desa di lembah yang disinari cahaya bintang yang gemerlapan. Sungguh malam itu indah sekali ... malam yang kudus ... malam yang sunyi ....

Hadiah Natal yang Istimewa

Pendeta Mohr baru sampai ke rumah tengah malam. Tetapi ia belum juga siap tidur. Ia menyalakan lilin, lalu mulai menulis sebuah syair tentang apa yang telah dilihatnya dan dirasakannya pada malam itu.

Keesokan harinya pendeta muda itu pergi ke rumah temannya. Franz Gruber, yang juga masih muda, adalah kepala sekolah di desa Arnsdorf, yang terletak tiga kilometer jauhnya dari Oberndorf. la pun merangkap pemimpin musik di gereja yang dilayani oleh Josef Mohr.

Pendeta Mohr lalu memberikan sehelai kertas lipatan kepada kawannya. "Inilah hadiah Natal untukmu," katanya, "sebuah syair yang baru saja saya karang tadi malam."

"Terima kasih, pendeta!" balas Franz Gruber.

Setelah mereka berdua diam sejenak, lalu pendeta muda itu bertanya: "Mungkin engkau dapat membuat lagunya, ya?"

Franz Gruber senang atas saran itu. Segera ia mulai bekerja dengan syair hasil karya Josef Mohr.

Pada sore harinya, tukang orgel itu sudah cukup membersihkan ruang kebaktian sehingga gedung gereja dapat dipakai lagi. Tetapi orgel itu sendiri masih belum dapat digunakan.

Penduduk desa berkumpul untuk merayakan Malam Natal. Dengan keheranan mereka menerima pengumuman, bahwa termasuk pada acara malam itu ada sebuah lagu Natal yang baru.

Franz Gruber sudah membuat aransemen khusus dari lagu ciptaannya--untuk dua suara, diiringi oleh gitar dan koor. Mulailah dia memetik senar pada gitar yang tergantung di pundaknya dengan tali hijau. Lalu ia membawakan suara bas, sedangkan Josef Mohr menyanyikan suara tenor.

Paduan suara gereja bergabung dengan duet itu pada saat-saat yang telah ditentukan. Dan untuk pertama kalinya lagu "Malam Kudus" diperdengarkan.

Bagaimana Tersebar?

Tukang orgel turut hadir dalam kebaktian Malam Natal itu. Ia senang sekali mendengarkan lagu Natal yang baru. Mulailah dia bersenandung, mengingat not-not melodi itu dan mengulang-ulangi kata-katanya.

"Malam Kudus" masih tetap bergema dalam ingatannya pada saat ia selesai memperbaiki orgel di Oberndorf, lalu pulang.

Sekarang masuklah beberapa tokoh baru dalam ceritanya, yaitu: Strasser bersaudara. Keempat gadis Strasser itu adalah anak-anak seorang pembuat sarung tangan. Mereka berbakat luar biasa di bidang musik.

Sewaktu masih kecil, keempat gadis cilik itu suka menyanyi di pasar, sedangkan ayah mereka menjual sarung tangan buatannya. Banyak orang mulai memperhatikan mereka, dan bahkan memberi mereka uang alas nyanyiannya.

Demikian kecilnya permulaan karier keempat gadis Strasser itu, hanya sekedar menyanyi di pasar. Tetapi mereka cepat menjadi tenar. Mereka sempat berkeliling ke banyak kota. Yang terutama mereka tonjolkan ialah lagu-lagu rakyat dari tanah air mereka, yakni dari daerah pegunungan negeri Austria.

Tukang orgel tadi mampir ke rumah keempat Strasser bersaudara. Kepada mereka ia nyanyikan lagu Natal yang baru saja dipelajarinya dari kedua penciptanya di gereja desa itu.

Salah seorang penyanyi wanita itu menuliskan kata-kata dan not-not yang mereka dengarkan dari tukang orgel teman mereka. Dengan berbuat demikian mereka pun dapat menghafalkannya.

Keempat wanita itu senang menambahkan "Malam Kudus" pada acara mereka. Makin lama makin banyak orang yang mendengarnya, sehingga lagu Natal itu mulai dibawa ke negeri-negeri lain pula.

Pernah seorang pemimpin konser terkenal mengundang keempat kakak-beradik dari keluarga Strasser itu untuk menghadiri konsernya. Sebagai atraksi penutup acara yang tak diumumkan sebelumnya, ia pun memanggil keempat wanita itu untuk maju ke depan dan menyanyi. Antara lain, mereka menyanyikan "Malam Kudus," yang oleh mereka diberi judul "Lagu dari Surga."

Raja dan ratu daerah Saksen menghadiri konser itu. Mereka mengundang rombongan penyanyi Strasser itu untuk datang ke istana pada Malam Natal. Tentu saja di sana pun mereka membawakan lagu "Malam Kudus."

Rahasia Asal Usulnya

Lagu Natal yang indah itu umumnya dikenal hanya sebagai "lagu rakyat" saja. Tetapi sang raja ingin tahu siapakah pengarangnya. Pemimpin musik di istana, yaitu komponis besar Felix Mendelssohn (lihatlah pasal 14 dari JILID 3 dalam seri buku ini), juga tidak tahu tentang asal usul lagu Natal itu.

Sang raja mengirim seorang utusan khusus untuk menyelidiki rahasia itu. Utusannya hampir saja pulang dengan tangan kosong. Lalu secara kebetulan ia mendengar seekor burung piaraan yang sedang bersiul. Lagu siulannya tak lain ialah "Malam Kudus"!

Setelah utusan raja tahu bahwa burung itu dulu dibawa oleh seseorang dalam perjalanannya dari daerah pegunungan Austria, maka pergilah dia ke sana serta menyelidiki lebih jauh. Mula-mula ia menyangka bahwa barangkali ia akan menemukan lagu itu dalam naskah-naskah karangan Johann Michael Haydn, seorang komponis bangsa Austria yang terkenal. (Lihatlah pasal 6 dari JILID 3 dalam seri buku ini.) Tetapi sia-sia semua penelitiannya.

Akan tetapi usaha utusan raja itu telah menimbulkan rasa ingin tahu pada penduduk setempat. Seorang pemimpin koor anak-anak merasa bahwa salah seorang muridnya mungkin pernah melatih burung yang pandai mengidungkan "Malam Kudus" itu. Maka ia menyembunyikan diri sambil bersiul meniru suara burung tersebut.

Segera muncullah seorang anak laki-laki, mencari burung piaraannya yang sudah lama lolos. Ternyata anak itu bernama Felix Gruber. Dan lagu yang sudah termasyhur itu, yang dulu diajarkan kepada burung piaraannya, ditulis asli oleh ayahnya sendiri!

Demikianlah seorang bocah dan seekor burung turut mengambil peranan dalam menyatakan kepada dunia luar, siapakah sebenarnya yang mengarang "Lagu Natal dari Desa di Gunung" itu.

Tanda Pengenal Orang Kristen

Setelah satu abad lebih, "Malam Kudus" sesungguhnya menjadi milik bersama seluruh umat manusia. Bahkan lagu Natal itu pernah dipakai secara luar biasa, untuk menciptakan hubungan persahabatan antara orang-orang Kristen dari dua bangsa yang sangat berbeda bahasa dan latar belakangnya.

Pada waktu Natal tahun 1943, seluruh daerah Lautan Pasifika diliputi oleh Perang Dunia Kedua. Beberapa minggu setelah Hari Natal itu, sebuah pesawat terbang Amerika Serikat mengalami kerusakan yang hebat dalam peperangan, sehingga jatuh ke dalam samudra di dekat salah satu pulau Indonesia.

Kelima orang awak kapal itu, yang luka-luka semua, terapung-apung pada pecahan-pecahan kapalnya yang sudah tenggelam. Lalu nampak pada mereka beberapa perahu yang makin mendekat. Orang-orang yang asing bagi mereka mendayung dengan cepatnya dan menolong mereka masuk ke dalam perahu-perahu itu.

Penerbang-penerbang bangsa Amerika itu ragu-ragu dan curiga:

Apakah orang-orang ini masih di bawah kuasa Jepang, musuh mereka? Apakah orang-orang ini belum beradab, dan hanya menarik mereka dari laut untuk memperlakukan mereka secara kejam?

Segala macam kekuatiran terkilas pada pikiran mereka, karena mereka sama sekali tak dapat berbicara dalam bahasa para pendayung berkulit coklat itu. Sebaliknya, orang-orang tersebut sama sekali tak dapat berbicara dalam bahasa Inggris. Rupa-rupanya tiada jalan untuk mengetahui dengan pasti, apakah tentara angkatan udara itu telah jatuh ke dalam tangan kawan atau lawan.

Akhirnya, sesudah semua perahu itu mendarat di pantai, salah seorang penduduk pulau itu mulai menyanyikan "Malam Kudus." Kata-kata dalam bahasa Indonesia itu masih asing bagi para penerbang yang capai dan curiga. Tetapi lagunya segera mereka kenali. Dengan tersenyum tanda perasaan lega, turutlah mereka menyanyi dalam bahasa mereka sendiri. Insaflah mereka sekarang bahwa mereka sudah jatuh ke dalam tangan orang-orang Kristen sesamanya, yang akan melindungi dan merawat mereka.

Lagu Duniawi dan Surgawi

Bagaimana dengan sisa hidup kedua orang yang mula-mula menciptakan lagu "Malam Kudus"?

Josef Mohr hidup dari tahun 1792 sampai tahun 1848. Franz Gruber hidup dari tahun 1787 sampai tahun 1863. Kedua orang itu terus melayani Tuhan bertahun- tahun lamanya dengan berbagai-bagai cara. Namun sejauh pengetahuan orang, mereka tidak pernah menulis apa-apa lagi yang luar biasa. Nama-nama mereka pasti sudah dilupakan oleh dunia sekarang...kecuali satu kejadian, yaitu: Pada masa muda mereka pernah bekerja sama untuk menghasilkan sebuah lagu pilihan.

Gereja kecil di desa Oberndorf itu dilanda banjir pegunungan pada tahun 1899, sehingga hancur luluh. Sebuah gedung gereja yang baru sudah dibangun di sana. Di sebelah dalamnya ada pahatan dari marmer dan perunggu sebagai peringatan lagu "Malam Kudus."

Pahatan itu menggambarkan Pendeta Mohr, seakan-akan ia sedang bersandar di jendela, melihat keluar dari rumah Tuhan di surga. Tangannya ditaruh di telinga. Ia tersenyum sambil mendengar suara anak-anak di bumi yang sedang menyanyikan lagu Natal karangannya. Di belakangnya berdiri Franz Gruber, yang juga tersenyum sambil memetik gitarnya.

Sungguh tepat sekali kiasan dalam pahatan itu! Seolah-olah seisi dunia, juga seisi surga, turut menyanyikan "Lagu Natal dari Desa di Gunung."


dari: http://gema.sabda.org/sejarah_lagu_malam_kudus

Natal yang Mahal


Berapa budget Natal yang kita habiskan di Natal tahun ini? Untuk keperluan kita pribadi? Untuk anggaran perayaan di gereja? Untuk keluarga dan sanak saudara? Jutaan? Puluhan juta? Atau ratusan juta? Pernah saya berpikir, apakah motivasi di balik budget Natal yang besar itu? Apakah untuk kemuliaan Allah? Atau untuk sekadar "prestige" komunal dan "prestige" pribadi?

Tanpa bermaksud menghakimi, kita perlu kembali kepada Natal pertama. Mari kita baca Lukas 2:1-20. Tidak sedikit pun tergambar kesan kemewahan Natal pada saat kelahiran Sang Bayi Kristus. Yang ada alalah kesan kesederhanaan, bahkan kalau jujur kita nilai, Natal pertama adalah Natal yang penuh kemelaratan. "Ketika mereka di situ tibalah waktunya bagi Maria untuk bersalin, dan ia melahirkan seorang anak laki-laki, anaknya yang sulung, lalu dibungkusnya dengan lampin dan dibaringkannya di dalam palungan, karena tidak ada tempat bagi mereka di rumah penginapan."

Dan itulah makna Natal yang sesungguhnya; Natal adalah inkarnasi - Allah yang Mahatinggi dan Mahakuasa masuk dalam daging manusia dalam kemelaratannya...

Seorang rekan saya di gereja berujar, "Tapi khan Natal adalah perayaan ulang tahun bagi Yesus yang adalah Raja di atas segala raja? Jadi harus special dong..." Saya setuju dengan pendapat itu. Namun pertanyaannya adalah, "apakah special berarti mahal dan mewah?" Justru karena terlalu seringnya kita merayakan Natal dalam kemewahan dan kemahalan, kepekaan kita akan makna "inkarnasi" yang berarti kemuliaan menjadi kesederhanaan (baca: kemelaratan) menjadi tumpul. Natal yang harus dimaknai sebagai hidup merendah dan mau "berada di bawah" (orang Jawa bilang: "andap asor") telah berubah menjadi Natal yang angkuh, penuh glamour, dan tidak ada semangat inkarnasi sama sekali. Kalau ada budget Natal untuk orang-oran melarat, pasti jumlahnya tidak sebanding dengan "make-up" gereja, makan-minum, dan segala fashion kita. Kemewahan dan kemahalan yang melingkupi kita di hari-hari peringatan Natal mungkin telah membentuk kita menjadi hati yang dingin melihat banyak orang di sekeliling kita yang menderita.

Jadi, kita harus kembali merenung, berapa budget Natal kita tahun ini? Sudahkah kita meneladani makna "inkarnasi" Kristus yang rela menjadi yang "terbawah" dalam ketaatan-Nya (bandingkan Filipi 2:5-8). Benar, marilah "menaruh pikiran Kristus" dalam pikiran kita.

Let the incarnation spirit fill our heart in celebrating Christmas this year.

Merry Christmas and Happy New Year.

25 October 2010

Merindukan Hikmat Tuhan


"Berilah sekarang kepadaku hikmat dan pengertian,…" (ayat 10). Hikmat dan pengertian lah yang diminta Salomo, bukan harta bukan kemakmuran, ataupun kejayaan. Namun hikmatlah yang paling diperlukannya dalam memimpin Israel.

Hikmat dan pengertian bersumber dari sikap hidup yang takut akan Tuhan (Amsal 9:10 - Permulaan hikmat adalah takut akan TUHAN, dan mengenal Yang Mahakudus adalah pengertian.)

Namun kehidupan penuh hikmat adalah kehidupan yang penuh determinasi. Seorang yang hidup di dalam hikmat dan pengertian setiap hari adalah seorang yang mampu berdampak positif bagi orang lain. Keputusan-keputusan seorang yang penuh hikmat adalah keputusan yang digerakkan oleh pengertian akan pimpinan Tuhan. Tidak ada kata "salah langkah" dalam kamus kehidupan orang yang berhikmat dan berpengertian.

Dan Sang Kristus juga mengajarkan: "Barangsiapa tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia, ia berbuah banyak, sebab di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa" (Yoh. 15:5).

Rumus yang sangat sederhana: hidup takut dan berada di dalam Dia = hidup penuh hikmat dan pengertian.

23 October 2010


Penebusan Pikiran

"Selidikilah aku, ya Allah, dan kenallah hatiku, ujilah aku dan kenallah pikiran-pikiranku;" Mzm. 139:23.

"Jadi akhirnya, saudara-saudara, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu."Filipi 4:8


Dampak penebusan Kristus atas hidup orang percaya bersifat utuh dan menyeluruh. Seorang yang telah mengalami anugerah di dalam Kristus adalah seorang yang mengalami penebusan di dalam setiap aspek hidupnya. Pikiran yang telah ditebus (redeemed mind) adalah ciri orang yang telah menjadikan Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamatnya.

Filipi 4:8 sering disebut orang sebagai Pemikiran Positif ala Kristen. Setelah lahir baru kita masuk ke dalam proses pengudusan yang berjalan seumur hidup. Pengudusan yang dikerjakan Tuhan mencakup seluruh aspek dalam hidup kita, salah satu yang sangat penting yaitu aspek pikiran.

Dalam dosa manusia suka memikirkan apa yang jahat dan tidak benar di mata Tuhan. Paulus mengajak jemaat di Filipi belajar mengontrol atau melatih pikiran untuk hal-hal yang baik. Banyak hal yang kita lakukan dipicu dan dikendalikan oleh apa yang kita pikirkan. Misalnya jika kita berpikir jahat tentang seseorang maka kita akan menyatakannya pula dalam relasi dan sikap kita terhadap dia. Ketika kita berpikir kotor kita didorong untuk melakukan hal yang kotor pula. Sebaliknya, apabila kita memikirkan apa yang benar, yang mulia, yang adil, suci dan seterusnya (ayat 8), kita juga akan melakukan hal-hal benar, mulia, adil, suci. Paulus sendiri mempraktikkan prinsip ini, sehingga ia dapat hidup tanpa didikte oleh keadaan (ayat 10-13).

Pikiran tidak memiliki kekuatan otonom untuk menentukan apa yang hendak dipikirkannya. Pikiran membutuhkan anugerah Tuhan agar dapat berfungsi dengan benar. Pengudusan pikiran adalah hal yang sangat penting. Dengan anugerah Tuhan kita melatih pikiran kita dengan jalan merenungkan firman Tuhan (ayat 8). Hal-hal dalam Fil. 4:8 ini meliputi berbagai macam modus kehidupan. "Yang benar" mencakup aspek rasionalitas; "yang mulia" aspek ibadah; "yang adil" aspek hukum; "kesucian atau kemurnian" mencakup aspek kesalehan; "yang manis" aspek estetika; "sedap didengar" aspek informasi yang kita konsumsi; "kebajikan" berkaitan dengan moral dan etika; "patut dipuji" mencakup konsep nilai. Kekristenan mengajarkan keutuhan dan bukan keterkepingan. Jika hati kita telah dikuduskan oleh Kristus maka seluruh aspek hidup kita pun harus dikuduskan.

Bagaimana kebiasaan berpikirku? Sudahkah kuasa penebusan Kristus memperbaharui setiap hari melalui Firman-Nya? Pikirkan firman-Nya, renungkan kebenaran-Nya...

22 October 2010

Gereja, Natal, dan Pemborosan:
Bah...!





Tahun ini, sekali lagi

aku mengatakan, "bah..!"
pada gereja
pada kumpulan orang
yang mengaku dikasihi Tuhan
namun tidak berbalas dengan kasih

Tahun ini, sekali lagi
aku berteriak, "hah...!"
pada rutinitas natal
yang katanya ingin mengingat lahirnya Tuhan
namun tak kunjung masuk dalam kesederhanaan
dan sekali lagi berlimpah uang
tertumpah
berhambur
terbang
sia-sia
tanpa makna

Tahun ini, sekali lagi
aku ingin mengeluh, "huh!"
pada si kristen yang kaya
yang tak tahu
uang untuk apa
dikiranya Tuhan bisa senang
dengan kemewahan
yang mampu ia beli dan tawarkan
katanya sejuta
katanya berpuluh juta
katanya seratus juta
katanya semilyar...!
rencana dana natal tahun ini.

padahal Tuhan sudah muak
dengan ceremony dan perembahan
sedangkan keadilan, belaskasih,
dan kerendahan hati
enggan tertanam
di taman hati

Bah! Hah! Huh!
Natal tahun ini akan seperti kemarin.
Kristen tertawa dalam pesta
sedang si miskin
yang katanya orang hina
sahabat Kristus
akan tetap lapar
telanjang
dalam penjara
sakit
dan menderita.

Bah! Hah! Huh!

My Morning Waker


Akhir-akhir ini ritme bangun tidurku mengalami "keajaiban"... Hampir setiap malam aku men-set alarm pada HP ku agar aku bisa bangun sedini mungkin, dan melakukan hal-hal yang berguna. Namun, entah mengapa tangan ini sering refleks mematikan alarm tanpa sadar aku harus bangun.

Nah, justru karena aku selalu gagal bangun pagi dengan bantuan alarm HP-ku, beberapa pagi ini Tuhan berikan aku "tangan mungil" yang selalu menarik-narik tanganku, "Yah, banun, Yah... Yah, banun" begitu suara kecil namun keras itu berusaha membangunkanku. Seolah yakin dengan kekuatannya yang masih kecil itu, "tangan mungil" yang ternyata tangan Jonathan, anakku yang kecil itu berusaha menarik badanku yang mungkin 6-7 kali lipat berat badannya. Maka, capek atau tidak capek, ngantuk atau tidak ngantuk, aku harus bangun... Itulah Jonathan, "my real waker." Terima kasih, Tuhan. Engkau menghadirkan banyak keajaiban dalam hidupku.

21 October 2010

Kesombongan:

Mengandalkan Diri dan Mengesampingkan Tuhan

2 Samuel 24:1-17



Apa yang salah dengan sensus dan melakukan kalkulasi kekuatan militer? Bukankah seorang pemimpin yang baik harus mampu menghitung kekuatan diri dan kekuatan lawan agar tidak mati konyol?

Daud melakukannya, di saat semua kemenangan gilang gemilang telah diraihnya. Dan itulah yang dipandang jahat di mata Tuhan, meski "hasutan" itu datang dari Allah sendiri (melalui Iblis - 1 Taw. 21:1). Seharusnya Daud sudah sangat mengenal Allah dengan begitu dekat, sehingga prinsip utama dari kepemimpinannya tidak boleh ia lupakan: bergantung penuh kepada kekuatan Allah dan bukan pada kekuatan militer! Kepemimpinan Daud atas Israel adalah kepemimpinan perwakilan Allah. Daud adalah "raja wakil" yang memimpin Israel dengan kekuatan Raja Israel yang sejati, yaitu Allah Yahweh.

Dan keputusan sensus militer inipun mendatangkan murka dan hukuman Allah atas Israel.

Apa yang bisa dipelajari dari kisah ini?

  1. Apa yang seringkali kita anggap sebagai "suara Tuhan" harus diuji oleh prinsip-prinsip Firman Tuhan yang mendasar, sehingga kita tidak tersesat dengan apa yang nampak sebagai "suara Tuhan" namun bukan menjadi Kehendak Tuhan.
  2. Menghitung kekuatan militer menunjukkan arogansi dan kesombongan Daud yang mengira kemenangan-demi-kemenangan yang diraih adalah karena kekuatan militer. Dia lupa bahwa Allah-lah yang berperang bagi Israel. Jadi, jangan pernah andalkan diri sendiri. Jika Allah benar-benar Kekuatan dan Gunung Batu kita (bukan slogan rohani semata), jika Dia adalah Pahlawan kita, siapa yang kita andalkan di dalam perjuangan-perjuangan hidup kita? Kuasa kemenangan-Nya di dalam Kristus ataukah kekuatan kita yang arogan (namun rapuh)?
  3. Pertobatan Daud adalah teladan yang sangat baik: pertobatan terjadi sebelum teguran nabi Tuhan (ay. 11), dan ia rela dan taat dengan risiko hukuman Allah. Dan ini kemudian menjadi suatu refleksi doa dalam kehidupan Daud: "Terhadap Engkau, terhadap Engkau sajalah aku telah berdosa dan melakukan apa yang Kauanggap jahat, supaya ternyata Engkau adil dalam putusan-Mu, bersih dalam penghukuman-Mu.

6:08 AM

20 October 2010

Antara Tuhan, Kekayaan dan Kemiskinan


Mengikuti sebuah acara di Jakarta medio Oktober yang lalu, membuatku termenung sejenak. Bersama rekan-rekan sejawat, aku mengikuti sebuah momen yang mencoba memikirkan kembali langkah-langkah transformatif bagi masalah bangsa; salah satunya adalah masalah kemiskinan. Dengan menggerakkan sebanyak mungkin komponen kekristenan dalam jejaring, acara "gede" mencoba menggagas langkah-langkah praktis dan implementatif untuk merubah wajah miskin negeri ini.
Namun, sebuah ironi segera tergambar ketika memasuki gedung megah nan mewah yang digunakan untuk acara mahal ini. Ruang super sejuk, ditambah peralatan gedung yang super canggih, segera membuat aku "terbius" dengan kenyamanan. Dan waktu yang merangkak, tanpa sadar tidak membuatku gerah dan resah. Pagi berganti siang, siang berganti malam, semua tetap sama di dalam gedung yang serba super ini: kenyamanan!
Bagiku, agak sulit memang memikirkan dan meresapi perjuangan bagi kemiskinan yang radikal, dengan suasana yang meninabobokan tersebut. Gereja yang berbalut jubah mewah nan kemilau, nampaknya agak sulit untuk masuk ke dalam gang-gang yang becek dan penuh comberan... Bukankah teladan Kristus sudah begitu jelas: inkarnasi - menjadi satu daging dengan orang yang kita layani?
Secara teologis aku berpikir, antara Tuhan - Kekayaan - dan Kemiskinan... Jelas kemiskinan adalah buah dosa, buah ketidakadilan, buah dari perilaku korup. Kemiskinan adalah musuh Allah... Namun jelas kekayaan dan kemewahan yang menyolok di tengah gubuk-gubuk kemiskinan negeri ini bukanlah design Allah untuk "umat tebusan-Nya." Kembali tergambar uraian Sang Guru: "Sebab ketika Aku lapar, kamu tidak memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu tidak memberi Aku minum..."
Yah, semoga kami semua selalu ingat bahwa yang penting bukanlah apa yang kami pikirkan dan diskusikan, tetapi apa yang kami perjuangkan dalam tindak nyata untuk "menghapus potret kemiskinan" negeri ini - paling tidak, potret itu tidak akan terlalu memilukan...
PUISI DOA DI JAKARTA – WS RENDRA

Tuhan yang Maha Esa,
alangkah tegangnya
melihat hidup yang tergadai,
fikiran yang dipabrikkan,
dan masyarakat yang diternakkan.

Malam rebah dalam udara yang kotor.
Di manakah harapan akan dikaitkan
bila tipu daya telah menjadi seni kehidupan?
Dendam diasah di kolong yang basah
siap untuk terseret dalam gelombang edan.
Perkelahian dalam hidup sehari-hari
telah menjadi kewajaran.
Pepatah dan petitih
tak akan menyelesaikan masalah
bagi hidup yang bosan,
terpenjara, tanpa jendela.

Tuhan yang Maha Faham,
alangkah tak masuk akal
jarak selangkah
yang bererti empat puluh tahun gaji seorang buruh,
yang memisahkan
sebuah halaman bertaman tanaman hias
dengan rumah-rumah tanpa sumur dan W.C.
Hati manusia telah menjadi acuh,
panser yang angkuh,
traktor yang dendam.

Tuhan yang Maha Rahman,
ketika air mata menjadi gombal,
dan kata-kata menjadi lumpur becek,
aku menoleh ke utara dan ke selatan -
di manakah Kamu?
Di manakah tabungan keramik untuk wang logam?
Di manakah catatan belanja harian?
Di manakah peradaban?
Ya, Tuhan yang Maha Hakim,
harapan kosong, optimisme hampa.
Hanya akal sihat dan daya hidup
menjadi peganganku yang nyata.

...

16 October 2010

Menebus Generasi Pop


Benar-benar sudah cair generasi ini... Enggan berkomitmen, yang penting having fun, dan asyik dengan dirinya sendiri... Ke sana ok, ke sini ok, yang penting rame-rame... Dan ketika diajak untuk diam sejenak, menanti Tuhan, mereka berkata, "Mana sempat...? Hhmm, mana sempat?"
Maka ketika aku berdiri di sini, memandang generasi ini, aku menghela nafas, "Yah, generasi telah berubah... Mungkin aku terlambat mengejar perubahan ini. Tuhan, limpahkan hikmatmu untuk aku dapat menjangkau mereka, dan menolong mereka ke dalam rengkuhan-Mu.
Bagi "generasi pop", otoritas bukanlah masalah usia. Otoritas bukan masalah jabatan. Otoritas yang akan benar-benar diterima oleh generasi ini adalah otoritas ilahi. Otoritas yang datangnya dari Allah Roh Kudus, yang menyentuh hati, serta menggerakkannya untuk bertobat. Karena itu, kahadiran Roh Kudus menjadi mutlak diperlukan bagi para pelayan yang hendak menjangkau generasi ini.

03 August 2010


A Father’s Prayer

(General Douglas MacArthur)

- a prayer for The in his birthday -



Build me a son, oh Lord,

who will be strong enough to know when he is weak

and brave enough to face himself when he is afraid;

One who will be proud and unbending in honest defeat,

And humble and gentle in victory.


Build me a son whose wishbone

Will not be where his backbone should be;

A son who will know Thee – and that to know himself

Is the foundation of knowledge.

Lead him, I pray, no tin the path of ease and comfort,

But under the stress and spur of difficulties and challenge

Here, let him learn compassion for those who fail.

Build me a son whose heart will be clear, whose goal will be high;

A son who will master himself before he seeks to master other men;

One who will learn to laugh, yet never forget how to weep,

One who will reach into the future, yet never forget the past.

And after all these things are his, add,

I pray, enough of a sense of humor,

So that he may always be serious, yet never take himself too seriously

Give him humility of true greatness,

The open mind of true wisdom, the meekness of true strength.

Then, I his father, will dare to whisper:

“I have not lived in vain.”

Ode to Theo

Serasa baru kemarin aku menimang mu
dan mengatakan "cepatlah besar, Nak."
Serasa baru kemarin aku bermain pasir bersamamu

dan belajar memberi nasihat, "setelah ini cuci tanganmu, ya Nak."
Serasa baru kemarin, kamu menangis karena demam,
dan aku gelisah, mencoba mengurangi deritamu.
Kini usiamu sudah beranjak 8 tahun, tanpa terasa.
Bahkan tubuhmu membesar dan melampaui anak-anak seusiamu.
Jika hari ini aku menatapmu, ada syukur yang membual dalam hati.
Ternyata Tuhan memberikanmu untukku, agar aku belajar
bagaimana mendemonstrasikan kasih sekaligus keadilan,
menunjukkan pelukan di antara pendisiplinan,
menyatakan bentakkan, tetapi tetap mengucapkan sayang.
Selamat Ulang Tahun, Anakku.
Doaku bagi masa depanmu;
Dalam genggaman Tuhan dan tuntunan firman-Nya.
Diberkatilah masa mudamu, diberkatilah masa tuamu,
diberkatilah hidup dan duniamu.

31 July 2010

Sebuah Langkah Sederhana
Untuk Hati yang Bermisi

Tidak sering kelompok kecil kami melakukan perjalanan dengan motor di pagi hari. Namun, pagi itu kami berketetapan hati untuk melakukan satu langkah kecil dalam pembelajaran akan satu makna di balik kata: misi. Meski sempat molor karena Gun yang masih enggan menyingkapkan selimut malamnya, kami akhirnya berangkat berlima dengan mengendarai motor. Nan dengan Ai, Bern bersama Gun, dan aku mengendarai motor Gun seorang diri (maklum, ban motorku masih "trauma" setelah pengalaman bocor dua kali kemarin)
Dengan menancap motor pada kecepatan minim, iring-iringan motor kami terus meluncur ke arah Banyuwangi. Tujuan kami hanya satu; berkunjung, memberikan setetes dukungan, dan mendoakan dua insan anak manusia yang masih beraroma "melati" pernikahan. Yups, dua insan yang mencoba menapak panggilan misi Allah di daerah "coret" yang masih meninggalkan trauma bagi umat-Nya. Untuk panggilan dua insan yang kami sebut Kak Sten dan Kak Mian ini kami datang dan memberikan dukungan.
Tanpa banyak kesulitan, kami akhirnya menemukan rumah dua duta Kristus ini di wilayah sekitar SPBU Sempolan. Maka dengan suguhan pisang goreng dan macam-macam keripik, kamipun banyak berbincang. Tentang Sempolan, tentang penjangkauan, tentang tantangan, dan bahkan tentang ancaman... Toh, misi Kerajaan Allah haruslah tetap dikerjakan dengan hati yang bersandar penuh pada kuasa dan kekuatan Allah. Kamipun akhirnya dikuatkan dan menguatkan di dalam doa... Sebersit sukacita toh terpancar dari keluarga yang baru menapak perjalanan misi-Nya beberapa minggu ini. Ya, apalagi beberapa bulan lagi mereka akan ditemani oleh seorang bayi yang lucu yang akan mengisi hari-hari mereka dengan sukacita.
Setelah berdoa dan memberi apa yang terlalu sedikit kami beri, kamipun pamit... Semoga hamba-Nya ini terus dipelihara dalam keberanian memberitakan Injil-Nya. Semoga keluarga misi ini terus Tuhan jaga dari segala bahaya hingga misi-Nya tergenapkan.
Itulah misi sederhana; mengambil langkah sederhana untuk tegak-Nya Panji Kerajaan-Nya...

"
Jadi kami ini adalah utusan-utusan Kristus, seakan-akan Allah menasihati kamu dengan perantaraan kami..."

08 May 2010

Kematian dan Kebangkitan Yesus Kristus;
Fakta Sejarah atau Sekadar Dogma?
(Sebuah Jawaban atas Keberatan terhadap Fondasi Iman Kristiani)



Fondasi Kekristenan: Kematian dan Kebangkitan Yesus Kristus

Tidak dapat disangkal lagi, kematian dan kebangkitan Kristus adalah pilar atau fondasi iman Kristen yang paling penting. Hal ini bukan hanya ditegaskan oleh para teolog Kristen sepanjang zaman, tetapi juga oleh Rasul Paulus, seorang penulis mayoritas kitab Perjanjian Baru. Dalam suratnya kepada jemaat di Korintus ia menuliskan satu statement iman yang penting: “Dan jika Kristus tidak dibangkitkan, maka sia-sialah kepercayaan kamu dan kamu masih hidup dalam dosamu. Demikianlah binasa juga orang-orang yang mati dalam Kristus. Jikalau kita hanya dalam hidup ini saja menaruh pengharapan pada Kristus, maka kita adalah orang-orang yang paling malang dari segala manusia. Tetapi yang benar ialah, bahwa Kristus telah dibangkitkan dari antara orang mati, sebagai yang sulung dari orang-orang yang telah meninggal” (1 Korintus 15:17-20). Karena itu, dapat dikatakan bahwa sebenarnya momen perayaan keagamaan terbesar dari kekristenan bukan terletak pada Natal, melainkan Paskah.

Kematian Yesus Kristus di dalam iman Kristen bukan semata-mata sebuah peristiwa meninggalnya seorang tokoh sentral dalam agama Kristen. Peristiwa yang dicatat keempat Injil dalam Perjanjian Baru (PB) itu, sebagaimana yang telah dinubuatkan dalam Alkitab Perjanjian Lama (PL), adalah sarana penyataan kasih sekaligus keadilan Allah kepada manusia yang telah berdosa. Dengan fakta dan realita keberdosaan manusia, tindakan kasih Allah yang berarti mengampuni dan menyelamatkan manusia, harus bertemu dengan natur keadilan-Nya yaitu menghukum dosa dengan kematian. Dengan kematian Kristus sebagai Mesias, maut yang seharusnya menjadi konsekuensi dosa manusia (Roma 3:23; 6:23), akhirnya ditanggung-Nya secara mengerikan di atas kayu salib. Kematian Kristus dalam hal ini bersifat sebagai pengganti (substitusi) bagi manusia berdosa, dan ini adalah satus-satunya jalan untuk memenuhi natur keadilan Allah terhadap dosa-dosa manusia, sekaligus memenuhi natur kasih-Nya yang terus merindukan keselamatan manusia. Dengan demikian, kematian Kristus adalah pengganti yang sempurna (meminjam istilah PL, Kristus adalah penggenapanAnak Domba tak bercacat dan bercela yang harus dikorbankan).

Sama halnya kematian-Nya, peristiwa kebangkitan Kristus merupakan dasar yang sangat penting bagi iman Kristen. Sebagaimana yang telah dikutip di atas, Rasul Paulus secara panjang lebar menyampaikan argumentasi bahwa kebangkitan Kristus adalah dasar utama bagi pengharapan iman Kristen. Ungkapannya yang penting adalah, “Jika Kristus tidak dibangkitkan, maka sia-sialah iman kita.” Kebangkitan Kristus sangat penting bagi kekristenan karena di dalam kebangkitan Kristus itulah terletak pengharapan bukan saja akan janji keselamatan atau hidup kekal bagi setiap yang percaya, tetapi juga pengharapan akan kebangkitan tubuh bagi setiap orang yang percaya kepada Kristus di akhir zaman nanti. Perjanjian Baru mencatat dengan jelas bahwa kebangkitan Kristus menjadi yang sulung, yang kemudian akan diikuti oleh setiap orang yang percaya kepada-Nya (1 Kor. 15:23; Kol. 1:18).

Permasalahan yang kemudian dihadapi kekristenan sepanjang zaman adalah bahwa fakta kematian dan kebangkitan Yesus Kristus ini dipertanyakan banyak kalangan secara skeptik. Fakta kematian dan kebangkitan Kristus seringkali dianggap tidak lebih dari sekadar dogma kekristenan, tanpa dasar fakta historis sama sekali. Hal ini bukan saja dihadapi oleh kekristenan di abad-abad terakhir, tetapi sejak zaman para rasul (termasuk Paulus) telah banyak upaya untuk menutup fakta sejarah tentang kebangkitan Kristus ini. Catatan Rasul Paulus dalam 1 Korintus 15:1-8 membuktikan secara implisit bahwa ada upaya untuk menutup fakta kebangkitan Kristus pada masa pelayanannya, namun banyak saksi kebangkitan itu yang masih hidup sehingga fakta itu tidak bisa dibelokkan. Dalam catatan Matius 28:11-15, Matius mengagambarkan bahwa sejak hari-hari pertama kebangkitan Kristus, para imam kepala dan tua-tua agama Yahudi sejak dini juga telah berupaya untuk membungkam kesaksian para serdadu romawi yang menjaga kubur Yesus, yang adalah saksi kebangkitan Kristus sendiri. Dengan demikian, tidak mengherankan jika hingga saat ini banyak upaya-upaya untuk “membungkam” fakta historis dari kebangkitan Kristus.

Tulisan singkat ini adalah sebuah upaya sederhana untuk menjelaskan dukungan-dukungan ekstra-biblikal (dari luar Alkitab) dan intra-biblikal (dari dalam Alkitab) akan fakta historis kematian dan kebangkitan Kristus. Di masa peringatan Paskah bagi seluruh umat Kristen ini, semoga tulisan ini dapat menjadi bahan perenungan bersama.

Dukungan Intra-Biblikal Terhadap Kematian-Kebangkitan Kristus

Pemahaman orang Kristen terhadap fakta kematian Yesus di kayu salib tidaklah didasarkan atas penafsiran yang rumit, melainkan penalaran yang langsung atas narasi Injil dan banyak bagian lain dalam Alkitab. Ayat-ayat Alkitab berbicara lugas tentang kematian Yesus disalib. “Yesus berseru pula dengan suara nyaring lalu menyerahkan nyawa-Nya” (Mat. 27:50); “Lalu Yesus berseru dengan suara nyaring: ‘Ya Bapa, ke dalam tanganMu Ku-serahkan nyawa-Ku.’ Dan sesudah berkata demikian, Ia menyerahkan nyawa-Nya” (Luk. 23:46); “ Sesudah Yesus meminum anggur asam itu, berkatalah Ia: ‘Sudah selesai.’ Lalu Ia menundukkan kepala-Nya dan menyerahkan nyawa-Nya” (Yoh. 19:30).

Selanjutnya, koherensi dari kisah kematian Yesus ini juga tercermin dalam banyak fakta. Fakta-fakta ini tidak membuktikan kebenaran Alkitab melainkan menunjukkan bahwa Alkitab berisi kebenaran-kebenaran yang konsisten satu sama lain. Fakta pertama berkaitan dengan nubuatan Yesus mengenai diri-Nya sendiri. PB secara berulang kali menunjukkan bahwa kematian Yesus telah dinubuatkan oleh Yesus sendiri dalam berbagai kesempatan (Mat. 12:40; 17:22-23; 20:18; Mrk. 10:45; Yoh. 2:19-20; 10:10-11). Kematian Yesus dalam perspektif Alkitab bukanlah suatu kebetulan atau peristiwa naas yang mengejutkan melainkan inti dari misi Yesus datang ke dalam dunia. Selanjutnya, perlu ditegaskan bahwa nubuatan mengenai kematian Yesus pada dasarnya telah terkandung dalam ayat-ayat Perjanjian Lama yang berbicara mengenai kebangkitan Mesias dari antara orang mati (Mzm. 16:10; Yes. 26:19; Dan. 12:2).

Fakta kedua yang perlu diperhatikan adalah banyaknya saksi mata pada waktu penyaliban Yesus. Saksi mata pertama adalah para murid Yesus sendiri. Rasul Yohanes (Yoh. 19:26) dan beberapa pengikut Yesus seperti Maria, dan wanita-wanita lain berada di dekat penyaliban Yesus (Luk. 23:27; Yoh. 19:25). Berikutnya, kematian Yesus di kayu salib juga disaksikan oleh para tentara Romawi, dua orang penjahat yang disalibkan disamping Yesus (Mat. 27:38), orang banyak (Mat. 27:39; Luk. 23:27) serta para pemimpin Yahudi (Mat. 27:41).

Dengan memperhatikan para saksi mata penyaliban Yesus tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa mayoritas dari mereka merupakan orang-orang Yahudi yang menghendaki kematian-Nya. Mereka begitu bernafsu untuk membunuh Yesus sehingga sebelum penyaliban itu sendiri berlangsung, orang-orang Yahudi telah berseru berkali-kali di hadapan Pilatus agar Yesus disalibkan (Mat. 27:22-23). Orang-orang Yahudi itu bahkan berani berkata “Biarlah darah-Nya ditanggungkan atas kami dan atas anak-anak kami!” (Mat. 27: 25). Kebencian orang-orang Yahudi ini begitu kuat sehingga mereka benar-benar menginginkan kematian Yesus pada waktu disalib. Selain itu, kita harus mengingat bahwa tentara Romawi adalah orang-orang yang terlatih dalam menjalankan eksekusi sehingga mereka tidak akan salah mengidentifikasi korbannya.

Berdasarkan faktor-faktor di atas, adalah jelas bahwa Alkitab menerima fakta kematian ini sebagai peristiwa historis yang pasti. Oleh karena itu, khotbah Petrus juga disertai dengan pemberitaan yang tegas mengenai kematian Yesus yang disalibkan dan dibunuh oleh orang-orang Yahudi yang durhaka (Kis. 2:23-24). Berdasarkan hal ini kita melihat bahwa bagian-bagian dalam Alkitab saling menegaskan satu sama lain bahwa Yesus telah mati di kayu salib.

Dukungan Ekstra-Biblikal Terhadap Kematian Kristus

Kematian Yesus tidak saja ditegaskan dalam setiap tulisan Alkitab Perjanjian Baru dan kekristenan awal, ia juga diterima oleh para penulis Yahudi dan Romawi. Yosefus, seorang sejarawan dan apologet Yahudi abad pertama yang berhasil luput dari pemberontakan melawan Roma yang menyebabkan bencana besar (66-70 SM), menyatakan bahwa Yesus telah dituduh oleh para pemimpin Yahudi, dan dihukum untuk disalibkan oleh Pilatus (Jewis Antiquities 18. 63-64). Selain itu, Tacitus, sejarawan Roma mencatat, “Kristus … menderita hukuman mati sewaktu pemerintahan Tiberius, dengan keputusan prokurator Pontius Pilatus” (Annals 15.44). Meski Tacitus sedikit membuat kesalahan dalam menentukan jabatan Pilatus (Pilatus adalah prefek [pejabat polisi], bukan prokurator [orang yang persurat kuasa]), ringkasan pendeknya itu sesuai dengan yang kita temukan dalam Yosefus dan Injil-injil Kristen. Di samping itu, Mar bar Serapion, seorang Syria, dalam sebuah surat yang ditulis kepada putranya mungkin sekitar akhir abad pertama, merujuk kepada kematian Yesus, “raja bijak” orang Yahudi.[1] Nama-nama sejarawan lain yang menerima kematian Yesus akibat penyaliban adalah Suetinius, Pliny, Thallus, dan Phlegon. Mereka adalah sejarawan sekuler yang memiliki nama besar dan berotoritas dalam bidangnya. Tulisan mereka menunjukkan bahwa kebenaran proklamasi Alkitab dapat ditemukan dalam bidang ilmu sejarah.

Selanjutnya, otoritas lain yang amat penting untuk diperhatikan adalah sumber Yahudi. Talmud Babilonia menyatakan tentang Yesus demikian: “It has been taught: On the eve of passover they hanged Yeshu . . . they hanged him on the passover. Dalam kalimat ini, kata “Yeshu” jelas mengacu pada Yesus dan kata “hanged” merupakan sebutan lain dari penyaliban (Luk. 23:39; Gal. 3:13). Selain itu, referensi mengenai penyaliban Yesus yang terjadi pada malam persiapan Paskah juga sesuai dengan kesaksian Alkitab (Yoh. 19:14). Pada tahap ini adalah penting untuk disadari bahwa para sejarawan sekuler maupun penulis Yahudi (Talmud Babilonia) tersebut bukanlah orang-orang yang mendukung kekristenan. Dalam kenyataannya, tulisan-tulisan mereka sebenarnya bernada negatif terhadap kekristenan. Mereka tidak memiliki motif keuntungan apa pun dalam menyatakan kematian Yesus di salib. Kesepakatan para lawan kekristenan dalam menerima kematian Yesus disalib sebagai fakta sejarah merupakan hal yang mendukung klaim Alkitab sebagai firman Allah.[2]

Jawaban atas Keberatan-keberatan terhadap Kebangkitan Kristus

Banyak orang di dunia ini yang tidak percaya kepada kebangktian Yesus Kristus. Itu adalah pilihan hidup yang harus dihargai dan tidak bisa dipaksakan. Namun diantara orang yang tidak percaya itu kemudian ada beberapa orang mencoba mencari cara untuk “merubuhkan” bangunan iman Kristen ini. Mereka mencoba membuat penjelasan-penjelasan bahwa sebenarnya Yesus tidak benar-benar bangkit. Beberapa uraian di bawah ini memberikan penjelasan-penjelasan yang pada intinya menjadi sebuah percobaan untuk memberikan “teori alternatif” untuk dapat menggantikan fakta yang sebenarnya, yaitu kebangkitan Kristus. Tulisan ini terutama ditujukan kepada pemikiran-pemikiran seperti itu. Sangat jelas di sini bahwa teori-teori ini dapat dijawab dengan logika sederhana berdasarkan fakta yang Alkitab nyatakan. Yang diperlukan adalah sikap hati yang jujur dan terbuka, serta landasan berpikir yang koheren (runut) dalam melihat argumentasi alkitabiah.


Lokasi Kuburan Tidak Diketahui Murid-murid

Kelompok pertama mengatakan bahwa Yesus dibaringkan di kuburan yang salah sehingga murid-murid-Nya tidak tahu ke mana harus mencari mayat Yesus. Jadi menurut pandangan ini, murid-murid Yesus membuat cerita bahwa Yesus sudah bangkit dari kematian. Hal ini bertentangan dengan catatan Alkitab bahwa Yusuf dari Arimatea dan Nikodemus yang adalah murid-murid Yesus, merekalah yang menguburkan mayat Yesus jadi mereka pasti mengetahui di mana Yesus dikuburkan (Matius 27:57; Markus 15:43; Yohanes 19:38, 39). Pemerintah Romawi pada saat itu juga mengetahui dengan pasti lokasi kuburan Yesus karena mereka menempatkan tentara Romawi untuk menjaga kuburan tersebut (Mat 27:62-66).


Kuburan Yang Salah

Ada teori lain menyebutkan akan adanya kemungkinan para wanita yang datang ke kubur Yesus pagi-pagi benar (masuk ke kuburan yang salah yang masih terbuka dan bertemu seorang anak muda. Karena anak muda tersebut mengatakan bahwa Yesus tidak ada di situ, para wanita yang ketakutan mengira anak muda tersebut adalah seorang malaikat. Hal ini tidak dapat diterima karena para wanita tersebut tidak mencari kubur yang terbuka melainkan kubur yang tertutup,[3] lagi pula mereka mengetahui di mana Yesus dikubur karena mereka menyaksikan mayat Yesus dikafani (Luk 23:55). Orang-orang Farisi, Sanhedrin, orang-orang Romawi dan Yusuf dari Arimatea pasti langsung mengetahui jika para wanita itu masuk ke kuburan yang salah.


Hanya Legenda

Ada juga yang mengatakan bahwa kisah kebangkitan Yesus hanyalah sebuah legenda cerita rakyat yang baru berkembang lama setelah peristiwa tersebut terjadi. Tetapi Rasul Paulus, kira-kira 20 tahun setelah peristiwa kebangkitan, berkata kepada jemaat di Korintus bahwa kebangkitan adalah fakta yang nyata disaksikan oleh 500 saksi mata, yang banyak diantara mereka masih hidup pada saat itu dan bisa diperiksa kebenarannya. (1 Kor 15:6). Perlu diketahui, berdasarkan penelitian para ahli sejarah Alkitab surat Korintus yang pertama memang ditulis tidak lebih dari tahun 30 M. Ini berarti pada waktu itu masih banyak saksi mata kematian dan kebangkitan Kristus yang hidup. Dengan demikian, ketika Paulus menulis bahwa Kristus telah bangkit, dan bahwa banyak saksi dari kebangkitan itu yang masih hidup, maka ia berbicara dengan risiko yang terlalu tinggi jika yang ia sampaikan hanyalah legenda. Para “musuh-musuh” Kristen yang menjadi saksi kematian dan kebangkitan Kristus tentu saja segera akan mematahkan penyataan Paulus (sekali lagi jika pernyataan itu adalah sebuah legenda atau mitos belaka). Namun hingga abad pertengahan, tidak pernah ada “sanggahan” dari saksi mata yang lain tentang fakta kematian dan kebangkitan Kristus ini.


Halusinasi Murid-Murid

Pengikut Agnostik mengatakan bahwa murid-murid Yesus sangat terpukul secara emosi serta pengharapan akan datangnya seorang mesias mereka kemudian berhalusinasi dan menjadi benar-benar percaya bahwa Yesus sudah bangkit. Dengan kata lain, murid-murid Yesus semuanya terganggu secara kejiwaan. Teori ini segera akan dapat dipatahkan oleh logika sederhana berikut ini. Dengan menerima teori semacam ini, kita akan segera menganggap sekitar 500 lebih saksi kebangkitan Yesus dengan waktu yang berbeda (1Kor. 15:6), situasi yang berbeda, lokasi yang berbeda, bahkan mungkin ada yang tidak terlalu mengenal Yesus secara pribadi ketika Yesus masih hidup, semuanya mengalami ganguan kejiwaan? Bahkan jika kita melihat catatan PB, sebenarnya murid-murid Yesus justru tidak tahu bahwa Yesus akan bangkit kembali, mereka sebenarnya melihat kematian Yesus sebagai akhir. Mereka baru teringat bahwa Yesus sudah menubuatkannya setelah diingatkan oleh malaikat di kubur (Luk 24:6-7). Lagi pula, jika ini semua karena halusinasi, imam-imam kepala dan orang-orang Farisi tinggal menunjukkan kepada murid-murid mayat Yesus yang masih di dalam kubur.


Rekayasa

Hugh Schonfield mengatakan bahwa seluruh peristiwa ini merupakan rekayasa Yesus dan para pengikutnya. Jadi untuk seolah-olah menggenapi nubuatan Perjanjian Lama, Yesus rela untuk disiksa, tetapi kemudian rencana menjadi gagal ketika tentara Romawi menombak Yesus sampai mati. Yusuf dari Arimatea kemudian menyuruh seorang anak muda berpura-pura menjadi “Tuhan yang bangkit.” Dalam hal ini Schonfield tidak memperhitungkan (bahkan mungkin sama sekali tidak paham) bagaimana para tentara Romawi (yang notabene sangat terlatih dan terkenal berdisiplin tinggi itu) menjaga kubur. Dan dalam catatan Matius 28:11 para serdadu penjaga ini adalah juga saksi mata yang mengalami kejadian supranatural kebangkitan Kristus. Rekayasa ini juga sulit diterima karena pada akhirnya murid-murid dan pengikut Yesus rela mati dan jadi martir. Apakah mereka rela mati untuk sebuah rekayasa? Bagaimana dengan saksi mata yang masih hidup ketika Paulus berbicara kepada jemaat di Korintus?


Mayat Yesus Dicuri Murid-Murid

Murid-murid Yesus mencuri mayat Yesus ketika para penjaga sedang tidur. Teori ini sebenarnya bukan rekayasa baru. Sangat mungkin teori ini malah lahir dari catatan Matius 28:12-15, dimana para imam kepala dan tua-tua agama Yahudi bersepakat untuk membangun kebohongan bahwa Yesus telah dicuri murid-murid-Nya. Perlu diketahui bahwa para tentara Romawi yang menjaga kubur bukan terdiri dari dua-tiga orang “peronda malam” yang (maaf) dungu dan gampang tertidur waktu menjaga. Tentara Romawi yang menjaga pasti adalah tentara terlatih yang jumlahnya tentu terdiri dari belasan orang, yang kemudian berjaga secara bergantian. Apalagi sebelumnya mereka sudah mendapat peringatan akan kemungkinan mayat Yesus akan dicuri (Matius 27:64-66), sehingga para penjaga terlatih itu pasti akan berada pada “status siaga satu,” karena mereka bisa diancam hukuman mati bila mereka ketahuan tidur ketika bertugas. Jika para tentara Romawi tidak tidur, tidak mungkin para murid sanggup mengalahkan mereka. Apalagi dalam catatan keempat Injil, sangat jelas digambarkan bahwa para murid telah lari kocar-kacir ketakutan sejak Yesus Kristus ditangkap. Mana mungkin murid-murid yang telah ketakutan itu berani mengambil risiko yang terlalu besar dengan menghadapi belasan tentara Romawi yang terlatih? Sungguh sebuah teori yang tidak masuk akal!


Sebuah Kesimpulan Sederhana: Kebangkitan Yesus adalah Fakta Historis

Dari uraian di atas, jelas bahwa kematian dan kebangkitan Kristus sebagai fondasi iman Kristen bukanlah sebuah dogma yang membabi buta, tanpa dasar fakta historisitas sama sekali. Bahkan Lukas, salah satu penulis Injil menegaskan bahwa apa yang ia tulis adalah sebuah rujukan kesejarahan yang ditulis secara teliti dan seksama: “Karena itu, setelah aku menyelidiki segala peristiwa itu dengan seksama dari asal mulanya, aku mengambil keputusan untuk membukukannya dengan teratur bagimu, supaya engkau dapat mengetahui, bahwa segala sesuatu yang diajarkan kepadamu sungguh benar” (Luk. 1:3-4). Pengajaran yang benar (dan masuk akal) adalah bahwa Yesus memang telah mati, namun kemudian bangkit dari kematian dengan kuasa Allah. Ia menampakkan diri-Nya kepada banyak saksi dan kemudian naik ke sorga. Pandangan inilah yang sesuai dengan pengajaran Alkitab dan sekaligus berdasarkan fakta sejarah yang solid. Pandangan ini akhirnya menempatkan umat Kristen dalam iman kepada Allah yang Maha Kuasa, Allah yang Hidup, Allah yang penuh kasih yang dengan aktif menyelamatkan umat manusia.

Akhirnya, seluruh pengikut Kristus sepanjang zaman seharusnya dengan teguh dan bangga berkata, “Terpujilah Allah dan Bapa Tuhan kita Yesus Kristus, yang karena rahmat-Nya yang besar telah melahirkan kita kembali oleh kebangkitan Yesus Kristus dari antara orang mati, kepada suatu hidup yang penuh pengharapan, untuk menerima suatu bagian yang tidak dapat binasa, yang tidak dapat cemar dan yang tidak dapat layu, yang tersimpan di sorga bagi kamu. Yaitu kamu, yang dipelihara dalam kekuatan Allah karena imanmu sementara kamu menantikan keselamatan yang telah tersedia untuk dinyatakan pada zaman akhir” (1 Pet 1:3-5).


[1]Craig Evans, Jesus, The Final Days: What Really Happened (Westminster: John Knox, 2008) 15.

[2]Lih. Josh McDowell, The New Evidence That Demands a Verdict (Nashville: Thomas Nelson, 1999) 119-136.

[3]Dapat dipastikan, orang yang membangun teori seperti ini tidak pernah belajar atau tidak mengenal sama sekali tradisi penguburan di daerah Palestina pada zaman Yesus Kristus. Untuk studi lebih lanjut baca Craig Evans, Fabricating Jesus (Yogyakarta: Andi, 2008).

24 March 2010

Amnesia Rohani

Amnesia (dari Bahasa Yunani Ἀμνησία) adalah kondisi terganggunya daya ingat. Penyebab amnesia dapat berupa organik atau fungsional. Penyebab organik dapat berupa kerusakan otak, akibat trauma atau penyakit, atau penggunaan obat-obatan (biasanya yang bersifat sedatif). Penyebab fungsional adalah faktor psikologis, seperti halnya mekanisme pertahanan ego. Amnesia dapat pula terjadi secara spontan, seperti terjadi pada transient global amnesia.[1]

Bentuk Amnesia ada dua:
"Anterograde amnesia": kejadian baru dalam ingatan jangka pendek tidak ditransfer ke ingatan jangka panjang yang permanen. Penderitanya tidak akan bisa mengingat apapun yang terjadi setelah munculnya amnesia ini walaupun baru berlalu sesaat.
"Retrograde amnesia": ketidakmampuan memunculkan kembali ingatan masa lalu yang lebih dari peristiwa lupa biasa.
Kedua kategori amnesia tersebut dapat muncul bersamaan pada pasien yang sama. Contohnya seperti pada pengendara sepeda motor yang tidak mengingat akan pergi kemana dia sebelum tabrakan (retrograde amnesia), juga melupakan tentang kejadian di rumah sakit dua hari setelahnya (anterograde amnesia).

Berbeda dengan definisi amnesia secara klinis di atas, apa yang disebut "amnesia rohani" adalah penyakit kronis yang dapat menjangkiti orang Kristen, di mana gejalanya adalah ketidakmampuan mengingat bahwa hidup ini adalah berkat Allah, dan juga ketidakmampuan mengingat bahwa ia telah ditebus oleh darah Kristus dari maut, kepada hidup yang mengenal dan bersekutu kembali bersama-Nya.

Dalam konteks bacaan saya melalui Ulangan 18:1-2; 10-18, melupakan Allah (amnesia rohani) dapat muncul melalui: "ujian" (ay.2-4). Allah mengizinkan umat-Nya mengalami kelaparan, lalu Dia menyediakan manna. Ketika kita kekurangan kebutuhan hidup, kita mudah merasa bahwa Allah telah melupakan kita. Hal yang lain adalah melalui "kepuasan" (ay.10-11). Kelimpahan atau kekurangan mungkin menyebabkan amnesia rohani karena dua hal ini menjadikan kita hanya berfokus kepada diri sendiri, bukan kepada Allah yang telah menyediakan segala berkat itu. Penyebab selanjutnya adalah "kesombongan" (ay.12-16). Jika kemakmuran membuat kita merasa mampu melakukan segala sesuatu dengan kekuatan sendiri, kita sebenarnya telah melupakan Allah

Dalam konteks gereja masa kini, orang Kristen yang dijangkiti amnesia rohani belum tentu menunjukkan perilaku yang secara ekstrim negatif, seperti tidak mau ke gereja, suka berbuat dosa, dan hidup dalam amoralitas. Penyakit amnesia rohani yang lebih mematikan malah dapat menjangkiti orang yang menunjukkan perilaku yang nampak baik-baik, seperti rajin ke gereja, rajin memberi persembahan, bahkan suka melayani (artinya terlibat aktivitas rohani di gereja). Namun karena (sekali lagi) ia lupa akan anugerah Allah yang secara tuntas sudah digenapi di dalam karya Kristus, orang Kristen yang nampak baik-baik ini ternyata memiliki motif yang keliru dalam mengikut Dia. Apa yang ia lakukan selama ini dan dipandang orang lain sebagai kebaikan; seperti rajin ibadah, memberi persembahan (yang banyak), dan "melayani," lahir dari motivasi ingin mengejar berkat-berkat (yang notabene bersifat materialistis); seperti kesehatan, kekayaan, dan kesuksesan materiil. Jadi, orang yang melakukan hal-hal yang baik dengan motivasi mengejar "berkat-berkat" duniawi, dan bukan untuk mengenal Dia lebih dalam (band. Fil 3:10-11), adalah seorang yang telah terjangkiti "amnesia rohani." Orang seperti ini nyata dalam catatan Matius 7:1-23.

Lalu bagaimana kita dapat menghindari penyakit "amnesia rohani" ini? Ada tiga sikap hati yang harus kita pupuk setiap hari. Ketiga hal itu adalah kerendahan hati, ketaatan, dan pujian dari hati yang tulus kepada Allah. Ketiga sikap hati ini akan menolong kita untuk selalu mengingat anugerah, penyediaan serta pemeliharaan yang setia dari Allah. Jangan pernah lupakan anugerah-Nya. Jangan pernah lupakan karya salib-Nya di Kalvari. Jangan pernah lupa bersyukur kepada Allah hari ini atas semua yang telah dilakukan-Nya.

Mari kita mengikuti teladan Paulus: "Tetapi karena kasih karunia Allah aku adalah sebagaimana aku ada sekarang, dan kasih karunia yang dianugerahkan-Nya kepadaku tidak sia-sia. Sebaliknya, aku telah bekerja lebih keras dari pada mereka semua; tetapi bukannya aku, melainkan kasih karunia Allah yang menyertai aku" (1 Korintus 15:10).

"Lest I forget Gethsemane,
Lest I forget Thine agony,
Lest I forget Thy love for me,
Lead me to Calvary..."



[1] http://www.emedicine.com/neuro/topic380.htm

Pelayanan yang Berkenan di hati Allah: Melayani yang Hina dan Miskin
Matius 25:31-46.

Apa yang dapat kita pelajari dan renungkan dari bacaan Matius 25:31-46?


Di hari penghakiman Anak Manusia nanti, akan ada dua kelompok manusia; satu kelompok akan dianggap-Nya sebagai "domba" dan kelompok lain sebagai "kambing" (ay. 32-33). Domba akan ditempatkan di sebelah kanan-Nya, dan kambing akan ditempatkan di sebelah kiri. Dalam konsep budaya waktu Yesus mengajar bagian ini, kanan identik dengan perkenan Raja, dan posisi kiri identik dengan posisi yang "ditolak" Raja.


Mengapa ada pembagian dan pembedaan yang sedemikian rupa? Tuhan Yesus menjelaskan bahwa domba ditempatkan di sebelah kanan karena memang mereka mengasihi Yesus dengan tulus - dengan cara memberi makan, pakaian, tumpangan, dan mengunjungi Yesus ketika Dia memerlukannya (ay. 35-36). Sedangkan kelompok kambing, jelas tidak melakukan semua yang dilakukan kelompok domba, karena mereka tidak mengasihi Tuhan dengan tulus.


Yang menarik dari kisah ini adalah: yang benar merasa tidak benar (ayat 37-39), sebaliknya yang tidak benar merasa benar (ayat 44). Ini adalah masalah arogansi rohani. Akan banyak orang yang merasa diri rohani, tetapi di mata Tuhan mereka adalah orang yang jahat. Hal ini tentu sangat didukung dari bagian Matius yang lain, yaitu Matius 7:21-23.


Hal lain yang menarik adalah bahwa "mengasihi Tuhan" itu bukan dilakukan dengan cara menyanyi di gereja dengan lagu semacam "Kumau Cinta Yesus Selamanya" (meski hal itu menurut saya tidak 100% salah). Dari ayat 40 kita dibukakan bahwa "sesungguhnya segala sesuatu yang kita lakukan untuk salah seorang dari saudara Yesus yang paling hina ini, kita telah melakukannya untuk Dia." Pertanyaan bagi kita adalah: "Siapa "yang paling hina" di antara kita?" Saya berani katakan bahwa "yang paling hina" bukanlah saudara seiman yang datang ke gereja, ataupun para pemimpin gereja (meski kepada mereka kita perlu juga mengasihi dan menghormati otoritasnya). Dari bacaan ini jelas, "yang paling hina" adalah orang miskin, orang gembel, para yatim piatu dan anak-anak terlantar, orang-orang tertindas secara hukum, para orang tua jompo yang tidak diurus keluarganya, dan masih banyak lagi yang kalau boleh saya sebut semua mereka yang "termarginalisasi" oleh keangkuhan dunia ini.


Namun yang menyedihkan adalah bahwa kita seringkali lebih terdorong untuk "memenjarakan" konsep dan implementasi pelayanan dalam simbol-simbol ritual formal yang kosong. Bagi kebanyakan orang Kristen, pelayanan bagi Kristus berarti rajin ke gereja, memberikan persembahan rutin (dan banyak?), menjadi pemimpin pujian, paduan suara, dan bahkan berkhotbah. Itu semua penting, namun belum utuh menggambarkan pelayanan Kristen sejati. Seseorang berkhotbah bahwa visi hidup orang Kristen adalah "hidup kekal bagi orang Kristen itu sendiri" (perhatikan tanda kutip sebagai penekanan saya). Jujur saya sedih dengan khotbah yang demikian. Kalau kita melayani dan mengikut Kristus "hanya" dengan tujuan dan visi "keselamatan kita secara privat" itu adalah hal egois yang bisa dikerjakan oleh seorang murid Kristus! Dengan prihatin saya ingin bagikan kepada sobat-sobatku hari ini, panggilan hidup tertinggi (vocatio), atau yang kita bisa sebut sebagai "visi hidup Kristen" kita tidak lain dan tidak bukan adalah memuliakan Dia dan mengasihi Dia seumur hidup kita. Itu telah dinyatakan sejak penciptaan manusia (Kej. 1:22, 26-27), dan itu terus menjadi inti berita Injil dan surat-surat Paulus dalam PB (bdk. Yoh. 17:3, Fil. 3:10-11). Memuliakan Dia dan mengasihi Dia seumur hidup kita jelas termasuk di dalamnya adalah perjuangan Kristen bagi pembangunan Kerajaan Allah di tengah kerusakan dunia ini. Pembangunan Kerajaan Allah (yang "already and not yet") adalah termasuk perjuangan kita untuk memerangi kemelaratan, ketidakadilan sosial, dan kekacauan hukum di Indonesia. Dalam konteks teks yang kita baca pagi ini, kepedulian kita (sebagai pribadi Kristen maupun komunal Kristen) terhadap kemiskinan tidak bisa ditawar-tawar. Ini bukan sebuah perjuangan "Injil sosial," tetapi sebuah pemahaman Injil yang komprehensif; yang menekankan proklamasi Injil (Pribadi Yesus sebagai satu-satunya solusi keruwetan dunia ini) sama pentingnya (dan terintegral) dengan pelayanan kita untuk mengasihi, menjangkau, dan menolong orang miskin dan terabaikan.


So what? Apa yang bisa kita simpulkan dan lakukan dari terang Matius 25:31-46 ini? Secara singkat ijinkan saya mengajak dan bahkan mendorong kita semua (termasuk saya) untuk memiliki visi hidup mengasihi dan peduli secara nyata kepada orang-orang yang paling hina di sekeliling kita. Alasannya jelas: mereka adalah personifikasi Kristus sendiri yang Ia titipkan dalam hidup kita. Visi global ini bisa kita lakukan secara lokal dan sederhana. Mulailah dari orang sekeliling kita. Sudahkah kita memperhatikan mereka, mendoakan dan kemudian mengulurkan tangan untuk menolong apa yang yang menjadi kebutuhan mereka? Bagi rekan-rekan alumni, sudahkah kita mendoakan kemiskinan di sekeliling kita untuk kemudian mengambil tindakan nyata (misal: membangun jejaring untuk program orang tua asuh)? Kepada rekan-rekan pejuang pelayanan mahasiswa, marilah kita arahkan pelayanan kita secara terfokus dan intensif untuk menolong secara nyata dan memperjuangkan nasib orang-orang terhina ini dalam tindakan nyata; dimulai dari doa yang terarah dan dilanjutkan dengan aksi yang terencana nyata. Sayapun terus belajar, melalui dorongan semacam ini, dan melalui tindakan kecil yang nyata...


Tidak banyak orang yang suka melayani orang-orang yang tersingkir dan hina. Namun justru kesukaan dan kesetiaan dalam melayani mereka yang hina ini (ayat 40, 45) merupakan tanda bahwa seseorang sudah menjadi anak Tuhan. Hanya yang pernah dilayani Tuhan pada saat dirinya masih hina dan berdosa, yang punya hati tulus untuk melayani siapa saja tanpa pandang bulu.


Kalau Yesus sudah mengidentifikasikan diri-Nya dengan mereka yang miskin dan terhina, siapakah kita yang merasa terlalu tinggi untuk melayani mereka? Kalau kita merasa seperti itu, jangan-jangan kita belum menjadi milik Kristus, sehingga kita tidak memiliki hati Kristus yang penuh kasih.

19 February 2010


Gereja Yang Aktif
dan Visi
"Kedewasaan dalam Kristus"


Seorang rekan begitu antusias mengajak saya untuk datang dalam salah satu acara kategorial gereja. "Ayo, Pak. Luangkan waktu dong untuk datang." Begitulah kurang lebih, rekan saya itu selalu nampak bersemangat mendorong jemaat yang lain untuk hadir di kelompok kategorial di gereja kami. Dia tidak pernah menyerah. Selalu bersemangat. Bahkan terkadang sering tampak memaksa. Terus terang, saya kagum dengan antusiasmenya dalam memotivasi jemaat yang lain. Saya berpikir, mungkin gembala sidang saja tidak pernah memotivasi jemaat seantusias dia.

Namun ketika saya berpikir-merenung, dan memperhatikan realita yang ada, saya juga prihatin. Banyak gereja masa kini (paling tidak yang saya tahu) hanya berorientasi pada rekrutmen anggota dan jumlah yang hadir dalam ibadah. Gereja masa kini terlalu sibuk dengan ibadah formal, aktivitas-aktivitas pelayanan liturgikal, dan terkadang tidak sempat berhenti sejenak, berdiam diri, dan bertanya, "Untuk tujuan apa semua yang dilakukan gereja selama ini?"


Memikirkan hal itu, saya teringat salah satu bagian dari surat Paulus: “Dialah yang kami beritakan, apabila tiap-tiap orang kami nasihati dan tiap-tiap orang kami ajari dalam segala hikmat, untuk memimpin tiap-tiap orang kepada kesempurnaan dalam Kristus
[huruf miring ditambahkan – RSV:mature in Christ]. Itulah yang kuusahakan dan kupergumulkan dengan segala tenaga sesuai dengan kuasa-Nya, yang bekerja dengan kuat di dalam aku” (Kol.1:28-29). Ayat ini sangat menarik karena masih dekat dengan konteks ayat-ayat kredo (pengakuan iman) yang diterima sebagai landasan gereja dalam beribadah (Kol. 1:15-18). Maka jika kita kembali kepada pertanyaan, untuk apa semua kesibukan terjadi di gereja? Jawabannya yang paling ringkas adalah, "Untuk memimpin setiap orang menuju kepada kedewasaan dalam Kristus."

Pertanyaannya kemudian adalah, "bagaimana gereja mencapai kedewasaan dalam Kristus bagi jemaatnya? Apakah cukup dengan datang aktif dalam ibadah raya dan kategorial, serta persekutuan doa secara otomatis membawa jemaat pada kedewasaan dalam Kristus?" Menjawab pertanyaan demikian tentu saja membawa kita kepada kesadaran bahwa aktivitas-aktivitas ibadah formal, dengan ruang penyampaian Firman Tuhan yang terbatas, serta minimnya waktu untuk berdiskusi, berdialog,
dan berinteraksi antar jemaat, bukanlah jawaban terhadap pertanyaan dan visi kedewasaan dalam Kristus.
Mari kita melihat apa yang Alkitab catat tentang apa yang dilakukan gereja mula-mula:
"Orang-orang yang menerima perkataannya itu memberi diri dibaptis dan pada hari itu jumlah mereka bertambah kira-kira tiga ribu jiwa. Mereka bertekun dalam pengajaran rasul-rasul dan dalam persekutuan. Dan mereka selalu berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa..." (Kisah Para Rasul 2:41-42).

Apa yang tercermin dalam aktivitas gereja mula-mula ini adalah pola yang seharusnya dengan setia diikuti oleh gereja masa kini. Ada tiga hal yang perlu dicermati di sini. Yang pertama adalah bahwa gereja mula-mula membangun dirinya di atas pengajaran rasul-rasul. Lukas mencatat, "mereka bertekun dalam pengajaran rasul-rasul." Frasa "dengan tekun" dalam ayat tersebut harus kita cermati agar kita mendapat pemahaman yang benar. Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa Inti dari kedewasaan di dalam Kristus adalah pertumbuhan jemaat melalui pembacaan dan penyelidikan Alkitab sebagai Firman Allah yang diwahyukan bagi jemaat masa kini.

Yang kedua, jemaat mula-mula ketika berkumpul mereka akan memecah roti, saling berbagi dan bersukacita bersama (ay. 42 dan ay. 46). Inilah gambaran berbagi hidup dan saling memberi diri yang dipraktekkan jemaat mula-mula. Praktek saling membagi hidup ini begitu orisinil, sehingga banyak orang akhirnya "gentar" dan kagum, serta tertarik dengan komunitas Kristen mula-mula ini (ay. 43, 47). Ini berbeda dengan banyak gereja saat ini. Gedung yang sedemikian megah membuat pertemuan-pertemuan jemaat menjadi begitu formal dan kaku, sehingga tidak nampak lagi praktek saling memberi diri dan berbagi hidup. Akhir-akhir ini banyak gereja mempraktekkan ibadah rumah-rumah. Namun, toh prakteknya tetap formal dan yang terjadi kemudian adalah "memindahkan ritual dalam gereja ke rumah-rumah." Tidak ada saling share atau membagikan pergumulan hidup, menyelidiki Alkitab bersama, dan saling mendoakan satu dengan yang lain. Jangan tanya apa yang dilakukan "gereja rumah" sekarang yang berkaitan misi. Dorongan untuk mereka "berdampak", bersaksi dan melayani masyarakat sekitarnya saja tidak pernah diuangkap gamblang dalam pertemuan-pertemuan "gereja rumah" abad ini.

Maka dampak "gereja-gereja rumah" abad sekarang sangat berbeda dengan "jemaat rumah mula-mula." Dulu jemaat memiliki dampak yang luar biasa bagi orang di sekelilingnya. Namun yang terjadi di tengah jemaat rumah masa kini adalah kehilangan "daya pikat" bagi masyarakat sekelilingnya.

Itulah gereja abad ini. Semakin megah gedungnya, semakin aktif jemaatnya, semakin sejuk ruang-ruang pertemuannya, namun semakin kehilangan "daya kesaksiannya" sebagai komunita yang seharusnya berdampak.