24 March 2010

Amnesia Rohani

Amnesia (dari Bahasa Yunani Ἀμνησία) adalah kondisi terganggunya daya ingat. Penyebab amnesia dapat berupa organik atau fungsional. Penyebab organik dapat berupa kerusakan otak, akibat trauma atau penyakit, atau penggunaan obat-obatan (biasanya yang bersifat sedatif). Penyebab fungsional adalah faktor psikologis, seperti halnya mekanisme pertahanan ego. Amnesia dapat pula terjadi secara spontan, seperti terjadi pada transient global amnesia.[1]

Bentuk Amnesia ada dua:
"Anterograde amnesia": kejadian baru dalam ingatan jangka pendek tidak ditransfer ke ingatan jangka panjang yang permanen. Penderitanya tidak akan bisa mengingat apapun yang terjadi setelah munculnya amnesia ini walaupun baru berlalu sesaat.
"Retrograde amnesia": ketidakmampuan memunculkan kembali ingatan masa lalu yang lebih dari peristiwa lupa biasa.
Kedua kategori amnesia tersebut dapat muncul bersamaan pada pasien yang sama. Contohnya seperti pada pengendara sepeda motor yang tidak mengingat akan pergi kemana dia sebelum tabrakan (retrograde amnesia), juga melupakan tentang kejadian di rumah sakit dua hari setelahnya (anterograde amnesia).

Berbeda dengan definisi amnesia secara klinis di atas, apa yang disebut "amnesia rohani" adalah penyakit kronis yang dapat menjangkiti orang Kristen, di mana gejalanya adalah ketidakmampuan mengingat bahwa hidup ini adalah berkat Allah, dan juga ketidakmampuan mengingat bahwa ia telah ditebus oleh darah Kristus dari maut, kepada hidup yang mengenal dan bersekutu kembali bersama-Nya.

Dalam konteks bacaan saya melalui Ulangan 18:1-2; 10-18, melupakan Allah (amnesia rohani) dapat muncul melalui: "ujian" (ay.2-4). Allah mengizinkan umat-Nya mengalami kelaparan, lalu Dia menyediakan manna. Ketika kita kekurangan kebutuhan hidup, kita mudah merasa bahwa Allah telah melupakan kita. Hal yang lain adalah melalui "kepuasan" (ay.10-11). Kelimpahan atau kekurangan mungkin menyebabkan amnesia rohani karena dua hal ini menjadikan kita hanya berfokus kepada diri sendiri, bukan kepada Allah yang telah menyediakan segala berkat itu. Penyebab selanjutnya adalah "kesombongan" (ay.12-16). Jika kemakmuran membuat kita merasa mampu melakukan segala sesuatu dengan kekuatan sendiri, kita sebenarnya telah melupakan Allah

Dalam konteks gereja masa kini, orang Kristen yang dijangkiti amnesia rohani belum tentu menunjukkan perilaku yang secara ekstrim negatif, seperti tidak mau ke gereja, suka berbuat dosa, dan hidup dalam amoralitas. Penyakit amnesia rohani yang lebih mematikan malah dapat menjangkiti orang yang menunjukkan perilaku yang nampak baik-baik, seperti rajin ke gereja, rajin memberi persembahan, bahkan suka melayani (artinya terlibat aktivitas rohani di gereja). Namun karena (sekali lagi) ia lupa akan anugerah Allah yang secara tuntas sudah digenapi di dalam karya Kristus, orang Kristen yang nampak baik-baik ini ternyata memiliki motif yang keliru dalam mengikut Dia. Apa yang ia lakukan selama ini dan dipandang orang lain sebagai kebaikan; seperti rajin ibadah, memberi persembahan (yang banyak), dan "melayani," lahir dari motivasi ingin mengejar berkat-berkat (yang notabene bersifat materialistis); seperti kesehatan, kekayaan, dan kesuksesan materiil. Jadi, orang yang melakukan hal-hal yang baik dengan motivasi mengejar "berkat-berkat" duniawi, dan bukan untuk mengenal Dia lebih dalam (band. Fil 3:10-11), adalah seorang yang telah terjangkiti "amnesia rohani." Orang seperti ini nyata dalam catatan Matius 7:1-23.

Lalu bagaimana kita dapat menghindari penyakit "amnesia rohani" ini? Ada tiga sikap hati yang harus kita pupuk setiap hari. Ketiga hal itu adalah kerendahan hati, ketaatan, dan pujian dari hati yang tulus kepada Allah. Ketiga sikap hati ini akan menolong kita untuk selalu mengingat anugerah, penyediaan serta pemeliharaan yang setia dari Allah. Jangan pernah lupakan anugerah-Nya. Jangan pernah lupakan karya salib-Nya di Kalvari. Jangan pernah lupa bersyukur kepada Allah hari ini atas semua yang telah dilakukan-Nya.

Mari kita mengikuti teladan Paulus: "Tetapi karena kasih karunia Allah aku adalah sebagaimana aku ada sekarang, dan kasih karunia yang dianugerahkan-Nya kepadaku tidak sia-sia. Sebaliknya, aku telah bekerja lebih keras dari pada mereka semua; tetapi bukannya aku, melainkan kasih karunia Allah yang menyertai aku" (1 Korintus 15:10).

"Lest I forget Gethsemane,
Lest I forget Thine agony,
Lest I forget Thy love for me,
Lead me to Calvary..."



[1] http://www.emedicine.com/neuro/topic380.htm

Pelayanan yang Berkenan di hati Allah: Melayani yang Hina dan Miskin
Matius 25:31-46.

Apa yang dapat kita pelajari dan renungkan dari bacaan Matius 25:31-46?


Di hari penghakiman Anak Manusia nanti, akan ada dua kelompok manusia; satu kelompok akan dianggap-Nya sebagai "domba" dan kelompok lain sebagai "kambing" (ay. 32-33). Domba akan ditempatkan di sebelah kanan-Nya, dan kambing akan ditempatkan di sebelah kiri. Dalam konsep budaya waktu Yesus mengajar bagian ini, kanan identik dengan perkenan Raja, dan posisi kiri identik dengan posisi yang "ditolak" Raja.


Mengapa ada pembagian dan pembedaan yang sedemikian rupa? Tuhan Yesus menjelaskan bahwa domba ditempatkan di sebelah kanan karena memang mereka mengasihi Yesus dengan tulus - dengan cara memberi makan, pakaian, tumpangan, dan mengunjungi Yesus ketika Dia memerlukannya (ay. 35-36). Sedangkan kelompok kambing, jelas tidak melakukan semua yang dilakukan kelompok domba, karena mereka tidak mengasihi Tuhan dengan tulus.


Yang menarik dari kisah ini adalah: yang benar merasa tidak benar (ayat 37-39), sebaliknya yang tidak benar merasa benar (ayat 44). Ini adalah masalah arogansi rohani. Akan banyak orang yang merasa diri rohani, tetapi di mata Tuhan mereka adalah orang yang jahat. Hal ini tentu sangat didukung dari bagian Matius yang lain, yaitu Matius 7:21-23.


Hal lain yang menarik adalah bahwa "mengasihi Tuhan" itu bukan dilakukan dengan cara menyanyi di gereja dengan lagu semacam "Kumau Cinta Yesus Selamanya" (meski hal itu menurut saya tidak 100% salah). Dari ayat 40 kita dibukakan bahwa "sesungguhnya segala sesuatu yang kita lakukan untuk salah seorang dari saudara Yesus yang paling hina ini, kita telah melakukannya untuk Dia." Pertanyaan bagi kita adalah: "Siapa "yang paling hina" di antara kita?" Saya berani katakan bahwa "yang paling hina" bukanlah saudara seiman yang datang ke gereja, ataupun para pemimpin gereja (meski kepada mereka kita perlu juga mengasihi dan menghormati otoritasnya). Dari bacaan ini jelas, "yang paling hina" adalah orang miskin, orang gembel, para yatim piatu dan anak-anak terlantar, orang-orang tertindas secara hukum, para orang tua jompo yang tidak diurus keluarganya, dan masih banyak lagi yang kalau boleh saya sebut semua mereka yang "termarginalisasi" oleh keangkuhan dunia ini.


Namun yang menyedihkan adalah bahwa kita seringkali lebih terdorong untuk "memenjarakan" konsep dan implementasi pelayanan dalam simbol-simbol ritual formal yang kosong. Bagi kebanyakan orang Kristen, pelayanan bagi Kristus berarti rajin ke gereja, memberikan persembahan rutin (dan banyak?), menjadi pemimpin pujian, paduan suara, dan bahkan berkhotbah. Itu semua penting, namun belum utuh menggambarkan pelayanan Kristen sejati. Seseorang berkhotbah bahwa visi hidup orang Kristen adalah "hidup kekal bagi orang Kristen itu sendiri" (perhatikan tanda kutip sebagai penekanan saya). Jujur saya sedih dengan khotbah yang demikian. Kalau kita melayani dan mengikut Kristus "hanya" dengan tujuan dan visi "keselamatan kita secara privat" itu adalah hal egois yang bisa dikerjakan oleh seorang murid Kristus! Dengan prihatin saya ingin bagikan kepada sobat-sobatku hari ini, panggilan hidup tertinggi (vocatio), atau yang kita bisa sebut sebagai "visi hidup Kristen" kita tidak lain dan tidak bukan adalah memuliakan Dia dan mengasihi Dia seumur hidup kita. Itu telah dinyatakan sejak penciptaan manusia (Kej. 1:22, 26-27), dan itu terus menjadi inti berita Injil dan surat-surat Paulus dalam PB (bdk. Yoh. 17:3, Fil. 3:10-11). Memuliakan Dia dan mengasihi Dia seumur hidup kita jelas termasuk di dalamnya adalah perjuangan Kristen bagi pembangunan Kerajaan Allah di tengah kerusakan dunia ini. Pembangunan Kerajaan Allah (yang "already and not yet") adalah termasuk perjuangan kita untuk memerangi kemelaratan, ketidakadilan sosial, dan kekacauan hukum di Indonesia. Dalam konteks teks yang kita baca pagi ini, kepedulian kita (sebagai pribadi Kristen maupun komunal Kristen) terhadap kemiskinan tidak bisa ditawar-tawar. Ini bukan sebuah perjuangan "Injil sosial," tetapi sebuah pemahaman Injil yang komprehensif; yang menekankan proklamasi Injil (Pribadi Yesus sebagai satu-satunya solusi keruwetan dunia ini) sama pentingnya (dan terintegral) dengan pelayanan kita untuk mengasihi, menjangkau, dan menolong orang miskin dan terabaikan.


So what? Apa yang bisa kita simpulkan dan lakukan dari terang Matius 25:31-46 ini? Secara singkat ijinkan saya mengajak dan bahkan mendorong kita semua (termasuk saya) untuk memiliki visi hidup mengasihi dan peduli secara nyata kepada orang-orang yang paling hina di sekeliling kita. Alasannya jelas: mereka adalah personifikasi Kristus sendiri yang Ia titipkan dalam hidup kita. Visi global ini bisa kita lakukan secara lokal dan sederhana. Mulailah dari orang sekeliling kita. Sudahkah kita memperhatikan mereka, mendoakan dan kemudian mengulurkan tangan untuk menolong apa yang yang menjadi kebutuhan mereka? Bagi rekan-rekan alumni, sudahkah kita mendoakan kemiskinan di sekeliling kita untuk kemudian mengambil tindakan nyata (misal: membangun jejaring untuk program orang tua asuh)? Kepada rekan-rekan pejuang pelayanan mahasiswa, marilah kita arahkan pelayanan kita secara terfokus dan intensif untuk menolong secara nyata dan memperjuangkan nasib orang-orang terhina ini dalam tindakan nyata; dimulai dari doa yang terarah dan dilanjutkan dengan aksi yang terencana nyata. Sayapun terus belajar, melalui dorongan semacam ini, dan melalui tindakan kecil yang nyata...


Tidak banyak orang yang suka melayani orang-orang yang tersingkir dan hina. Namun justru kesukaan dan kesetiaan dalam melayani mereka yang hina ini (ayat 40, 45) merupakan tanda bahwa seseorang sudah menjadi anak Tuhan. Hanya yang pernah dilayani Tuhan pada saat dirinya masih hina dan berdosa, yang punya hati tulus untuk melayani siapa saja tanpa pandang bulu.


Kalau Yesus sudah mengidentifikasikan diri-Nya dengan mereka yang miskin dan terhina, siapakah kita yang merasa terlalu tinggi untuk melayani mereka? Kalau kita merasa seperti itu, jangan-jangan kita belum menjadi milik Kristus, sehingga kita tidak memiliki hati Kristus yang penuh kasih.