03 October 2007

Pembayatan Para Hamba(tan) Allah



Hari Jemuah (bukan Jumat) itu adalah hari yang paling ditunggu bagi para cantrik Padepokan "Aji Wingit." Para cantrik ini menurut rencana akan dibayat, alias dibaptis menjadi "para ksatria" Kitab Pusaka Gesang. Bagaimana tidak, selama bertahun-tahun plus selusin bulan mereka bergelut dengan Kitab Pusaka Gesang yang - katanya - sangat ditekankan dalam pendidikan Padepokan "Aji Wingit." Maka bukan saja ayah-bundo yang mereka boyong ke kampus yang baru nan megah itu. Bahkan eyang-buyut, keponakan, dan bahkan calon istri, mereka borong untuk membanjiri kampus yang sedang kinyis-kinyis itu. Para cantrik yang telah menggunakan jubah kebesaran itu nampak begitu bangga. Sang cantrik laki-laki berjalan bak pahlawan yang siap perang, begitu gagah meski di kancah persilatan Kitab Pusaka Gesang nanti mereka belum tentu dapat jatah. Sedangkan para cantrik perempuan mesam-mesem, bak putri keraton Solo yang siap dipinang raja.

Menjadi "hamba Allah." Begitu cita-cita calon ksatria Kitab Pusaka Gesang ini. Maka pesta pembayatan yang meriahlah yang menjadi impian mereka. Dari kabar burung yang mereka dengar, upacara pembayatan kali ini akan dibarengkan dengan Pembukaan Cadar Kampus "Aji Wingit" yang baru. Apalagi puluhan ksatria dan hamba Allah yang telah terlebih dahulu melalang buana di negeri pencak silat Kitab Pusaka juga akan datang melihat upacara pembayatan itu. Maka yang terbayang di benak para cantrik yang imut-imut dan amit-amit itu adalah pesta pembayatan yang megah dan menjadi pusat perhatian...

Sayang seribu sayang. Ketika Sang Eyang Guru membacakan naskah Acara Upacara Pembayatan, ternyata upacara pembayatan itu sendiri hanya menjadi semacam "band pembuka" dari gelegar acara yang lebih megah: Pembukaan Cadar Kampus "Aji Wingit!" Sayang sejuta malang, kaum keluarga, orang tua, buyut dan para calon istri para cantrik-pun akhirnya hanya menyaksikan upacara pembayatan itu menjadi semacam "iklan tusuk gigi" yang tidak punya taji lagi...

Seorang cantrik dekil bergumam, "Wualah, kita ini dibayat untuk menjadi 'hamba Allah' atau 'hambatan Allah' ya...? Masak kita yang menurut Kitab Pusaka Gesang bisa bernilai seluruh kemegahan dunia ini kalah dihargai daripada bangunan kampus yang fana ini ya?" Sang teman di pojok ruangan hanya dapat menjawab, "Mboh, aku yo bingung..."

BAHASA ROH
SEBUAH KONTROVERSI DI TENGAH KEKRISTENAN MODERN


PENDAHULUAN
Berbicara mengenai karya Roh Kudus di tengah gereja abad modern ini, tidak bisa dilepaskan daripada isu "bahasa roh" sebagai suatu fenomena yang mengikuti gerakan Kharismatik. Isu bahasa Roh merebak luas dan ramai didiskusikan seiring lahirnya Gerakan Kharismatik atau yang biasa disebut gerakan Neo-Pentakosta, yang (secara sengaja atau tidak) dikaitkan erat dengan doktrin "Baptisan Roh" dan "Kepenuhan Roh." Akhir-akhir ini isu "bahasa roh" tidak sehangat beberapa tahun yang lalu, di mana fenomena-fenomena ibadah yang dikaitkan denga "roh" begitu marak dengan munculnya apa yang disebut sebagai Toronto Blessing. Meski saat ini isu ini tidak sehangat pada waktu kemunculan Toronto Blessing, namun pada kenyataannya ajaran dan praktek "berbahasa roh" masih terus berlangsung di beberapa gereja kharismatik. Karena itu, pembinaan di tengah pelayanan mahasiswa harus terus secara kritis melihat dan mengukur sejauh mana fenomena "bahasa roh" sejalan dengan kebenaran Alkitab.

SEBUAH DESKRIPSI MENGENAI BAHASA ROH
Deskripsi Bahasa Roh dalam Alkitab
Sebenarnya "bahasa roh" adalah istilah yang kurang tepat digunakan secara luas berdasarkan asal kata dalam Alkitab Yunani. Alkitab menggunakan kata glossolalia, atau "bahasa lidah," berasal dari kata Yunani γλώσσα (glossa) yang artinya “lidah,” dan λαλώ (lalô) yang berarti "berbicara." Jadi, istilah yang lebih tepat digunakan seharusnya adalah "bahasa lidah." Pemakaian istilah "bahasa roh" dikaitkan dengan pemahaman bahwa bahasa ini merupakan karunia yang diberikan oleh Roh Kudus sendiri, sehingga secara umum kini kedua istilah tersebut menjadi interchangable (bisa dipakai bergantian).

"Bahasa roh" sebenarnya harus dibedakan menjadi dua, yaitu bahasa yang tidak dipahami (glossolalia), dan bahasa asing yang diucapkan oleh orang yang sebelumnya tidak mengerti bahasa itu (xenoglossia). Ensiklopedia online Wikipedia Indonesia, mendeskripsikan "bahasa roh" sebagai "suatu ucapan atau ungkapan, yang pengertiannya tergantung pada si pendengar dan konteksnya, bisa sebagai bahasa asing (xenoglossia), bisa sebagai suku-suku kata yang tampak tidak berarti, atau sebagai 'bahasa mistis' yang tidak dikenal; di mana ucapan/ungkapan ini biasanya muncul sebagai bagian dari penyembahan religius (religious glossolalia)." Sedangkan Lester Kamp mendefinisikan karunia berbahasa lidah sebagai "kemampuan untuk berkata-kata dalam bahasa yang dapat dimengerti orang, tetapi sebelumnya tidak diketahui oleh orang yang berbicara itu." Ini berarti seorang yang mempunyai karunia berbahasa lidah dapat mengerti dan mengucapkan bahasa orang lain (asing) dengan sempurna dan dapat dimengerti oleh si pemilik bahasa tanpa mempelajarinya terlebih dulu secara alami.

Di dalam Alkitab, bahasa lidah (xenoglosia) pertama kali terjadi pada Hari Pentakosta yang dicatat di dalam Kisah Rasul 2:1-4. Gambaran alkitabiah mengenai orang-orang yang berbicara dalam bahasa roh muncul tiga kali dalam Kisah Para Rasul, dan setiap kali dirangkaikan dengan fenomena "pencurahan Roh Kudus," yakni dalam Kis 2:4, 10:46, dan 19:6. Dalam peristiwa yang dicatat Lukas dalam Kisah Rasul 2:1-4, digambarkan fenomena "penerjemahan mujizat," di mana ketika para rasul sedang berbicara, orang-orang dari berbagai belahan dunia yang hadir mendengar mereka berbicara dalam bahasa mereka masing-masing. Beberapa penafsir menilai bahwa kasus biblikal ini merupakan contoh dari xenoglossia religius, yakni berbicara secara ajaib dalam bahasa-bahasa asing yang tidak dikenal oleh si pembicara itu sendiri. Di dalam kisah ini, karunia berbahasa lidah para rasul adalah semacam kemampuan untuk berbicara dalam bahasa yang mereka tidak kuasai, tetapi yang langsung ditangkap pendengar mereka sebagai bahasa ibu masing-masing pendengar. Jelas dalam peristiwa ini yang disebut sebagai "bahasa lidah" adalah bahasa manusia yang disampaikan para rasul, meski mereka sendiri sebenarnya tidak pernah mengenal bahasa-bahasa tersebut.

Di bagian lain, PB terjemahan King James Version, terdapat kata unknown tongue ("lidah asing") dalam 1 Korintus 14:2. Dari hasil penelitian sarjana Alkitab, kemudian kata unknown ("asing") ini dituliskan dengan huruf miring (italics), yang menandakan bahwa kata tersebut sedianya tidak terdapat dalam manuskrip aslinya dalam Bahasa Yunani. Para penerjemah KJV memasukkan kata "lidah asing" ini dalam hasil terjemahannya. Dalam Alkitab Terjemahan Baru (LAI), kata-kata ini diterjemahkan sebagai "bahasa roh" (dengan "roh" huruf kecil). Nampaknya fenomena "bahasa roh" di dalam jemaat Korintus yang dirisaukan Paulus berbeda dengan karunia berbahasa dalam bahasa lain yang dimiliki para murid di Yerusalem pada hari Pentakosta.

Beberapa uraian Paulus mengenai bahasa roh penting untuk kita perhatikan. Bahasa roh menurut Paulus adalah berkata-kata kepada Allah; bukan kepada manusia; "oleh Roh mengucapkan hal-hal yang rahasia, dan tidak ada seorangpun yang mengerti bahasanya (1 Kor 14:2). Ia juga mengatakan bahwa orang yang berkata-kata dalam bahasa roh membangun (memperbaiki) dirinya sendiri (1 Kor 14:4). Bahasa roh merupakan doa yang dilakukan oleh roh (1 Kor 14:14), dan merupakan bahasa pengucapan syukur yang sangat baik (1 Kor 14:16-17).
Pada bagian lain, Paulus menyatakan juga beberapa hal: Paulus meminta jemaat agar "jangan melarang orang yang berkata-kata dengan bahasa roh" (1 Kor 14:39). Ia berharap jemaat semua "berkata-kata dengan bahasa roh," tetapi lebih mendorong jemaat untuk "bernubuat," karena "orang yang bernubuat lebih berharga dari pada orang yang berkata-kata dengan bahasa roh" (1 Kor 14:5). Menurutnya, nubuat adalah kata-kata bagi manusia (jemaat) untuk membangun, menasihati, dan menghibur; sedangkan bahasa roh adalah bahasa untuk membangun diri sendir. Ia juga mengaku, "berkata-kata dalam bahasa roh lebih dari pada kamu semua" (1 Kor 14:18). Pada bagian lain Paulus meminta agar jemaat berlaku bijak dalam berbahasa roh, karena bila dalam suatu ibadah setiap orang berkata-kata dalam bahasa roh, maka orang-orang yang tidak percaya bisa mengatakan mereka "gila" (1 Kor 14:23).
Alkitab juga mencatat gambaran akan tata cara ibadah berkaitan dengan bahasa roh. Yang pertama, Paulus menegaskan bahwa jika dalam suatu ibadah sepenuhnya diwarnai oleh bahasa roh, maka orang lain tidak dapat mengerti apa yang dikatakan (1 Kor. 14:11). Di bagian lain dikatakan bahwa karunia-karunia Roh harus diusahakan untuk dipergunakan membangun Jemaat (1 Kor. 14:12). Di bagian selanjutnya dinyatakan: "Siapa yang berkata-kata dalam bahasa roh, haruslah berdoa agar diberikan juga karunia untuk menafsirkannya" (karena bila berdoa dalam bahasa roh, maka roh yang berdoa, dan akal budi tidak ikut berdoa – 1 Kor 14:14). Oleh karena itu, dalam suatu ibadah/pertemuan jemaat, Paulus menyarankan agar didominasi dengan penggunaan bahasa yang dimengerti oleh semua orang (1 Kor 14:19). Ini berarti, jika ada yang berkata-kata dalam bahasa roh, haruslah ada yang dapat menafsirkannya (1 Kor 14:27).

Alkitab juga mengajarkan bahwa bahasa roh berguna sebagai tanda. Bahasa roh merupakan tanda bagi orang yang belum beriman, bukan untuk orang beriman (1 Kor 14:22). Konteks dari poin di atas, menurut Yesaya 28:11, mengindikasikan bahasa roh sebagai "tanda penghakiman," ketimbang "tanda belas kasihan." Yesus sendiri menyatakan hal tersebut dalam Markus 16:17: "Tanda-tanda ini akan menyertai orang-orang yang percaya: mereka akan mengusir setan-setan demi nama-Ku, mereka akan berbicara dalam bahasa-bahasa yang baru bagi mereka."

Antara Karunia Roh, Baptisan Roh dan Bahasa Roh
Karunia Roh (tunggal: charisma; jamak: charismata) adalah pemberian Roh Kudus bagi setiap orang percaya. Hakikat makna "karunia" adalah bukan karena kemampuan atau hasil usaha manusia. Setiap orang yang percaya menerima karunia Roh (atau karunia rohani) dalam berbagai jenis. Berbeda dengan Karunia Roh yang bersifat khusus, Buah Roh bersifat umum. Buah Roh menjadi bukti karya Roh Kudus dalam hidup kita, dan akan mengindika-sikan kedewasaan rohani kita. Karena itu, dalam ajaran Paulus, Buah Roh tetap menjadi hal yang lebih utama daripada Karunia Roh. A. F. Ballenger dalam hal ini menuliskan:
"Barangsiapa yang mencari pernyataan Karunia Roh sebelum pernyataan buah Roh, menunjukkan bahwa ia dalam kondisi yang belum siap untuk dipercayakan Karunia tersebut. Orang yang mencari Karunia Mujizat sebelum kelemahlembutan tidak akan diberikan karunia tersebut. Bagi yang mengejar Karunia Bahasa Lidah, tetapi tidak dapat menahan diri, adalah tidak tepat diberikan karunia tersebut sebab satu lidah saja belum digunakannya dengan tepat. Orang yang menuntut Karunia Kesembuhan namun tidak memiliki kasih, sesungguhnya ia sendiri perlu disembuhkan terlebih dahulu."

Bagi beberapa kelompok dari gerakan kharismatik dan pentakosta, bahasa roh selalu menjadi tanda yang harus muncul jika seseorang sudah menerima baptisan Roh. Seorang penulis Kharismatik, Laurence Christenson, mengatakan, "Di luar pertobatan, di luat jaminan keselamatan, di luar mempunyai Roh Kudus, ada baptisan Roh Kudus." Ajaran ini didasarkan terutama pada dua bagian Alkitab:
"Sebab Yohanes membaptis dengan air, tetapi tidak lama lagi kamu akan dibaptis dengan Roh Kudus" (Kis. 1:5).
"Sebab dalam satu Roh kita semua, baik orang Yahudi, maupun orang Yunani, baik budak maupun orang merdeka, telah dibaptis menjadi satu tubuh dan kita semua diberi minum dari satu Roh." (1Kor. 12:13).
Kalimat "dibaptis dengan Roh Kudus" yang diucapkan Yesus di sini ditafsirkan sebagai Baptisan Roh. bSeorang yang sudah menerima Baptisan Roh otomatis menunjukkan tanda terjelas, yaitu berbahasa Roh. Bagi orang-orang kharismatik, orang Kristen yang sudah percaya kepada Yesus belum tentu dapat berbahasa Roh, karena mereka belum menerima Baptisan Roh ini. Contoh yang sering diberikan adalah para murid Yesus sendiri. Sebelum peristiwa Pentakosta, mereka sudah percaya pada Yesus, namun mereka baru bisa berbahasa Roh setelah menerima Baptisan Roh yang terjadi pada peristiwa Pentakosta itu. Karena itulah maka Baptisan Roh sering juga disebut sebagai Berkat Kedua (The Second Blessing).

Apa yang diucapkan Paulus dalam 1 Korintus 12:13 sebenarnya menunjukkan bahwa "dalam satu Roh" kita "telah dibaptis menjadi satu tubuh." Kata "telah dibaptis" di sini memakai bentuk kata kerja aorist tense, artinya an unrepeated operation, a completed past action, once and for all. Hal ini dipertegas oleh peristiwa di Efesus, di mana orang-orang Efesus sudah menerima baptisan Yohanes (fisik), namun belum menerima Roh Kudus (spiritual). Itu sebabnya Paulus berkata, "Sudahkah kamu menerima Roh Kudus, ketika kamu percaya?" (Kis. 19:2), dan "… mereka harus percaya pada Dia… yaitu Yesus" (Kis. 19:4). Hal ini menyiratkan bahwa orang-orang Efesus saat itu belum sungguh-sungguh percaya dan menerima Yesus secara pribadi sebagai Tuhan dan Juruselamat, sekalipun mereka sudah menerima baptisan Yohanes sebagai "tanda pertobatan." Hal ini juga banyak terjadi dalam gereja modern saat ini, di mana banyak orang dengan mudah menerima baptisan air, namun belum sungguh-sungguh menyadari dan melalui pertobatan yang sejati. Karena itu, jelas bahwa "percaya dan dibaptis dalam Yesus" tidak bisa dilepaskan makna dan kualitasnya dari "percaya dan dibaptis Roh." Dalam hal ini, "Baptisan Roh Kudus" lebih menekankan aspek spiritual, di mana seseorang mengalami karya Roh Kudus secara pribadi yang melahirbarukan dia hingga mampu meresponi anugerah di dalam Kristus. Sedangkan "baptisan air" adalah aspek "proklamasi fisik" seseorang yang menyatakan imannya kepada Kristus di tengah jemaat.

Karena itu, pemahaman bahwa "baptisan roh" adalah pengalaman kedua setelah menjadi Kristen yang ditandai dengan kemampuan "berbahasa roh" adalah pemahaman yang tidak berdasarkan penafsiran Alkitab yang bertanggung jawab.

PRAKTEK BAHASA ROH DI DALAM DAN DI LUAR KEKRISTENAN
Sejarah Perkembangan Praktek Bahasa Roh dalam Gereja
Aliran Pentakosa atau gerakan Kharismatik abad kedua puluh bukan merupakan aliran yang pertama kali "berbahasa lidah" selama Sejarah Gereja. Pendahulu-pendahulu dalam berabad-abad era Kristen, di antaranya adalah Justin Martyr, tahun 150 M, menyinggung mengenai bahasa lidah dalam sebuah dialog dengan Trypho, "Jika Anda mau membuktikan mengenai Roh Allah yang bersama dengan jemaat Anda dan membiarkan Anda untuk datang kepada kami, datanglah ke dalam jemaat-jemaat kami, dan Anda akan menemukan Dia mengusir setan-setan, menyembuhkan yang sakit, dan mendengar Dia berbicara dalam bahasa lidah dan bernubuat." Sebelum tahun 200, Iranaeus dalam risalahnya Against Heresies (Melawan Bidat/Ajaran Sesat), menuliskan mengenai mereka "yang melalui Roh berbicara dalam segala macam bahasa."

Kemudian sekitar 200 M, Tertulianus menyinggung tentang "interpretasi bahasa roh" sebagai "tanda." Tahun 350, Ambrosia dalam karyanya, Of the Holy Spirit, menyebutkan "karunia bahasa roh" sedang dicurahkan pada masanya oleh "Sang Bapa." Berikutnya sekitar 390 M, Agustinus dalam sebuah pengajaran mengenai Mazmur 32, mendiskusikan fenomena biasa di jamannya mengenai mereka yang "bernyanyi dalam sorak-sorai," menyanyikan pujian bagi Allah bukan dalam bahasa mereka sendiri, tetapi dalam gaya yang "tidak dapat dibatasi oleh keterbatasan bahasa."

Tahun 1100-an, Hildegard dari Bingen berbicara dan bernyanyi dalam bahasa roh. Lagu rohani yang dinyanyikannya sering disebut-sebut pada masanya sebagai "konser dalam Roh." Tahun 1300-an, Kelompok Merovian disebut-sebut berbahasa roh oleh para pengkritiknya. Tahun 1500-an, "Nabi-nabi Perancis: Para Camisard" juga terkadang berbicara dalam bahasa-bahasa yang tidak dikenal: "Sekelompok orang dari jenis kelamin berbeda," James Du Bois dari Montpellier teringat, "Saya mendengar dalam kegembiraan mereka mengucapkan kata-kata tertentu, yang tampaknya adalah Bahasa Asing." Kalimat-kalimat ini kadang-kadang diikuti dengan interpretasi atas karunia tersebut, dan menurut pengalaman Du Bois, dilakukan oleh orang yang telah memiliki bahasa roh.

Tahun 1600-an, Perkumpulan Quaker, seperti Edward Burrough, menyatakan bahwa bahasa roh dipergunakan dalam kebaktian-kebaktian mereka: "Kami berbicara dalam lidah asing, sebagaimana diberikan Tuhan untuk kami katakan, dan Roh-Nya memimpin kami." Tahun 1800-an, Edward Irving, seorang gembala dari Gereja Apostolik Katolik Skotlandia, menulis mengenai seorang wanita yang "berkata-kata sangat panjang, dan bukan dengan kekuatan manusia biasa, dalam bahasa yang tidak dikenal, mengherankan semua yang mendengarnya, dan bagi dia sendiri ada kemajuan dan kebahagiaan dalam Tuhan." Irving melanjutkan bahwa "bahasa roh adalah sebuah instrumen hebat untuk pembaharuan diri, sekalipun hal itu mungkin tampak misterius bagi kita."

Pentakostalisme awal, kaum Pentakosta awal percaya bahwa bahasa lidah yang mereka nyatakan merupakan xenoglossia. Kebanyakan praktek glossolalia kelompok Pentakosta saat ini menjadi semacam kebaktian pribadi mereka. Beberapa bagian komunitas ini juga menerima dan terkadang turut mempromosikan penggunaan glossolalia selama ibadah penyembahan bersama. Hal ini terutama sekali nyata dalam tradisi Karismatik (atau yang juga disebut Neo-Pentakosta). Kedua kelompok ini percaya bahwa kemampuan berkata-kata dalam bahasa roh dan ungkapan-ungkapannya, adalah karunia supernatural dari Allah.
Bahasa Roh Di Luar Kekristenan

Russ Spittler dan David du Plessis pernah melakukan sebuah studi dan menyimpulkan bahwa "bahasa roh" ternyata terdapat pula dalam agama-agama lain dan bahkan di luar lingkungan agama. Pada abad ke-11 SM, misalnya, ditemukan bukti bahwa nabi-nabi Mesir juga mengucapkan kalimat-kalimat serupa. Atau juga, para ahli meyakini bahwa Delphi Oracle, ucapan-ucapan seorang nabiah Yunani bernama Delfi, serupa dengan apa yang kini kita sebut dengan glossolalia. George Jennings menemukan bahwa para bhikku di Tibet, tatkala mereka melakukan tarian keagamaan, sanggup mengucapkan kalimat-kalimat dalam bahasa Inggris, kutipan tulisan Shakespeare dan malah kata-kata kotor yang banyak diucapkan tentara-tentara Inggris, Jerman, dan Perancis, ketika sedang mabuk. Selain itu Jennings juga menemukan fenomena serupa dalam kultus Peyote di antara orang Indian, upacara Haida Indian di Pasific, Shamanisme di Sudan, kultus Shago di Trinidad, kultus Voodoo di Haiti, kultus Zor di Ethiopia, Shamanisme di Greenland, kultus Dayak di Kalimantan, dan masih banyak lagi.

BAHASA ROH SEBAGAI SEBUAH KONTROVERSI DALAM JEMAAT
Harus diakui bahwa fenomena bahasa roh atau bahasa lidah yang berkembang di tengah gereja akhir-akhir ini seringkali menyebabkan pertentangan dan perselisihan di antara kelompok kekristenan sendiri. Gereja-gereja dengan latar belakang gerakan pentakostalisme, dan terutama kharismatik selalu mengklaim bahwa bahasa roh adalah satu bukti utama dari "baptisan Roh," yang mereka pahami sebagai the second blessing yang harus dialami oleh setiap orang percaya yang sungguh-sungguh. Sebagai acuannya, Gereja Bethel Indonesia sebagai satu organisasi gereja kharismatik yang besar di Indonesia menempatkan Baptisan Roh, dan "tanda awalnya" berupa berbicara dalam bahasa roh. Sedangkan di sisi lain gereja-gereja injili yang berhaluan ortodoks/tradisional menolak keras fenomena bahasa roh sebagai karunia yang utama di dalam gereja. Bahkan tokoh-tokoh seperti John F. MacArthur, Jr. berani menegaskan bahwa karunia bahasa roh sudah berhenti dan tidak dibutuhkan di tengah kehidupan gereja saat ini. Lalu bagaimana seharusnya sikap kita dalam menyikapi fenomena bahasa lidah ini? Untuk menjawab hal ini, alangkah baiknya jika kita belajar dari pengalaman Paulus di dalam mengarahkan jemaat Korintus di dalam suratnya, 1 Korintus 12-14.

Apakah Bahasa Roh adalah Karunia yang Tertinggi?
Dalam 1 Korintus 14:5, Rasul Paulus mengatakan, "Aku suka, supaya kamu semua berkata-kata dengan bahasa roh, tetapi lebih daripada itu, supaya kamu bernubuat." Ucapan Paulus dalam 1 Korintus 14:5 dan pembahasan sekitarnya mengenai kehadiran dan fungsi karunia-karunia rohani dalam diri orang-orang beriman telah menimbulkan banyak pertanyaan: Apa kedudukan "bahasa roh" di dalam jemaat? Apakah orang-orang yang telah mendapatkan karunia rohani ini menjadi orang Kristen yang lebih saleh, lebih terbuka terhadap pekerjaan Roh Kudus, dibandingkan mereka yang belum mendapatkannya? Apakah Paulus bermaksud mengatakan bahwa semua orang Kristen harus mendapatkan karunia ini? Atau sebaliknya semua orang harus berpartisipasi dalam pekerjaan nubuat, dan memberikan tempat yang tidak penting untuk "berkata-kata dengan bahasa roh?"

Beberapa orang Kristen, terutama dari kelompok kharismatik, atas dasar teks ini dan teks-teks lainnya, merasa lebih tinggi, atau lebih lengkap, karena mereka memiliki karunia bahasa roh, dan bersama-sama Paulus berharap bahwa saudara-saudara seiman mereka dapat memiliki pengalaman yang sama ini. Orang-orang Kristen lainnya, atas dasar teks yang sama, menganggap glossolalia ini perwujudan dari iman yang primitif dan tidak dewasa, dan menganggap ketiadaan karunia atau pengalaman ini sebagai tanda kedewasaan yang lebih besar. Yang lainnya lagi, melihat iman yang bersemangat dan antusias, dan juga kesaksian dari beberapa orang yang memiliki karunia berkata-kata dengan bahasa roh, merasa bahwa mereka tidak berjalan seiring dengan Roh Allah dan sungguh-sungguh merindukan atau mencari pengalaman Roh yang akan menimbulkan semangat pada iman yang statis.

Masalah di atas, yang sedikit banyak sudah ada di sebagian gereja sepanjang sejarah gereja telah muncul kembali akhir-akhir ini dalam sebuah bentuk yang dikenal dengan nama gerakan kharismatik (dari kata bahasa Yunani charisma: "karunia"). Karena gerakan ini telah masuk ke dalam semua golongan gereja dan mempengaruhi orang-orang beriman dalam hampir semua tradisi Kristen, kita sangat perlu mengerti ajaran Paulus mengenai hal ini. Sebuah definisi singkat tentang istilah-istilah yang digunakan oleh Paulus akan bermanfaat. Dua aktivitas yang dipertentangkan dalam ucapan sulit ini adalah "berkata-kata dengan bahasa roh" dan "bernubuat."

Seperti yang telah diuraikan di atas, fenomena "bahasa roh" yang dinyatakan oleh Paulus sebagai karunia (bahasa Yunani, charisma) dari Roh Kudus ini (1 Korintus 12-14) harus dibedakan secara jelas dari fenomena yang menyertai pencurahan Roh Kudus pada hari Pentakosta (Kisah Para Rasul 2:1-12). Dalam Kisah Para Rasul, Roh Kudus memampukan murid-murid Yesus untuk "berkata-kata dalam bahasa-bahasa lain" (glossai Kisah Para Rasul 2:4, 11) sedemikian rupa sehingga para pendengarnya, yang terdiri dari orang-orang dari berbagai kelompok bahasa di seluruh daerah Yunani Roma, mendengar mereka berbicara mengenai kabar baik tentang Yesus (Kisah Para Rasul 2:6, 8) dalam bahasanya masing-masing (bahasa Yunani, dialekton: "dialek/bahasa"). Di sini jelas terjadi pernyataan dan pendengaran yang penuh keajaiban di mana artinya yang jelas terungkap dan diterima pendengar.
Penafsiran Paulus tentang fenomena ini juga menunjukkan bahwa hal tersebut harus dimengerti sebagai pernyataan yang jelas tentang kebesaran Allah. Ia mengutip nubuat dalam Yoel 2:28-32, di mana pencurahan Roh Kudus itu menimbulkan nubuat (Kisah Para Rasul 2:17-18). Di Korintus, di pihak lain, fenomena bahasa roh yang dirisaukan Paulus diidentifikasi sebagai "bahasa yang tidak dimengerti:" tidak seorangpun mengerti hal ini (1 Korintus 14:2); bahasa itu perlu ditafsirkan jika ingin membangun jemaat (14:5); bahasa ini dikontraskan dengan "kata-kata yang jelas" (14:9, 19) dan "banyak macam bahasa...tidak ada satu pun di antaranya yang mempunyai bunyi yang tidak berarti" (14:10); bahasa ini tidak mencakup akal budi (14:14); orang lain tidak tahu apa yang dikatakan (14:16).

Paulus membandingkan karunia bahasa roh ini dengan karunia "nubuat." Kita harus berhati-hati sejak awal untuk tidak memberikan gagasan yang terbatas pada kata nubuat. Kata ini tidak hanya berarti "meramalkan masa yang akan datang." Nubuat kadang-kadang mencakup unsur peramalan ini (baik di antara nabi-nabi Perjanjian Lama maupun nabi-nabi Kristen), tetapi aspek ini tidak eksklusif ataupun utama. Nabi-nabi Israel terutama menunjukkan Firman Allah pada kenyataan yang sekarang. Ini juga merupakan aspek utama dari pemberitaan Injil dalam kekristenan awal yang mula-mula. Dalam Kisah Para Rasul, nubuat Yoel (bahwa "anak-anakmu laki-laki dan perempuan akan bernubuat" Kisah Para Rasul 2:17-18) terpenuhi dalam pernyataan tentang apa yang telah dilakukan Allah dalam Yesus Kristus (Kisah Para Rasul 2:22-36).

Dalam 1 Korintus 11, berdoa dan bernubuat dibicarakan sebagai dua aspek khas dari orang Kristen dalam ibadah jemaat. Doa ditujukan kepada Tuhan, sedangkan nubuat berarti menunjukkan Firman Tuhan kepada jemaat yang beribadah. Dalam 1 Korintus 14:19-33, aktivitas nabi-nabi Kristen diartikan menyampaikan isi wahyu ilahi kepada jemaat demi pengajaran dan dorongan. Tujuan perkataan nabi ini sangat penting daam kontras antara nubuat dengan berkata-kata dalam bahasa roh, yaitu untuk membangun, menasihati, dan menghibur (1 Korintus 14:3). Kita dapat meringkas perbedaan di atas sebagai berikut: Paulus memahami "bahasa roh" sebagai ucapan yang bersemangat dan penuh gairah, tetapi tidak jelas tanpa penafsiran. Tempatnya yang asli dan sesuai adalah dalam doa (1 Korintus 14:2, 16). Ia memahami "nubuat" sebagai pernyataan wahyu yang bersemangat (mungkin mencakup Injil, yaitu tindakan Allah di dalam Kristus, dan pengungkapan yang lebih jauh dari tujuan Allah berdasarkan kejadian itu), yang disampaikan pada gereja dalam bentuk perkataan yang jelas untuk pertumbuhannya yang terus menerus. Dengan latar belakang dan definisi ini kita sekarang siap untuk mengikuti argumentasi Paulus tentang bahasa roh ini.

Bahasa Roh di dalam Praktek Jemaat Korintus
Konteks yang lebih luas terdapat sebelum pasal 12-14, di mana Paulus membicarakan masalah-masalah dalam kehidupan masyarakat gereja, khususnya dalam konteks ibadah. Prinsip yang utama dan pokok untuk tindakan Kristen adalah prinsip kemajuan rohani. Semua kehidupan dan tindakan Kristen seharusnya diatur oleh pertanyaan: Apakah ini bermanfaat bagi orang lain? Apakah hal ini menimbulkan keselamatan dan/atau pertumbuhan iman mereka? Apakah ini baik untuk mereka (1 Korintus 8:1, 9, 13, 9:12, 19-22; 10:23-24, 31-33; 11:21, 33)? Prinsip ini terus berlanjut sebagai lintasan pedoman dalam pembahasan Paulus tentang kedudukan dan fungsi karunia rohani dalam 1 Korintus 12-14.

Fokus dari pembahasan tersebut adalah manfaat relatif dari "bahasa roh" dan "nubuat" (pasal 14). Tetapi Paulus menggunakan "nubuat" untuk membahas apa yang nampaknya merupakan masalah inti di Korintus: sikap meninggikan karunia berkata-kata dengan bahasa roh sedemikian rupa sehingga karunia-karunia lainnya dan juga orang-orang yang memiliki karunia itu diremehkan. Orang-orang yang menggunakan bahasa roh jelas melihat karunia ini sebagai tanda kerohanian yang lebih tinggi. Pandangan semacam ini biasanya muncul secara alamiah di antara sekelompok orang beriman di Korintus yang merasa yakin bahwa mereka telah dibebaskan dari semua hubungan tanggung jawab dan masalah etika praktis.

Dalam ibadah, orang-orang yang tinggi rohani ini merasa bangga dalam fenomena wahyu sebagai pengesahan terakhir bahwa mereka bebas dari eksistensi yang terikat pada bumi, termasuk kata-kata yang rasional dan jelas. Pertanyaan Paulus kepada mereka dalam hal ini, seperti juga pertanyaan yang lebih awal sehubungan dengan masalah lain, adalah: Bagaimana peranan karunia ini untuk keselamatan atau untuk membangun orang lainnya, dan bukan hanya diri sendiri (1 Korintus 14:4)? Dasar untuk mengatasi masalah ini dijelaskan dengan teliti dalam bab 12-13. Singkatnya, pemikiran Paulus berkembang sebagai berikut: Ada bermacam-macam karunia untuk orang beriman, tetapi semuanya itu berasal dari Roh Allah (1 Korintus 12:4-6). Implikasinya adalah tidak seorang pun memiliki alasan untuk merasa bangga! Perwujudan dari Roh yang satu ini dalam bermacam-macam karunia itu adalah demi kepentingan bersama (1 Korintus 12:7). Jadi, dimilikinya karunia khusus itu bukanlah demi keuntungan pribadi seseorang. Rohlah yang menentukan bagaimana karunia itu dibagikan (1 Korintus 12:11). Karena itu, pemilik dari satu karunia tertentu tidak mempunyai alasan untuk merasa lebih disukai secara khusus atau dalam pengertian tertentu lebih tinggi daripada seseorang yang tidak memiliki karunia yang sama.

Rangkaian pemikiran ini kemudian ditunjang oleh gambaran jemaat sebagai tubuh Kristus, yang dibandingkan dengan anggota tubuh manusia yang hidup (1 Korintus 12:12-27). Tujuannya yang utama adalah untuk menyatakan bahwa walaupun ada bermacam-macam orang dan karunia dalam gereja, tidak boleh ada perpecahan; masing-masing bagian harus memperhatikan bagian yang lainnya (1 Korintus 12:25). Setelah menekankan penting dan absahnya semua anggota tubuh, dan juga karunianya yang bermacam-macam, Paulus kemudian melanjutkan dengan menunjukkan bahwa sehubungan dengan prinsip-prinsip yang membimbing kehidupan dan tindakan Kristen yaitu agar orang-orang lain dapat diselamatkan dan dibangun beberapa panggilan dan karunia lebih utama, lebih mendasar dari yang lain, dan memberikan sumbangan yang lebih langsung dan besar terhadap tujuan itu.

Walaupun Paulus memulai daftar panggilan karunia itu dengan cara menyebutkan satu demi satu ("pertama rasul, kedua nabi, ketiga guru" – 1Kor. 14:28), ia tidak melanjutkan penyebutan itu pada daftar karunia yang tersisa. Pelayanan rangkap tiga dari kata itu yaitu kesaksian Rasul yang mendasar bagi Injil, pemberitaan Injil nabi pada gereja, dan pengajaran tentang arti dan implikasi praktis dari Injil jelas merupakan yang utama, sedangkan aktivitas-aktivitas lainnya yang ditandai oleh karunia-karunia itu (1 Korintus 14:28) bersifat tergantung dan sekunder terhadap pelayanan tersebut. Penyebutan bahasa roh di urutan terakhir tidak harus berarti bahwa karunia inilah yang "paling kecil" berdasarkan urutan hirarkisnya (karena kelima karunia itu tidak diberi nomor). Lebih mungkin Paulus menyebutkannya paling akhir karena bagi jemaat yang antusias di Korintus kata ini terletak di paling atas. Tetapi, sudah jelas bahwa "bahasa roh" ini termasuk ke dalam sekelompok karunia yang satu tingkat lebih rendah daripada pelayanan nubuat. Hal ini ditegaskan oleh kalimat penutup Paulus dalam Korintus 12:31, "Jadi berusahalah untuk memperoleh karunia-karunia yang utama." Dapat diduga dari lanjutannya dalam pasal 14 bahwa pemberitaan nabi (khotbah) dan pengajaran adalah "karunia-karunia yang utama" itu.

Desakan untuk memperoleh karunia-karunia yang utama diikuti oleh panggilan menuju daya tarik yang lebih besar, "Dan aku menunjukkan kepadamu jalan yang lebih utama lagi" (1 Korintus 12:31 "jalan yang lebih baik lagi," Alkitab versi RSV). Yang lebih baik lagi daripada berusaha memperoleh karunia-karunia yang lebih utama, menurut Paulus, adalah mengikuti jalan kasih (1 Korintus 13:1). Karena, seperti ditunjukkannya dengan sangat mengesankan di bab 13, karunia yang kecil maupun besar suatu hari akan lenyap. Tetapi kasih abadi. Paulus mungkin mengungkapkan panggilan yang luar biasa terhadap kasih ini karena ia mengetahui bahwa kasih itu secara murni ditujukan kepada orang lain dan akan menjadi kekuatan yang memberi semangat untuk mencari karunia-karunia yang membangun orang lain. Karena itu "kejarlah kasih itu dan usahakanlah dirimu memperoleh karunia-karunia Roh, terutama karunia untuk bernubuat" (1Kor. 14:1).

Hakikat, Fungsi, dan Manfaat Bahasa Roh dalam Jemaat Korintus
Sekarang kita sudah siap untuk membahas secara khusus hakikat, fungsi, dan manfaat relatif dari bahasa roh dan nubuat. "Bahasa roh" adalah bahasa hati, yang ditujukan kepada Allah (1Kor. 14:2). "Nubuat" adalah kata-kata Allah yang ditujukan kepada manusia untuk menasihati dan menghibur (1 Korintus 14:3). "Bahasa roh’ pada pokoknya merupakan masalah pribadi; bahasa roh ini membangun diri sendiri. "Nubuat" merupakan masalah umum, nubuat ini membangun jemaat (1 Korintus 14:4).

Paulus menegaskan perlunya dimensi pribadi dan juga dimensi umum dari karunia-karunia yang berlawanan tersebut ketika ia mengungkapkan harapannya agar mereka semua memiliki karunia bahasa roh, dan kemudian segera melanjutkan harapan itu dengan harapan yang lebih besar, "tetapi lebih daripada itu, supaya kamu bernubuat" (1 Korintus 14:5). Pengalaman pribadi yang menggairahkan, khususnya dalam keakraban hubungan doa seseorang dengan Allah, tidak seharusnya ditolak ("Janganlah melarang orang yang berkata-kata dengan bahasa roh" – 1Kor. 14:39). Paulus mengetahui nilainya dari pengalaman pribadi (1Kor. 14:18). Dalam konteks ibadah jemaat sekalipun, bahasa roh ini bisa bermanfaat jika dijelaskan melalui penafsiran (1 Korintus 14:5) sehingga orang-orang lain dapat "dibangun" (1Kor. 14:16-17). Karena "bahasa roh" itu dikenal sebagai karunia Roh dan diberikan oleh Roh Allah, Paulus dapat mengatakan, "Aku suka, supaya kamu semua berkata-kata dengan bahasa roh." Ini akan merupakan bukti bahwa Roh bekerja di dalam diri mereka. Walaupun demikian, prinsip pelaksananya (yaitu demi kebaikan orang lain) membawanya tanpa syarat kepada pilihan terhadap pemberitaan nubuat, "Tetapi dalam pertemuan jemaat aku lebih suka mengucapkan lima kata yang dapat dimengerti untuk mengajar orang lain juga, daripada beribu-ribu kata dengan bahasa roh" (1 Korintus 14:19).

Kesimpulan: Membangun Sikap yang Tepat Terhadap Fenomena Bahasa Roh
Analisa di atas membawa kita pada ringkasan kesimpulan sebagai berikut: Tidak satupun karunia Roh bersifat mutlak; hanya kasih yang mutlak. Karena itu, memiliki atau menggunakan karunia yang manapun bukan merupakan tanda kedewasaan rohani. Seseorang yang beriman harus terbuka terhadap karunia Roh dan jika mereka menerimanya, mereka harus menggunakannya dengan rasa syukur dan rendah hati. Setiap pencarian karunia tertentu secara sungguh-sungguh harus dipimpin oleh keinginan untuk melibatkan diri dalam membangun jemaat sehingga seluruh umat Allah benar-benar dapat menjadi alternatif ilahi bagi masyarakat manusia yang sudah rusak. Dan di atas itu semua, kasih harus menjadi prioritas utama bagi jemaat untuk dikejar, dimiliki, dan dipraktekkan di dalam berjemaat.
Dengan demikian, dalam kaitan lebih khusus berbicara mengenai bahasa roh, setiap orang Kristen seharusnya sadar bahwa tidak pada tempatnya meletakkan bahasa roh sebagai sebuah "karunia yang mutlak" dan "harus dimiliki" oleh orang Kristen yang hidup dipenuhi Roh Kudus. Buah Roh lebih utama daripada karunia Roh, karena itu kasih harus menjadi yang utama dalam praktek pengembangan karunia dalam bergereja. Dalam prakteknya, kelompok-kelompok yang menekankan bahasa roh sebagai pengalaman yang dapat dilatih dan "ditransfer" (impartasi) jelas tidak sejalan dengan kebenaran Alkitab, di mana bahasa roh adalah sebuah "karunia" yang diberikan Allah di dalam kewenangan prerogatif-Nya. Di sisi lain, setiap orang Kristen, apapun kelompoknya, tidak perlu merasa curiga, memusuhi, apalagi melarang praktek ibadah dengan bahasa roh, sebelum mereka benar-benar yakin akan kebenaran praktek itu (di dalam terang Alkitab sebagai Firman Tuhan).


Solus Christus