23 April 2008

Krisis Ekologi Global:
Sebuah Tantangan bagi Kepemimpinan Kristen
Untuk Para Pejuang Kelestarian Alam pada Peringatan Hari Bumi Sedunia


Pendahuluan
Masalah krisis alam/lingkungan hidup manusia adalah masalah manusia modern yang bersifat global/universal. Ketika perhatian manusia diarahkan kepada kondisi bumi sebagai lingkungan hidup manusia dalam beberapa dekade terakhir ini, mau tidak mau membawa seluruh umat manusia di bumi ini kepada keprihatinan yang semakin dalam. Kerusakan alam atau lingkungan hidup manusia tidak saja telah menurunkan kualitas hidup manusia, tetapi juga sudah mencapai taraf yang sedemikian mengancam kehidupan umat manusia sendiri.
Di dalam skala dunia, masalah lingkungan hidup yang paling krusial dapat dikategorikan di dalam tiga hal.[1] Yang pertama adalah pemanasan global (global warming), yaitu kejadian meningkatnya temperatur rata-rata atmosfer, laut dan daratan bumi, yang disebabkan terutama oleh efek rumah kaca. Efek rumah kaca terjadi karena meningkatnya kandungan gas-gas CO2 (terutama dari sisa pembakaran bahan dari minyak bumi), metanol, CFK (Chloor [klor]-Fluor-Kool [arang]), dan menipisnya ozon (O3) pada lapisan troposfir (10 km dari permukaan tanah). Kadar campuran gas-gas ini terus ditambah dengan pengotoran udara oleh oksida pelemas (NOx) dan penggunaan zat organik mudah menguap (VOS). Secara sederhana, kondisi efek rumah kaca adalah pantulan panas sinar matahari ke bumi terbendung oleh campuran gas-gas di atas, sehingga panas di lapisan troposfir (di mana manusia hidup) terus meningkat. Maka, akibat-akibat krisis lingkungan hidup yang lain akan segera menyusul; seperti perubahan iklim, naiknya permukaan air laut karena es di kutub yang mencair, dan juga gangguan kesehatan yang serius bagi manusia. Kondisi pemanasan global ini masih terus diperparah oleh bocornya lapisan ozon yang melindungi mahluk hidup di bumi dari bahaya sinar ultraviolet matahari.
Masalah lingkungan yang krusial selanjutnya adalah penggundulan dan perusakan hutan secara massal, serta erosi tanah. Hutan-hutan tropis merupakan stabilisator atas iklim di bumi ini. Dengan semakin menipisnya ”paru-paru” bumi ini, maka semakin banyak terjadi kekacauan iklim di dunia. Di daerah tertentu akan mengalami kekeringan yang panjang. Sedangkan di belahan dunia yang lain akan mengalami banjir yang besar.[2] Ancaman yang lain dari kondisi hutan tropis yang menipis adalah erosi tanah yang berujung kepada meluasnya daerah gurun pasir. Menghilangnya hutan-hutan tropis ini terjadi sangat cepat. Sebagai contoh, belum lama ini masih terdapat sekitar 62.000 km2 hutan hujan tropis di Madagaskar. Kini luas hutan tersebut tinggal seperempatnya saja. Di Filipina, hutan seluas 250.000 km2, saat ini menjadi kurang 12.000 km2 saja. Bahkan di Brazil Timur, hutan yang dulunya seluas 1 juta km2 kini tinggal 2 persennya.[3]
Permasalahan lingkungan hidup yang krusial lainnya adalah masalah polusi. Perkembangan industri-industri besar di berbagai kota di dunia telah melahirkan masalah limbah yang mencemari baik udara, tanah, maupun air. Demikian juga dengan penggunaan bahan-bahan kimia yang digunakan untuk produk-produk massal yang menunjang kenyamanan hidup manusia, akhirnya malah membawa dampak kerusakan dan pencemaran bagi lingkungan. Norman L. Geisler mencatat beberapa data ilmiah mengenai dampak pencemaran bahan-bahan kimia ke dalam lingkungan manusia: 70% dari orang-orang Amerika, dan 90% dari anak-anak, membawa lebih banyak timah dalam tubuh mereka dari ambang batas yang disampaikan Environmental Protection Agency (Agen Perlindungan Lingkungan). Sepuluh ribu orang mati setiap tahunnya karena terkena racun pestisida dan empat puluh ribu orang menjadi sakit. Belum lagi masalah sampah dari limbah rumah tangga. Sepertiga dari seluruh sampah rumah tangga berasal dari bahan pembungkus makanan (yang sulit didaur ulang). Rata-rata orang Amerika membuang lima pon sampah setiap harinya. Sejak tahun 1960, Amerika Serikat telah menutup 3.500 daerah tempat penimbunan sampah.[4]
Dari semua bentuk krisis lingkungan hidup tersebut di atas, pemanasan global (Global Warming) adalah satu bentuk krisis ekologi yang paling membawa kecemasan bagi dunia saat ini. Pada tanggal 3-14 Desember 2007 yang lalu badan PBB, United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCC), menyelenggarakan Konferensi Perubahan Iklim PBB (United Nation Conference for Climate Change) di di Bali International Convention Center (BICC), Hotel The Westin Resort, Nusa Dua, Bali. Disamping diikuti oleh sekitar sembilan ribu peserta dari 186 negara, konferensi kali ke-13 yang diadakan UNFCC ini juga melibatkan sekitar tiga ratus LSM internasional. Lepas dari hasil-hasil konferensi yang dinilai banyak kalangan secara pesimistis, konferensi lanjutan dari Protokol Kyoto[5] yang membahas penanggulangan efek rumah kaca ini menunjukkan kecemasan global dari seluruh umat manusia terhadap krisis lingkungan hidup, khususnya pemanasan global.

Krisis Ekologi: Tanggung Jawab Siapa?
Melihat kondisi alam yang sedemikian rusak, sebagai umat-Nya yang ditempatkan hidup di atas bumi ini, seharusnya kita bertanya kepada diri kita, “sejauh mana kita, sebagai gereja Tuhan (umat Tuhan) telah berperan mencegah kerusakan alam ini?” Apakah gereja atau kekristenan selama ini telah memberikan sikap dan perilaku alternatif dan produktif di dalam memandang dan memperlakukan alam atau lingkungan hidup? Atau malah sebenarnya pemikiran dan tindakan kristiani kita selama ini telah memberikan kontribusi yang besar bagi kerusakan alam yang kita diami?
Sayangnya, baik di dalam ranah konseptual maupun dalam perilaku praktis, sikap hidup kekristenan terhadap lingkungan hidup seringkali malah menuai kritik. Lynn White Jr., seorang sarjana dari University of California, Los Angeles, bahkan sempat menyampaikan tuduhannya bahwa seluruh masalah (krisis) lingkungan hidup yang dihadapi dunia saat ini disebabkan oleh teologi penciptaan Yahudi-Kristen, yang pada gilirannya mendorong perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern yang bersifat eksploitatif dan merusak alam.[6] Lepas dari keabsahan tuduhan ini yang segera dapat ditepis oleh para teolog dan pemikir Kristen,[7] tuduhan ini mengindikasikan kecurigaan banyak pihak akan pengaruh teologi atau etika Kristen terhadap tindakan eksploitatif negara-negara Barat terhadap alam. Atau paling tidak, di dalam aspek perilaku sehari-hari, kerusakan lingkungan hidup yang terjadi saat ini menunjukkan “kegagapan” gereja (dan para pemimpin Kristen) di dalam menjawab tantangan dunia (dalam hal ini krisis lingkungan global).
James A. Nash, Executive Director dari Churches’ Center for Theology and Public Policy di Washington D. C., di dalam artikelnya yang berjudul “Toward the Ecological Reformation for Christianity” mengatakan:
In most mainstream Christian traditions, the ecosphere is still perceived theologically and ethically trivial, as the scenery or stage for the divine-human drama, which alone has redemptive significance. Nature is seen as a composite of “things,” “raw materials,” or “capital assets,” that have only instrumental value for human economic production and consumption, without regard for the fact that these “objects” are also an astonishing diversity of “subject” struggling for sustenance and space in complex interdependency. Humakind is viewed as an ecologically segregated species, designed for managerial mastery and possesed with an ultimately sanctioned right to exploit nature’s bount, with the only restriciton being not to harm other humans . . . Dualism and anthropocentrism remain as prime characteristics of most contemporary Christian theological perspectives in the churches and academies.[8]
Dari pendapat James Nash di atas, kita dapat melihat bahwa kebanyakan orang Kristen masih memiliki pandangan dan tradisi etis-teologis yang menganggap remeh alam dan lingkungan hidup. Alam atau lingkungan hidup hanya dilihat sebagai “latar” dari drama penebusan manusia. Dengan kata lain, lingkungan hidup dianggap tidak punya signifikansi yang khusus dalam relasi antara Allah Sang Penebus dan umat tebusan. Cara pandang yang demikian tentu sedikit banyak akan berdampak pada “kemandulan” gereja dan umat Tuhan untuk peduli terhadap krisis ekologi di sekitarnya. Gereja seringkali terlihat begitu antusias di dalam masalah-masalah kemanusiaan, sehingga mampu mengaitkan segala gerak langkahnya dengan doktrin-doktrin dasar gereja, seperti karya penebusan Allah dan keselamatan manusia. Namun gereja seolah tidak memiliki “amunisi” untuk “membidik” panggilan konservasi alam dan lingkungan hidup, yang sebenarnya secara utuh sudah diamanatkan Allah sejak penciptaan (Kej. 1:28-31). Karena itu, Nash melihat bahwa pandangan etis-teologis gereja terhadap ekologi harus mengalami reformasi; yaitu reinterpretasi doktrin dan rekonsepsi etika lingkungan hidup (ecological-ethics) Kristen.[9]
Jelas bahwa kerusakan alam yang terjadi secara global ini adalah akibat “dosa global” yang dilakukan seluruh umat manusia di muka bumi ini. Namun permasalahannya adalah sebagai umat Tuhan, apakah setiap orang Kristen tidak memiliki pertanggung-jawaban yang khusus kepada Allah atas rusaknya alam ini? Jawaban dari pertanyaan retoris ini jelas, bahwa setiap orang Kristen memiliki tanggung jawab yang lebih, karena Alkitab (terutama Perjanjian Lama) telah menyatakan mandat Allah bagi manusia yaitu menguasai dan mengayomi ciptaan yang lain sebagai wakil Allah (badk. Kej. 1:26-28). Jadi krisis lingkungan hidup global sudah seharusnya membawa setiap umat Tuhan untuk mengevaluasi perannya bagi konservasi lingkungan hidup, dan selanjutnya mengambil tindakan konkrit untuk mengaktualkan peran tersebut.
Sebagaimana judul sub-bab ini, “siapa yang harus bertanggung jawab dan mengambil peran positif di tengah krisis ekologi global ini?” Jawabannya adalah kita, anak-anak-Nya yang memiliki potensi dan kesempatan bagi kepemimpinan di masa depan.

Meletakkan Permasalahan dengan Tepat
Di atas telah disinggung, beberapa kalangan (baik para pemikir maupun kalangan awam) selama ini memiliki “kecurigaan” terhadap teologi Kristen (yang bersumber dari Alkitab) yang dianggap sebagai akar permasalahan krisis ekologi yang terjadi saat ini. Etos kerja Protestan yang mendorong semangat kapitalisme di dunia Eropa dan Barat telah dianggap mendorong terjadinya eksplotasi alam secara masif dan besar-besaran. Namun, apakah benar akar dari semua kerusakan alam ini adalah teologi Alkitab (terutama PL) yang bersifat antroposentris dan tidak mempedulikan ciptaan Allah yang lain? Beberapa data berikut segera akan menepis tuduhan seperti di atas.
(1) Di Filipina, yang merupakan negara dengan penduduk mayoritas Kristen atau Katholik, mengalami kerusakan alam dan akan menjadi gurun permanen jika tidak ada usaha-usaha bersama oleh berbagai institusi, khususnya pemerintah.[10] Pada tahun 1900, 70% wilayah Filipina adalah hutan dan yang tersisa sekarang hanya 16%.[11]
(2) Namun di negeri Thailand yang tadinya kaya sumber alam seperti hutan, air, dan tanah subur, tetapi sudah di ambang kepunahan.[12] Padahal 90 % penduduk Thailand menganut agama Buddha – agama yang sangat menekankan penghargaan alam semesta.
(3) India juga mengalami masalah kerusakan alam yang parah. (Kota Mumbay, misalnya, termasuk salah satu kota terpolusi di dunia). Mayoritas penduduk India adalah beragama Hindu, yang juga sangat menekankan penghormatan terhadap makhluk dan alam semesta. Mahatma Gandhi, misalnya, dengan sangat tepat mengatakan, “Bumi cukup menyediakan kebutuhan semua orang tetapi tidak cukup menyediakan untuk ketamakan setiap orang.”[13]
(4) Indonesia sudah sejak lama mengalami kerusakan alam yang amat parah. Negara ini merupakan Negara yang berpenduduk muslim terbesar di dunia. Dr Abdullah Oma Nassaf, Sekretaris Jenderal Muslim World League (Liga Dunia Muslim) pernah mengatakan:
Esensi ajaran Islam adalah bahwa seluruh alam semesta adalah ciptaan Allah. Bagi Muslim, peran manusia di bumi adalah sebagai seorang khalifa. Kita adalah penatalayan dan agen perubahan di bumi ini. Bumi ini bukanlah milik kita dan melakukan apa yang kita inginkan. Kesatuan, kepenatalayanan dan pertanggung-jawaban adalah tiga konsep dasar etika lingkungan hidup Islam.”[14] Nabi Muhammad sendiri pernah mengatakan, “Bumi ini hijau dan indah dan Allah telah mengangkat engkau untuk merawatnya.”
Semua catatan di atas sudah cukup menggambarkan bahwa kerusakan alam dapat terjadi di manapun, bahkan di belahan dunia dengan falsahah hidup dan tradisi yang luhur (yang membela alam semesta) sekalipun. Jadi permasalahannya jelas bukan pada ranah teoritis, melainkan dalam ranah praktis-etis. Karena itu, melemparkan kesalahan kepada teologi Kristen dan menganggapnya sebagai “biang” dari tindakan eksploitasi alam yang masif adalah sebuah tuduhan tanpa dasar empiris.
Dari sudut pandang teoritis, sebenarnya teologi Kristen yang bersumber dari Alkitab tidak pernah memberikan “ruang” pembenaran bagi tindakan eksploitasi alam, sekecil apapun itu. Tulisan ini hanya akan menjadi bahan perenungan (refleksi) bagi para peserta Kamp Regional Bersama Perkantas Jawa Timur, 21-24 Agustus 2008 ke depan. Karenanya, pembahasan mengenai aspek teologis dari panggilan umat Allah untuk memelihara (baca: konservasi) alam tidak akan diuraikan secara terperinci dalam tulisan ini. Beberapa prinsip teologis berkenaan dengan relasi manusia dan alam semesta yang dinyatakan di dalam Alkitab dapat digambarkan sekilas sebagai berikut.
Yang pertama, mandat penguasaan atas bumi (alam semesta) yang diemban manusia (khususnya umat Tuhan) yang tercatat di dalam Kejadian 1:26-28 bukanlah dasar teologis bagi siapapun untuk mengeksploitasi alam ini secara tidak bertanggung jawab. Kita dapat memahami mandat “menguasai dan menaklukkan” sebagaimana dalam Kejadian 1:26-28 ini dengan memperhadapkannya pada kepemilikan Allah atas bumi dan segala isinya seperti dalam Mzm 24:1: “Tuhanlah yang empunya bumi serta segala isinya, dan dunia serta yang diam di dalamnya.” Memang kita menemukan dalam bagian Alkitab yang lain yang menyatakan bahwa Allah memberikan bumi kepada manusia. Misalnya, dalam Mzm 115:16 dikatakan “Langit itu langit kepunyaan Tuhan, dan bumi itu telah diberikanNya kepada anak-anak manusia.” Tetapi harus ditegaskan bahwa Allah tidak memberikannya kepada kita sedemikian tuntas, sehingga Ia sama sekali tidak punya otoritas atau kontrol lagi atasnya. Bumi ini diberikan kepada manusia dan manusia mengemban tanggung jawab untuk “menguasainya” sebagai rekan sekerja-Nya.
Prinsip kedua yang harus kita pegang adalah bahwa manusia menguasai alam semesta ini sebagai gambar Allah. Keberadaan manusia sebagai gambar Allah sedikitnya mengandung pengertian bahwa: (1) Manusia diberi karunia memiliki sifat-sifat Allah yang mengasihi, mencintai yang baik, mencintai kehidupan. Itu berarti bahwa dalam menaklukkan dan menguasai, manusia melakukannya atas nama Allah dan seperti cara Allah memperlakukan ciptaan-Nya; (2) Manusia adalah wakil Allah di dalam mengusahakan “kebaikan” ciptaan Allah. Dalam hal ini, menguasai berarti memperlaku-kan ciptaan-Nya sedemikian rupa agar ia tetap baik sebagaimana Tuhan menghendakinya (kualitas ciptaan yang “baik” [Ibrani: tov] diulang sebanyak tujuh kali). Sebagai “gambar Allah” tugas utama manusia adalah mencerminkan kemuliaan dan kebaikan Allah di dalam segala aspek hidupnya, termasuk di dalam mencerminkan kuasa Allah di dalam kualitas kebaikan semesta. Hanya Dia yang layak menerima pujian dari segala yang bernafas (Mzm 150:6); (4) Catatan berikutnya yang tak kalah penting di balik konsep berkuasa ini adalah agar manusia jangan menyembahnya, sebab hanya Allah yang patut disembah. Dengan adanya pengakuan bahwa Tuhan adalah Pencipta dan Raja yang menguasai seluruh ciptaan-Nya, maka tugas manusia “menguasai” dan “mengusai” bumi adalah seperti cara Allah menguasainya yaitu dengan merawat, memelihara, serta menjaga kualitas kebaikannya.
Prinsip ketiga yang perlu kita pahami adalah bahwa di balik perintah berkuasa atas alam ciptaan Allah yang lain ini, Allah sedang menunjukkan kuasa-Nya untuk memelihara hidup manusia. Dengan demikian, penguasaan alam atau ciptaan Allah yang lain harus dibatasi sebagai sarana pemeliharaan Allah untuk kebutuhan makanan (hidup) manusia. Cara pandang konsumerisme humanistik, di mana alam dilihat sebagai “modal” yang siap untuk dieksploitasi tanpa batas adalah “penaklukkan” alam di luar koridor yang telah Allah tetapkan.
Prinsip keempat yang tak kalah penting di dalam kita memahami tanggung jawab manusia untuk memelihara ciptaan Allah yang lain adalah bahwa alam menempati posisi yang unik di dalam relasi antara Allah dan manusia. Di dalam Perjanjian Lama konsep terdapat sebuah kerangka ecological-theology (teologi yang memperhatikan signifikansi ciptaan lain di dalamnya) atau ecological ethics (etika yang menempatkan kelestarian alam sebagai sesuatu yang penting). Konsep ini menjelaskan bahwa antara Allah, manusia, dan alam semesta terdapat relasi perjanjian yang unik. Dalam relasi yang tergambar jelas dalam PL ini alam tidak hanya ditempatkan sekadar sebagai “komoditi” untuk kepentingan manusia yang antroposentris, melainkan sebagai “meterai” ikatan perjanjian (covenant) antara Allah dan umat pilihan-Nya. Tidak ada ruang untuk menjelaskan konsep ini lebih detil dan utuh dalam tulisan ini. Namun secara ringkas konsep ini dapat disimpulkan bahwa alam semesta memiliki peran sebagai “barometer” relasi antara manusia (umat pilihan-Nya) dengan Allah.
Dari pemaparan di atas, jelas sekali bahwa masalah kerusakan lingkungan hidup bukan berakar pada “kerusakan” teologi Alkitab. Alkitab bahwa dengan utuh menegaskan bahwa alam semesta merupakan alat Allah untuk menyatakan kemuliaan-Nya. Dan peran manusia adalah menjaga kelestarian dan kebaikannya demi kemuliaan Allah. Lalu, apa yang menjadi masalah dari umat Kristen sendiri? Di sinilah perlu ditegaskan bahwa masalah utamanya adalah etika praktis. Meminjam istilah tokoh Teologi Pembebasan, Gustavo Guttierez, ”teologi” Kristen yang jelas-jelas mendorong pelestarian alam belum terwujud menjadi ”teopraksis.” Dari penelitian kecil yang penulis sempat lakukan di tahun 2006 terhadap beberapa gereja injili di sekitar Malang dan Batu, terdapat indikasi kuat bahwa jemaat kurang mendapatkan penjelasan dan pembinaan, baik secara teologis maupun etis-praktis, akan pentingnya konservasi alam. Maka ”wajar” jika saat ini kita sangat kesulitan menemukan kader-kader Kristen yang peduli dan berjuang bagi kelestarian lingkungan hidup. Gereja pun sangat kurang memberikan perhatian pada misi pelayanan dalam aspek ini.

Refleksi
Krisis ekologi yang terjadi saat ini seharusnya mendesak seluruh umat Tuhan untuk membangun sikap hidup yang mendorong pada langkah-langkah konkrit yang setidaknya memperlambat kerusakan alam yang lebih parah. Bagi mahasiswa Kristen, yang notabene adalah para calon pemimpin potensial bagi gereja, krisis ekologi adalah sebuah tantangan bagi kepemimpinan gereja di masa mendatang. Pertanyaan-pertanyaan ini patut kita treungkan: (1) Tindakan umat Tuhan apa sajakah pada saat ini yang mencerminkan pengakuan bahwa Allah pemilik bumi dan segala isinya dan mana yang menunjukkan pengabaian kepemilikan Allah atas bumi dan isinya? (2) Upaya-upaya konkret apa yang dapat Anda lakukan sebagai bagian dari Gereja dan umat Kristen, yang mampu merawat alam ciptaan dan milik Tuhan?



Great are the works of the Lord; they are pondered by all who delight in them (Psalm 111:2).
Yusuf Deswanto




[1]Sinode Am Gereja Hervormd Belanda (NHK), Taman Eden itu Semakin Tandus (terj. S. L. Tobing-Kartohadiprojo; Jakarta: Gunung Mulia, 1994) 97. Pengelompokkan ini bukan sesuatu yang baku, karena beberapa sumber lainnya menggunakan kategori yang lain. An Evangelical Declaration on the Care of Creation mencatat tujuh degradasi kondisi alam (dalam R. J. Berry, ed., The Care of Creation [Leicester: Inter Varsity, 2000] 18). Bdk. juga Michael S. Northcott, The Environment and Christian Ethics (Cambridge: Cambridge University Press, 1996) 2-28.
[2]Northcott, The Environment 14-20.
[3]Sinode Am NHK, Taman Eden itu 99.
[4]Christian Ethics: Options and Issues (Grand Rapids: Baker, 1989) 293.
[5]Protokol Kyoto adalah sebuah amandemen terhadap Konvensi Rangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC), sebuah persetujuan internasional mengenai pemanasan global. Nama resmi persetujuan ini adalah Kyoto Protocol to the United Nations Framework Convention on Climate Change (Protokol Kyoto mengenai Konvensi Rangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim). Persetujuan ini dinegosiasikan di Kyoto pada Desember 1997, dibuka untuk penanda tanganan pada 16 Maret 1998 dan ditutup pada 15 Maret 1999. Negara-negara yang meratifikasi protokol ini berkomitmen untuk mengurangi emisi/pengeluaran karbon dioksida dan lima gas rumah kaca lainnya, atau bekerja sama dalam perdagangan emisi jika mereka menjaga jumlah atau menambah emisi gas-gas tersebut, yang telah dikaitkan dengan pemanasan global. Saat ini hanya Amerika Serikat, sebagai satu-satunya negara industri yang belum bersedia meratifikasi Protokol Kyoto.
[6]Tulisan berjudul “The Historical Roots of Our Ecological Crisis” ini dicetak dan diterbitkan berkali-kali oleh berbagai media yang menyoroti masalah krisis lingkungan hidup. Yang pertama oleh D. & E. Spring, Ecology and Religion in History (eds. New York: Harper and Row, 1974); yang terbaru dicetak ulang dalam diskusi para tokoh injili, R. J. Berry, The Care of Creation: Focusing Concern and Action (Downers Grove: InterVarsity, 2000) 31.
[7]Salah satu tanggapan yang baik terhadap tuduhan ini disampaikan oleh sarjana Katholik, Martin Harun dalam tulisan eseinya, “’Taklukkanlah Bumi dan Berkuasalah . . .’: Alkitab Ibrani dan Dampaknya untuk Lingkungan Hidup,” Jurnal Pelita Zaman 13/2 (November 1998-April 1999) 86-112.
[8]Interpretation 50/1 (January 1996) 5-6.
[9]Ibid. 7-10.
[10]Sebagaimana dikutip Victor Tinambunan (http://victor-tinambunan.blogspot.com/%20search/label/%20EKOLOGI) dari Nathan and Martha Knol, eds., Church, Environment and Development in Asia: A Report of the Workshop on Environment and Development: Church Response to Environment in Asia (Shatin, Hongkong: CCA, 1995), 30
[11]Per Larson, Your Will Be Done on Earth: Ecological Theology for Asia; An Ecumenical Textbook for Theological School (Hong Kong: CCA, 2004), 13.
[12]Natan and Martha, Church, 17.Krisis Ekologi Global: