05 October 2008

(Bukan) Gereja Di Atas Awan
“… Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku...“
(Mat. 25-40)


Reformasi gereja tidak berhenti pada sebuah titik sejarah. Gereja harus terus berbenah melampaui titik catatan sejarah pembaharuan gereja itu sendiri. 31 Oktober 1517, Martin Luther menempelkan 95 dalil pembaharuan di gerbang Gereja Wittenberg, menandai babak baru yang kemudian disebut Reformasi Gereja.

Lebih 6 abad roda reformasi bergulir. Jika kita merenungkan semangat reformasi dan bercermin pada catatan Kisah Para Rasul 2:44-47, kita patut bertanya, “apakah gereja sudah mendekati garis akhir dari perubahan transformatifnya?” John Stott dalam bukunya The Living Church, menuliskan bahwa gereja mempunyai identitas ganda. Di satu sisi gereja dipanggil keluar dari dunia untuk menjadi milik Allah. Namun di sisi lain gereja diutus kembali ke dunia untuk menjadi saksi dan melayani. Yang menarik, Stott menegaskan bahwa gereja mempunyai misi sebagaimana misi Kristus, yaitu misi inkarnasional. Seperti Kristus yang masuk dunia kita untuk melayani kita tanpa harus kehilangan identitasnya, demikian gereja seharusnya masuk ke dalam dunia (yang miskin) untuk melayani kaum melarat, tanpa harus kehilangan identitasnya. Gereja masa kini dipanggil untuk masuk dalam realitas sosial masyarakat yang menjadi konteks eksistensinya tanpa harus merubah esensi Injil sebagai berita utamanya.

Mereformasi peran gereja dalam konteks kemiskinan adalah tugas semua orang percaya sebagai organ terkecil Tubuh Kristus. Masih ingat di benak kita bagaimana orang rela berdesakan bahkan sampai meregang nya-wa demi untuk zakat sekitar Rp. 30.000,- . Itulah potret kemiskinan yang nyata di depan mata kita, gereja-Nya di Indonesia. Ibarat jauh panggang dari api, gereja di Indonesia tak pernah puas mempercantik dirinya sendiri. Harus diakui, meski ada sebagian gereja mulai mengambil peran inkarnasional Kristus, secara umum gereja di Indonesia masih menjadi “gereja di atas awan.” Gereja masih membangun spiritualitasnya tak lebih sebagai ritualitas di atas awan-awan, sehingga tidak menyentuh transformasi bagi kemiskinan.
Tengok saja berita Firman Tuhan yang disampaikan lewat mimbar-mimbar gereja. Bukankah tema-tema yang terlalu vertikalis lebih mendominasi daripada tema-tema peran inkarnasional umat di tengah masyarakat? Maka jangan tanya, kemana mayoritas anggaran gereja selama ini dihabiskan. Pembangunan gedung dengan symbol-symbol keangkuhannya, berbagai ritual ibadah yang penuh selebrasi, dan tidak adanya wahana pelatihan jemaat untuk bersentuhan dengan lingkungan sosialnya menunjukkan gereja lebih menikmati comfort zone-nya di atas awan-awan.

Berdasarkan panggilan Kristus Sang Kepala Gereja; “Sama seperti Bapa mengutus Aku, demikian juga sekarang Aku mengutus kamu” (Yoh. 20:21), gereja harus segera mengarahkan pertumbuhan dan reformasinya kapada misi yang kon-krit. Kemiskinan kronis di tengah bangsa ini seharusnya membangkitkan misi gereja yang berorientasi padabelas kasihan Kristus yang telah dinyatakan bagi gereja itu sendiri. Gereja harus turba (turun ke bawah) dan berinkarnasi dengan masyarakat yang melarat, untuk kemudian menyatakan kasih Kristus secara nyata. Diawali dari gerakan dari mimbar, beranjak pada tindak nyata gereja lokal dan gerekan lintas gereja harus mereformasi semangat inkarnasionalnya pada dunia. Jika tidak, gereja akan tetap menjadi “Gereja di atas Awan.” Soli Deo Gloria.


Selamat Hari Memperingati Hari Reformasi Gereja - 31 Oktober 2008

30 September 2008

Liquid Christians
[Orang-orang Kristen yang Cair]


Salah satu fenomena yang patut kita amati di tengah kehidupan bergereja saat ini adalah munculnya “orang-orang Kristen yang cair” (the liquid christians). Apa yang dimaksud dengan orang Kristen yang cair? Tentu saja istilah ini tidak terkait dengan masalah fisika atau tentang materi (zat) penyusun yang padat atau cair. Istilah ini diambil untuk menunjukkan betapa sulitnya generasi Kristen dewasa ini utuk mengambil komitmen yang total kepada satu gereja lokal. Istilah yang dulu sering digunakan untuk orang Kristen yang enggan mengabdi pada satu gereja adalah “kekristenan kutu loncat.” Ada juga seorang saudara seiman mengusulkan istilah untuk orang Kristen semacam ini dengan istilah “Kristen yang suka jajan.” Mempertimbangkan etestika dan etika bagi perspektif pembaca, maka dalam tulisan singkat ini digunakanlah istilah “orang Kristen cair.”

Ciri pertama dari orang Kristen cair adalah sulitnya bagi mereka untuk berkomitmen pada salah satu gereja lokal. Cara pandang mereka dalam berjemaat bukanlah berangkat dari sudut pandang “apa yang bisa aku persembahkan kepada Allah melalui di tengah jemaat ini?” Melainkan, “apa yang bisa aku dapat dan nikmati dari gereja ini” Ciri lain dari kekristenan cair adalah keengganan mereka dalam pengajaran-pengajaran firman Tuhan yang solid dan membutuhkan ketekunan. “Kalau sepanjang minggu kita telah dilelahkan oleh pekerjaan dan aktivitas keseharian kita, mengapa kita harus ke gereja dan berpikir yang sulit-sulit?” demikian seringkali mereka berujar. “Kita ke gereja kan untuk menenangkan pikiran, alias refreshing rohani?” demikian argumen yang sering dicetuskan orang-orang Kristen cair. Tak heran, gereja di zaman ini tak ubahnya seperti mall rohani bagi kekristenan cair.

Harus diakui generasi Kristen zaman ini telah berkubang di dalam budaya populer terlalu dalam, sehingga mereka sendiri tidak sadar akan pijakan budaya yang mereka anut. Agak sulit memang mendefinisikan apa itu “budaya populer.” Lebih mudah bagi kita untuk mendeteksi gejalanya. Salah satu gejala dari kebudayaan populer (populer culture) adalah semangat hidup yang menekankan perasaan dan selera. Apa yang lebih “menyentuh” selera seseorang menjadi penentu pilihan-pilihan hidupnya. Media TV telah begitu apik mengemas pop culture, sehingga Sebuah pilihan yang seharusnya didasarkan pada kerangka pikir (iman) seseorang, malah diarahkan pada selera perasaan kita. Sebagai contoh, sebuah iklan rokok mengangkat sebuah motto hidup budaya populer: “enjoy aja.” Motto ini cukup mewakili apa yang diusung oleh budaya populer yaitu semangat hidup pragmatisme; yang penting having fun (senang-senang) dan nggak perlu susah-susah.

Bisa dibayangkan, jika budaya dan cara pikir yang seperti ini yang dianut orang Kristen abad ini, maka semakin sulit pula bagi mereka untuk membangun komitmen hidup yang utuh. Ibarat membeli makanan fast food (cepat saji), orang Kristen (khususnya anak muda) saat ini lebih memilih untuk menikmati ibadah sebagai sebuah entertainment (hiburan) rohani daripada semangat penyembahan kepada Allah. Pilihan-pilihan orang Kristen saat ini dalam bergereja lebih ditentukan oleh apa yang bisa memuaskan perasaan fun mereka, daripada sikap memberi diri bagi pembangunan tubuh Kristus di satu gereja lokal. Jika pada satu waktu mereka memilih bergereja di salah satu gereja lokal, itu lebih dikarenakan gereja tersebut mereka anggap mampu memenuhi “selera rohani” mereka. Maka pada satu waktu yang lain, jika perasaan fun mereka telah mencapai titik jenuh, dengan mudah mereka akan berpindah ke gereja lain lagi. Untuk merohanikan hal ini ungkapan yang sering digunakan adalah, “aku lebih diberkati di gereja ini dan itu.”

Cara berjemaat kekristenan cair seperti ini jelas bukan apa yang diajarkan Alkitab. Perhatikan apa yang disaksikan Lukas dalam catatan Kisah Para Rasul: “Mereka bertekun dalam pengajaran rasul-rasul dan dalam persekutuan.… Dengan bertekun dan dengan sehati mereka berkumpul tiap-tiap hari dalam Bait Allah…. Dan tiap-tiap hari Tuhan menambah jumlah mereka dengan orang yang diselamatkan….” (2:44-47). Kata “bertekun” dalam bagian ini diulang dua kali untuk menunjukkan bagaimana kekristenan mula-mula dibangun di atas dasar semangat ketekunan (yang menghasilkan komitmen), dan bukan sekadar “selera rohani” jemaat mula-mula. Kita harus percaya, ketika komitmen dihindari demi kebebasan hidup, ketika tantangan dikorbankan demi merasakan kenikmatan, ketika jalan naik turun dan berliku dalam berjemaat dihindari demi mendapatkan kemudahan di jalan lurus beraspal, dan ketika pilihan didasarkan atas bisikan kepentingan pribadi, dan bukan atas kebenaran, maka potensi dan talenta manusia yang diberikan Allah tidaklah berguna dan kebenaran Firman Allah yang mutlak menjadi begitu kabur. Jika hal demikian dibiarkan, kehidupan bergereja tidak akan menghasilkan pribadi yang serupa dengan Kristus. Sekarang terserha Anda. Mau menjadi menjadi orang Kristen yang cair, ataukah orang Kristen yang kokoh di dalam komitmen?


sebuah refleksi di tengah kegelisahan menatap gereja

17 September 2008

Iklan Politik; Sebuah Komunikasi Politik
Ataukah Politik Tebar Pesona?



Perkembangan media informasi, khususnya pertelevisian beberapa waktu terakhir ini mendo-rong mesin politik dari beberapa partai mulai “mencuri start” kampanye politik dalam persiapan memasuki Pemilu 2009. Tidak bisa dipungkiri, perkembangan pertelevisian di Indonesia telah memberikan ruang yang lebih luas bagi komunikasi politik antara partai atau kandidat pemimpin politik dengan publik. Di era informasi audio-visual yang serba digital seperti sekarang ini, kampanye politik melalui iklan televisi adalah sarana komunikasi politik yang sangat efektif. Efek pesan yang kemudian dikemas dalam komputerisasi gambar dan suara melalui iklan televisi menimbulkan kesan yang tidak bisa diberikan media kampanye konvensional yang lain. Para pekerja iklan bukan sekadar mencoba menyampaikan pesan politik kepada pemirsa televisi, tetapi juga menciptakan kesan dan pencitraan partai atau tokoh politik tertentu. Citra lebih berarti daripada isi. Maka yang terjadi kemudian adalah kampanye pencitraan, dan bukan penyampaian visi konkrit dari partai atau tokoh tokoh politik yang bersangkutan.
Ketersendatan peralihan budaya komunikasi oral munuju budaya komunikasi verbal di tengah masyarakat kita menjadi salah satu pendorong suburnya “politik tebar pesona” ini. Masyarakat Indonesia masih lebih suka akan kesan dan simbol-simbol heroik yang diharapkan dapat membebaskan Indonesia dari keterpurukan, daripada memperhatikan dan mencerna visi yang matang dari para calon pemimpin mereka. Maka bisa dimaklumi jika tayangan iklan yang mempertontonkan seorang tokoh politik yang “dekat” dan “berjuang” bersama rakyat mempunyai dampak “magis” yang seolah mampu menghipnotis masyarakat. Padahal kita semua tahu bahwa apa yang ada di dalam iklan politik tersebut bisa saja sangat jauh dari realita. Dengan demikian, media telah menciptakan kesan dan citra yang manipulatif serta menyesatkan terhadap seorang tokoh politik tertentu, yang notabene sama sekali tidak pernah berperan dalam penyelesaian persoalan masyarakat.

Peran Media yang Jujur dan Cerdas
Dalam sebuah atmosfir demokrasi yang modern, tidak pernah ada yang salah dengan sebuah iklan politik. Iklan politik adalah salah satu bentuk komunikasi dan interaksi antara partai atau tokoh politik tertentu dengan masyarakat sebagai calon pemilihnya. Dalam komunikasi politik, komunikasi persuasif dari partai atau tokoh pemimpin politik kepada publik adalah sangat wajar. Bahkan propaganda politik dalam batas tertentu masih dapat diterima. Namun yang terjadi kemudian adalah ruang komunikasi politik melalui media saat ini telah menjadi semacam kisah fiksi heroik tokoh politik dalam tayangan televisi, yang tidak berkorelasi (dengan kata lain tidak “membumi”) dengan realita yang ada. Tidak salah jika dikatakan bahwa iklan politik ibarat sebuah sandiwara singkat tentang mimpi rakyat.
Media memang tidak secara langsung bertanggung jawab atas maraknya kampanye politik tebar pesona ini. Namun media memiliki tanggung jawab moral untuk memberikan pencerahan lebih lanjut kepada masyarakat mengenai visi dan program konkrit dari partai atau tokoh politik tersebut. Apa yang telah dilakukan oleh salah satu stasiun televisi nasional, yang secara berkelanjutan menayangkan program seputar pemilihan umum (termasuk pilkada), merupakan upaya cerdas untuk membumikan iklan-iklan politik di televisi menjadi lebih jelas dan realistis. Dengan menyajikan tayangan langsung (live), maka stasiun televisi ini telah menjembatani budaya komunikasi verbal yang jujur dan lugas, sehingga sejauh mungkin terlepas dari kesan manipulatif.
Kunci dari semua komunikasi politik yang sehat, apapun bentuk kemasannya, adalah kelugasan dan kegamblangan (transparansi) di dalam menyajikan profil (platform) partai atau tokoh politik. Di tengah dunia make-up, serta digitalisasi media audio-visual, setiap stasiun televisi mempunyai tanggung jawab untuk menghadirkan komunikasi politik selugas dan segamblang mungkin kepada pemirsa. Tugas media, termasuk televisi, adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Dan kecerdasan bangsa ini dalam berpolitik harus menjadi perhatian bisnis media elektronik yang sehat. Karena itu, akan sangat bijak jika seluruh media televisi nasional mulai memikirkan penayangan program cerdas yang juga mencerdaskan wawasan politik bangsa ini.

Komunikasi Politik Yang Lugas dan Alami
Di sisi lain, para penggerak mesin politik bertanggung jawab untuk membangun budaya politik yang lebih mengangkat karya daripada citra dalam komunikasi politik publik. Pencitraan mungkin tetap diperlukan. Namun pencitraan yang sehat harus dilakukan berdasar hasil nyata suatu kebijakan yang dapat dirasakan masyarakat. Jika politik pencitraan dilepaskan dari keberhasilan sang kandidat pemimpin, ia hanya sekadar menjadi instrumen untuk menjaga atau meraih kekuasaan.
Di sinilah perlu disadari bersama bahwa kepemimpinan (apalagi kepemimpinan nasional) bukanlah sebuah proses sim salabim, alias sekali jadi. Kepemimpinan perlu proses, karena waktu adalah ujian kepemimpinan yang paling baik. Saat ini banyak pihak yang merasa sudah cukup “dewasa” sehingga mereka merasa sudah siap memimpin. Dengan jargon-jargon seperti “sudah saatnya generasi muda memimpin,” mereka mencoba meyakinkan masyarakat bahwa mereka siap memimpin. Hal ini sangat berpotensi untuk menciptakan budaya politik “karbitan,” yang pada gilirannya akan melahirkan para pemimpin karbitan.
Sebagai pembanding, marilah kita melihat arena pemilihan umum di Amerika Serikat yang sedang hangat. Dari semua kandidat yang maju ke kancah kepemimpinan nasional di sana saat ini, tidak ada satupun kandidat yang tidak dikenal sejarah perjalanan politiknya. Baik dari kubu Partai Republik maupun dari Partai Demokrat, semuanya berlomba mengajukan kandidat yang memang memiliki kridibilitas politik yang tidak diragukan lagi. Komunikasi yang terus dikembangkan media dan penggerak politik di sana adalah komunikasi yang transparan, lugas dan interaktif. Sehingga yang terjadi kemudian adalah rakyat bisa membaca dengan gamblang figur-figur politik yang akan mereka pilih dalam pemilihan umum nantinya, termasuk di dalamnya gambaran bagaimana mereka akan menyelesaikan masalah-masalah yang ada di tengah masyarakat. Tidak ada politik tebar pesona, dan tidak dibangun politik karbitan di Amerika Serikat.
Media dan penggerak roda politik di Indonesia harus sadar, kepemimpinan publik di Indonesia tidak bisa terus dibangun di atas pondasi citra semata. Tidak ada kata terlambat untuk memulai kedewasaan komunikasi politik yang transparan, lugas, dan alamiah. Demikian juga seluruh masyarakat dan seluruh komponen penggerak mesin politik perlu sadar bahwa proses alamiah di dalam merebut tangga kepemimpinan politik harus dibangun dari anak tangga terbawah. Hindari etos kepemimpinan karbitan!

23 April 2008

Krisis Ekologi Global:
Sebuah Tantangan bagi Kepemimpinan Kristen
Untuk Para Pejuang Kelestarian Alam pada Peringatan Hari Bumi Sedunia


Pendahuluan
Masalah krisis alam/lingkungan hidup manusia adalah masalah manusia modern yang bersifat global/universal. Ketika perhatian manusia diarahkan kepada kondisi bumi sebagai lingkungan hidup manusia dalam beberapa dekade terakhir ini, mau tidak mau membawa seluruh umat manusia di bumi ini kepada keprihatinan yang semakin dalam. Kerusakan alam atau lingkungan hidup manusia tidak saja telah menurunkan kualitas hidup manusia, tetapi juga sudah mencapai taraf yang sedemikian mengancam kehidupan umat manusia sendiri.
Di dalam skala dunia, masalah lingkungan hidup yang paling krusial dapat dikategorikan di dalam tiga hal.[1] Yang pertama adalah pemanasan global (global warming), yaitu kejadian meningkatnya temperatur rata-rata atmosfer, laut dan daratan bumi, yang disebabkan terutama oleh efek rumah kaca. Efek rumah kaca terjadi karena meningkatnya kandungan gas-gas CO2 (terutama dari sisa pembakaran bahan dari minyak bumi), metanol, CFK (Chloor [klor]-Fluor-Kool [arang]), dan menipisnya ozon (O3) pada lapisan troposfir (10 km dari permukaan tanah). Kadar campuran gas-gas ini terus ditambah dengan pengotoran udara oleh oksida pelemas (NOx) dan penggunaan zat organik mudah menguap (VOS). Secara sederhana, kondisi efek rumah kaca adalah pantulan panas sinar matahari ke bumi terbendung oleh campuran gas-gas di atas, sehingga panas di lapisan troposfir (di mana manusia hidup) terus meningkat. Maka, akibat-akibat krisis lingkungan hidup yang lain akan segera menyusul; seperti perubahan iklim, naiknya permukaan air laut karena es di kutub yang mencair, dan juga gangguan kesehatan yang serius bagi manusia. Kondisi pemanasan global ini masih terus diperparah oleh bocornya lapisan ozon yang melindungi mahluk hidup di bumi dari bahaya sinar ultraviolet matahari.
Masalah lingkungan yang krusial selanjutnya adalah penggundulan dan perusakan hutan secara massal, serta erosi tanah. Hutan-hutan tropis merupakan stabilisator atas iklim di bumi ini. Dengan semakin menipisnya ”paru-paru” bumi ini, maka semakin banyak terjadi kekacauan iklim di dunia. Di daerah tertentu akan mengalami kekeringan yang panjang. Sedangkan di belahan dunia yang lain akan mengalami banjir yang besar.[2] Ancaman yang lain dari kondisi hutan tropis yang menipis adalah erosi tanah yang berujung kepada meluasnya daerah gurun pasir. Menghilangnya hutan-hutan tropis ini terjadi sangat cepat. Sebagai contoh, belum lama ini masih terdapat sekitar 62.000 km2 hutan hujan tropis di Madagaskar. Kini luas hutan tersebut tinggal seperempatnya saja. Di Filipina, hutan seluas 250.000 km2, saat ini menjadi kurang 12.000 km2 saja. Bahkan di Brazil Timur, hutan yang dulunya seluas 1 juta km2 kini tinggal 2 persennya.[3]
Permasalahan lingkungan hidup yang krusial lainnya adalah masalah polusi. Perkembangan industri-industri besar di berbagai kota di dunia telah melahirkan masalah limbah yang mencemari baik udara, tanah, maupun air. Demikian juga dengan penggunaan bahan-bahan kimia yang digunakan untuk produk-produk massal yang menunjang kenyamanan hidup manusia, akhirnya malah membawa dampak kerusakan dan pencemaran bagi lingkungan. Norman L. Geisler mencatat beberapa data ilmiah mengenai dampak pencemaran bahan-bahan kimia ke dalam lingkungan manusia: 70% dari orang-orang Amerika, dan 90% dari anak-anak, membawa lebih banyak timah dalam tubuh mereka dari ambang batas yang disampaikan Environmental Protection Agency (Agen Perlindungan Lingkungan). Sepuluh ribu orang mati setiap tahunnya karena terkena racun pestisida dan empat puluh ribu orang menjadi sakit. Belum lagi masalah sampah dari limbah rumah tangga. Sepertiga dari seluruh sampah rumah tangga berasal dari bahan pembungkus makanan (yang sulit didaur ulang). Rata-rata orang Amerika membuang lima pon sampah setiap harinya. Sejak tahun 1960, Amerika Serikat telah menutup 3.500 daerah tempat penimbunan sampah.[4]
Dari semua bentuk krisis lingkungan hidup tersebut di atas, pemanasan global (Global Warming) adalah satu bentuk krisis ekologi yang paling membawa kecemasan bagi dunia saat ini. Pada tanggal 3-14 Desember 2007 yang lalu badan PBB, United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCC), menyelenggarakan Konferensi Perubahan Iklim PBB (United Nation Conference for Climate Change) di di Bali International Convention Center (BICC), Hotel The Westin Resort, Nusa Dua, Bali. Disamping diikuti oleh sekitar sembilan ribu peserta dari 186 negara, konferensi kali ke-13 yang diadakan UNFCC ini juga melibatkan sekitar tiga ratus LSM internasional. Lepas dari hasil-hasil konferensi yang dinilai banyak kalangan secara pesimistis, konferensi lanjutan dari Protokol Kyoto[5] yang membahas penanggulangan efek rumah kaca ini menunjukkan kecemasan global dari seluruh umat manusia terhadap krisis lingkungan hidup, khususnya pemanasan global.

Krisis Ekologi: Tanggung Jawab Siapa?
Melihat kondisi alam yang sedemikian rusak, sebagai umat-Nya yang ditempatkan hidup di atas bumi ini, seharusnya kita bertanya kepada diri kita, “sejauh mana kita, sebagai gereja Tuhan (umat Tuhan) telah berperan mencegah kerusakan alam ini?” Apakah gereja atau kekristenan selama ini telah memberikan sikap dan perilaku alternatif dan produktif di dalam memandang dan memperlakukan alam atau lingkungan hidup? Atau malah sebenarnya pemikiran dan tindakan kristiani kita selama ini telah memberikan kontribusi yang besar bagi kerusakan alam yang kita diami?
Sayangnya, baik di dalam ranah konseptual maupun dalam perilaku praktis, sikap hidup kekristenan terhadap lingkungan hidup seringkali malah menuai kritik. Lynn White Jr., seorang sarjana dari University of California, Los Angeles, bahkan sempat menyampaikan tuduhannya bahwa seluruh masalah (krisis) lingkungan hidup yang dihadapi dunia saat ini disebabkan oleh teologi penciptaan Yahudi-Kristen, yang pada gilirannya mendorong perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern yang bersifat eksploitatif dan merusak alam.[6] Lepas dari keabsahan tuduhan ini yang segera dapat ditepis oleh para teolog dan pemikir Kristen,[7] tuduhan ini mengindikasikan kecurigaan banyak pihak akan pengaruh teologi atau etika Kristen terhadap tindakan eksploitatif negara-negara Barat terhadap alam. Atau paling tidak, di dalam aspek perilaku sehari-hari, kerusakan lingkungan hidup yang terjadi saat ini menunjukkan “kegagapan” gereja (dan para pemimpin Kristen) di dalam menjawab tantangan dunia (dalam hal ini krisis lingkungan global).
James A. Nash, Executive Director dari Churches’ Center for Theology and Public Policy di Washington D. C., di dalam artikelnya yang berjudul “Toward the Ecological Reformation for Christianity” mengatakan:
In most mainstream Christian traditions, the ecosphere is still perceived theologically and ethically trivial, as the scenery or stage for the divine-human drama, which alone has redemptive significance. Nature is seen as a composite of “things,” “raw materials,” or “capital assets,” that have only instrumental value for human economic production and consumption, without regard for the fact that these “objects” are also an astonishing diversity of “subject” struggling for sustenance and space in complex interdependency. Humakind is viewed as an ecologically segregated species, designed for managerial mastery and possesed with an ultimately sanctioned right to exploit nature’s bount, with the only restriciton being not to harm other humans . . . Dualism and anthropocentrism remain as prime characteristics of most contemporary Christian theological perspectives in the churches and academies.[8]
Dari pendapat James Nash di atas, kita dapat melihat bahwa kebanyakan orang Kristen masih memiliki pandangan dan tradisi etis-teologis yang menganggap remeh alam dan lingkungan hidup. Alam atau lingkungan hidup hanya dilihat sebagai “latar” dari drama penebusan manusia. Dengan kata lain, lingkungan hidup dianggap tidak punya signifikansi yang khusus dalam relasi antara Allah Sang Penebus dan umat tebusan. Cara pandang yang demikian tentu sedikit banyak akan berdampak pada “kemandulan” gereja dan umat Tuhan untuk peduli terhadap krisis ekologi di sekitarnya. Gereja seringkali terlihat begitu antusias di dalam masalah-masalah kemanusiaan, sehingga mampu mengaitkan segala gerak langkahnya dengan doktrin-doktrin dasar gereja, seperti karya penebusan Allah dan keselamatan manusia. Namun gereja seolah tidak memiliki “amunisi” untuk “membidik” panggilan konservasi alam dan lingkungan hidup, yang sebenarnya secara utuh sudah diamanatkan Allah sejak penciptaan (Kej. 1:28-31). Karena itu, Nash melihat bahwa pandangan etis-teologis gereja terhadap ekologi harus mengalami reformasi; yaitu reinterpretasi doktrin dan rekonsepsi etika lingkungan hidup (ecological-ethics) Kristen.[9]
Jelas bahwa kerusakan alam yang terjadi secara global ini adalah akibat “dosa global” yang dilakukan seluruh umat manusia di muka bumi ini. Namun permasalahannya adalah sebagai umat Tuhan, apakah setiap orang Kristen tidak memiliki pertanggung-jawaban yang khusus kepada Allah atas rusaknya alam ini? Jawaban dari pertanyaan retoris ini jelas, bahwa setiap orang Kristen memiliki tanggung jawab yang lebih, karena Alkitab (terutama Perjanjian Lama) telah menyatakan mandat Allah bagi manusia yaitu menguasai dan mengayomi ciptaan yang lain sebagai wakil Allah (badk. Kej. 1:26-28). Jadi krisis lingkungan hidup global sudah seharusnya membawa setiap umat Tuhan untuk mengevaluasi perannya bagi konservasi lingkungan hidup, dan selanjutnya mengambil tindakan konkrit untuk mengaktualkan peran tersebut.
Sebagaimana judul sub-bab ini, “siapa yang harus bertanggung jawab dan mengambil peran positif di tengah krisis ekologi global ini?” Jawabannya adalah kita, anak-anak-Nya yang memiliki potensi dan kesempatan bagi kepemimpinan di masa depan.

Meletakkan Permasalahan dengan Tepat
Di atas telah disinggung, beberapa kalangan (baik para pemikir maupun kalangan awam) selama ini memiliki “kecurigaan” terhadap teologi Kristen (yang bersumber dari Alkitab) yang dianggap sebagai akar permasalahan krisis ekologi yang terjadi saat ini. Etos kerja Protestan yang mendorong semangat kapitalisme di dunia Eropa dan Barat telah dianggap mendorong terjadinya eksplotasi alam secara masif dan besar-besaran. Namun, apakah benar akar dari semua kerusakan alam ini adalah teologi Alkitab (terutama PL) yang bersifat antroposentris dan tidak mempedulikan ciptaan Allah yang lain? Beberapa data berikut segera akan menepis tuduhan seperti di atas.
(1) Di Filipina, yang merupakan negara dengan penduduk mayoritas Kristen atau Katholik, mengalami kerusakan alam dan akan menjadi gurun permanen jika tidak ada usaha-usaha bersama oleh berbagai institusi, khususnya pemerintah.[10] Pada tahun 1900, 70% wilayah Filipina adalah hutan dan yang tersisa sekarang hanya 16%.[11]
(2) Namun di negeri Thailand yang tadinya kaya sumber alam seperti hutan, air, dan tanah subur, tetapi sudah di ambang kepunahan.[12] Padahal 90 % penduduk Thailand menganut agama Buddha – agama yang sangat menekankan penghargaan alam semesta.
(3) India juga mengalami masalah kerusakan alam yang parah. (Kota Mumbay, misalnya, termasuk salah satu kota terpolusi di dunia). Mayoritas penduduk India adalah beragama Hindu, yang juga sangat menekankan penghormatan terhadap makhluk dan alam semesta. Mahatma Gandhi, misalnya, dengan sangat tepat mengatakan, “Bumi cukup menyediakan kebutuhan semua orang tetapi tidak cukup menyediakan untuk ketamakan setiap orang.”[13]
(4) Indonesia sudah sejak lama mengalami kerusakan alam yang amat parah. Negara ini merupakan Negara yang berpenduduk muslim terbesar di dunia. Dr Abdullah Oma Nassaf, Sekretaris Jenderal Muslim World League (Liga Dunia Muslim) pernah mengatakan:
Esensi ajaran Islam adalah bahwa seluruh alam semesta adalah ciptaan Allah. Bagi Muslim, peran manusia di bumi adalah sebagai seorang khalifa. Kita adalah penatalayan dan agen perubahan di bumi ini. Bumi ini bukanlah milik kita dan melakukan apa yang kita inginkan. Kesatuan, kepenatalayanan dan pertanggung-jawaban adalah tiga konsep dasar etika lingkungan hidup Islam.”[14] Nabi Muhammad sendiri pernah mengatakan, “Bumi ini hijau dan indah dan Allah telah mengangkat engkau untuk merawatnya.”
Semua catatan di atas sudah cukup menggambarkan bahwa kerusakan alam dapat terjadi di manapun, bahkan di belahan dunia dengan falsahah hidup dan tradisi yang luhur (yang membela alam semesta) sekalipun. Jadi permasalahannya jelas bukan pada ranah teoritis, melainkan dalam ranah praktis-etis. Karena itu, melemparkan kesalahan kepada teologi Kristen dan menganggapnya sebagai “biang” dari tindakan eksploitasi alam yang masif adalah sebuah tuduhan tanpa dasar empiris.
Dari sudut pandang teoritis, sebenarnya teologi Kristen yang bersumber dari Alkitab tidak pernah memberikan “ruang” pembenaran bagi tindakan eksploitasi alam, sekecil apapun itu. Tulisan ini hanya akan menjadi bahan perenungan (refleksi) bagi para peserta Kamp Regional Bersama Perkantas Jawa Timur, 21-24 Agustus 2008 ke depan. Karenanya, pembahasan mengenai aspek teologis dari panggilan umat Allah untuk memelihara (baca: konservasi) alam tidak akan diuraikan secara terperinci dalam tulisan ini. Beberapa prinsip teologis berkenaan dengan relasi manusia dan alam semesta yang dinyatakan di dalam Alkitab dapat digambarkan sekilas sebagai berikut.
Yang pertama, mandat penguasaan atas bumi (alam semesta) yang diemban manusia (khususnya umat Tuhan) yang tercatat di dalam Kejadian 1:26-28 bukanlah dasar teologis bagi siapapun untuk mengeksploitasi alam ini secara tidak bertanggung jawab. Kita dapat memahami mandat “menguasai dan menaklukkan” sebagaimana dalam Kejadian 1:26-28 ini dengan memperhadapkannya pada kepemilikan Allah atas bumi dan segala isinya seperti dalam Mzm 24:1: “Tuhanlah yang empunya bumi serta segala isinya, dan dunia serta yang diam di dalamnya.” Memang kita menemukan dalam bagian Alkitab yang lain yang menyatakan bahwa Allah memberikan bumi kepada manusia. Misalnya, dalam Mzm 115:16 dikatakan “Langit itu langit kepunyaan Tuhan, dan bumi itu telah diberikanNya kepada anak-anak manusia.” Tetapi harus ditegaskan bahwa Allah tidak memberikannya kepada kita sedemikian tuntas, sehingga Ia sama sekali tidak punya otoritas atau kontrol lagi atasnya. Bumi ini diberikan kepada manusia dan manusia mengemban tanggung jawab untuk “menguasainya” sebagai rekan sekerja-Nya.
Prinsip kedua yang harus kita pegang adalah bahwa manusia menguasai alam semesta ini sebagai gambar Allah. Keberadaan manusia sebagai gambar Allah sedikitnya mengandung pengertian bahwa: (1) Manusia diberi karunia memiliki sifat-sifat Allah yang mengasihi, mencintai yang baik, mencintai kehidupan. Itu berarti bahwa dalam menaklukkan dan menguasai, manusia melakukannya atas nama Allah dan seperti cara Allah memperlakukan ciptaan-Nya; (2) Manusia adalah wakil Allah di dalam mengusahakan “kebaikan” ciptaan Allah. Dalam hal ini, menguasai berarti memperlaku-kan ciptaan-Nya sedemikian rupa agar ia tetap baik sebagaimana Tuhan menghendakinya (kualitas ciptaan yang “baik” [Ibrani: tov] diulang sebanyak tujuh kali). Sebagai “gambar Allah” tugas utama manusia adalah mencerminkan kemuliaan dan kebaikan Allah di dalam segala aspek hidupnya, termasuk di dalam mencerminkan kuasa Allah di dalam kualitas kebaikan semesta. Hanya Dia yang layak menerima pujian dari segala yang bernafas (Mzm 150:6); (4) Catatan berikutnya yang tak kalah penting di balik konsep berkuasa ini adalah agar manusia jangan menyembahnya, sebab hanya Allah yang patut disembah. Dengan adanya pengakuan bahwa Tuhan adalah Pencipta dan Raja yang menguasai seluruh ciptaan-Nya, maka tugas manusia “menguasai” dan “mengusai” bumi adalah seperti cara Allah menguasainya yaitu dengan merawat, memelihara, serta menjaga kualitas kebaikannya.
Prinsip ketiga yang perlu kita pahami adalah bahwa di balik perintah berkuasa atas alam ciptaan Allah yang lain ini, Allah sedang menunjukkan kuasa-Nya untuk memelihara hidup manusia. Dengan demikian, penguasaan alam atau ciptaan Allah yang lain harus dibatasi sebagai sarana pemeliharaan Allah untuk kebutuhan makanan (hidup) manusia. Cara pandang konsumerisme humanistik, di mana alam dilihat sebagai “modal” yang siap untuk dieksploitasi tanpa batas adalah “penaklukkan” alam di luar koridor yang telah Allah tetapkan.
Prinsip keempat yang tak kalah penting di dalam kita memahami tanggung jawab manusia untuk memelihara ciptaan Allah yang lain adalah bahwa alam menempati posisi yang unik di dalam relasi antara Allah dan manusia. Di dalam Perjanjian Lama konsep terdapat sebuah kerangka ecological-theology (teologi yang memperhatikan signifikansi ciptaan lain di dalamnya) atau ecological ethics (etika yang menempatkan kelestarian alam sebagai sesuatu yang penting). Konsep ini menjelaskan bahwa antara Allah, manusia, dan alam semesta terdapat relasi perjanjian yang unik. Dalam relasi yang tergambar jelas dalam PL ini alam tidak hanya ditempatkan sekadar sebagai “komoditi” untuk kepentingan manusia yang antroposentris, melainkan sebagai “meterai” ikatan perjanjian (covenant) antara Allah dan umat pilihan-Nya. Tidak ada ruang untuk menjelaskan konsep ini lebih detil dan utuh dalam tulisan ini. Namun secara ringkas konsep ini dapat disimpulkan bahwa alam semesta memiliki peran sebagai “barometer” relasi antara manusia (umat pilihan-Nya) dengan Allah.
Dari pemaparan di atas, jelas sekali bahwa masalah kerusakan lingkungan hidup bukan berakar pada “kerusakan” teologi Alkitab. Alkitab bahwa dengan utuh menegaskan bahwa alam semesta merupakan alat Allah untuk menyatakan kemuliaan-Nya. Dan peran manusia adalah menjaga kelestarian dan kebaikannya demi kemuliaan Allah. Lalu, apa yang menjadi masalah dari umat Kristen sendiri? Di sinilah perlu ditegaskan bahwa masalah utamanya adalah etika praktis. Meminjam istilah tokoh Teologi Pembebasan, Gustavo Guttierez, ”teologi” Kristen yang jelas-jelas mendorong pelestarian alam belum terwujud menjadi ”teopraksis.” Dari penelitian kecil yang penulis sempat lakukan di tahun 2006 terhadap beberapa gereja injili di sekitar Malang dan Batu, terdapat indikasi kuat bahwa jemaat kurang mendapatkan penjelasan dan pembinaan, baik secara teologis maupun etis-praktis, akan pentingnya konservasi alam. Maka ”wajar” jika saat ini kita sangat kesulitan menemukan kader-kader Kristen yang peduli dan berjuang bagi kelestarian lingkungan hidup. Gereja pun sangat kurang memberikan perhatian pada misi pelayanan dalam aspek ini.

Refleksi
Krisis ekologi yang terjadi saat ini seharusnya mendesak seluruh umat Tuhan untuk membangun sikap hidup yang mendorong pada langkah-langkah konkrit yang setidaknya memperlambat kerusakan alam yang lebih parah. Bagi mahasiswa Kristen, yang notabene adalah para calon pemimpin potensial bagi gereja, krisis ekologi adalah sebuah tantangan bagi kepemimpinan gereja di masa mendatang. Pertanyaan-pertanyaan ini patut kita treungkan: (1) Tindakan umat Tuhan apa sajakah pada saat ini yang mencerminkan pengakuan bahwa Allah pemilik bumi dan segala isinya dan mana yang menunjukkan pengabaian kepemilikan Allah atas bumi dan isinya? (2) Upaya-upaya konkret apa yang dapat Anda lakukan sebagai bagian dari Gereja dan umat Kristen, yang mampu merawat alam ciptaan dan milik Tuhan?



Great are the works of the Lord; they are pondered by all who delight in them (Psalm 111:2).
Yusuf Deswanto




[1]Sinode Am Gereja Hervormd Belanda (NHK), Taman Eden itu Semakin Tandus (terj. S. L. Tobing-Kartohadiprojo; Jakarta: Gunung Mulia, 1994) 97. Pengelompokkan ini bukan sesuatu yang baku, karena beberapa sumber lainnya menggunakan kategori yang lain. An Evangelical Declaration on the Care of Creation mencatat tujuh degradasi kondisi alam (dalam R. J. Berry, ed., The Care of Creation [Leicester: Inter Varsity, 2000] 18). Bdk. juga Michael S. Northcott, The Environment and Christian Ethics (Cambridge: Cambridge University Press, 1996) 2-28.
[2]Northcott, The Environment 14-20.
[3]Sinode Am NHK, Taman Eden itu 99.
[4]Christian Ethics: Options and Issues (Grand Rapids: Baker, 1989) 293.
[5]Protokol Kyoto adalah sebuah amandemen terhadap Konvensi Rangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC), sebuah persetujuan internasional mengenai pemanasan global. Nama resmi persetujuan ini adalah Kyoto Protocol to the United Nations Framework Convention on Climate Change (Protokol Kyoto mengenai Konvensi Rangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim). Persetujuan ini dinegosiasikan di Kyoto pada Desember 1997, dibuka untuk penanda tanganan pada 16 Maret 1998 dan ditutup pada 15 Maret 1999. Negara-negara yang meratifikasi protokol ini berkomitmen untuk mengurangi emisi/pengeluaran karbon dioksida dan lima gas rumah kaca lainnya, atau bekerja sama dalam perdagangan emisi jika mereka menjaga jumlah atau menambah emisi gas-gas tersebut, yang telah dikaitkan dengan pemanasan global. Saat ini hanya Amerika Serikat, sebagai satu-satunya negara industri yang belum bersedia meratifikasi Protokol Kyoto.
[6]Tulisan berjudul “The Historical Roots of Our Ecological Crisis” ini dicetak dan diterbitkan berkali-kali oleh berbagai media yang menyoroti masalah krisis lingkungan hidup. Yang pertama oleh D. & E. Spring, Ecology and Religion in History (eds. New York: Harper and Row, 1974); yang terbaru dicetak ulang dalam diskusi para tokoh injili, R. J. Berry, The Care of Creation: Focusing Concern and Action (Downers Grove: InterVarsity, 2000) 31.
[7]Salah satu tanggapan yang baik terhadap tuduhan ini disampaikan oleh sarjana Katholik, Martin Harun dalam tulisan eseinya, “’Taklukkanlah Bumi dan Berkuasalah . . .’: Alkitab Ibrani dan Dampaknya untuk Lingkungan Hidup,” Jurnal Pelita Zaman 13/2 (November 1998-April 1999) 86-112.
[8]Interpretation 50/1 (January 1996) 5-6.
[9]Ibid. 7-10.
[10]Sebagaimana dikutip Victor Tinambunan (http://victor-tinambunan.blogspot.com/%20search/label/%20EKOLOGI) dari Nathan and Martha Knol, eds., Church, Environment and Development in Asia: A Report of the Workshop on Environment and Development: Church Response to Environment in Asia (Shatin, Hongkong: CCA, 1995), 30
[11]Per Larson, Your Will Be Done on Earth: Ecological Theology for Asia; An Ecumenical Textbook for Theological School (Hong Kong: CCA, 2004), 13.
[12]Natan and Martha, Church, 17.Krisis Ekologi Global: