30 September 2008

Liquid Christians
[Orang-orang Kristen yang Cair]


Salah satu fenomena yang patut kita amati di tengah kehidupan bergereja saat ini adalah munculnya “orang-orang Kristen yang cair” (the liquid christians). Apa yang dimaksud dengan orang Kristen yang cair? Tentu saja istilah ini tidak terkait dengan masalah fisika atau tentang materi (zat) penyusun yang padat atau cair. Istilah ini diambil untuk menunjukkan betapa sulitnya generasi Kristen dewasa ini utuk mengambil komitmen yang total kepada satu gereja lokal. Istilah yang dulu sering digunakan untuk orang Kristen yang enggan mengabdi pada satu gereja adalah “kekristenan kutu loncat.” Ada juga seorang saudara seiman mengusulkan istilah untuk orang Kristen semacam ini dengan istilah “Kristen yang suka jajan.” Mempertimbangkan etestika dan etika bagi perspektif pembaca, maka dalam tulisan singkat ini digunakanlah istilah “orang Kristen cair.”

Ciri pertama dari orang Kristen cair adalah sulitnya bagi mereka untuk berkomitmen pada salah satu gereja lokal. Cara pandang mereka dalam berjemaat bukanlah berangkat dari sudut pandang “apa yang bisa aku persembahkan kepada Allah melalui di tengah jemaat ini?” Melainkan, “apa yang bisa aku dapat dan nikmati dari gereja ini” Ciri lain dari kekristenan cair adalah keengganan mereka dalam pengajaran-pengajaran firman Tuhan yang solid dan membutuhkan ketekunan. “Kalau sepanjang minggu kita telah dilelahkan oleh pekerjaan dan aktivitas keseharian kita, mengapa kita harus ke gereja dan berpikir yang sulit-sulit?” demikian seringkali mereka berujar. “Kita ke gereja kan untuk menenangkan pikiran, alias refreshing rohani?” demikian argumen yang sering dicetuskan orang-orang Kristen cair. Tak heran, gereja di zaman ini tak ubahnya seperti mall rohani bagi kekristenan cair.

Harus diakui generasi Kristen zaman ini telah berkubang di dalam budaya populer terlalu dalam, sehingga mereka sendiri tidak sadar akan pijakan budaya yang mereka anut. Agak sulit memang mendefinisikan apa itu “budaya populer.” Lebih mudah bagi kita untuk mendeteksi gejalanya. Salah satu gejala dari kebudayaan populer (populer culture) adalah semangat hidup yang menekankan perasaan dan selera. Apa yang lebih “menyentuh” selera seseorang menjadi penentu pilihan-pilihan hidupnya. Media TV telah begitu apik mengemas pop culture, sehingga Sebuah pilihan yang seharusnya didasarkan pada kerangka pikir (iman) seseorang, malah diarahkan pada selera perasaan kita. Sebagai contoh, sebuah iklan rokok mengangkat sebuah motto hidup budaya populer: “enjoy aja.” Motto ini cukup mewakili apa yang diusung oleh budaya populer yaitu semangat hidup pragmatisme; yang penting having fun (senang-senang) dan nggak perlu susah-susah.

Bisa dibayangkan, jika budaya dan cara pikir yang seperti ini yang dianut orang Kristen abad ini, maka semakin sulit pula bagi mereka untuk membangun komitmen hidup yang utuh. Ibarat membeli makanan fast food (cepat saji), orang Kristen (khususnya anak muda) saat ini lebih memilih untuk menikmati ibadah sebagai sebuah entertainment (hiburan) rohani daripada semangat penyembahan kepada Allah. Pilihan-pilihan orang Kristen saat ini dalam bergereja lebih ditentukan oleh apa yang bisa memuaskan perasaan fun mereka, daripada sikap memberi diri bagi pembangunan tubuh Kristus di satu gereja lokal. Jika pada satu waktu mereka memilih bergereja di salah satu gereja lokal, itu lebih dikarenakan gereja tersebut mereka anggap mampu memenuhi “selera rohani” mereka. Maka pada satu waktu yang lain, jika perasaan fun mereka telah mencapai titik jenuh, dengan mudah mereka akan berpindah ke gereja lain lagi. Untuk merohanikan hal ini ungkapan yang sering digunakan adalah, “aku lebih diberkati di gereja ini dan itu.”

Cara berjemaat kekristenan cair seperti ini jelas bukan apa yang diajarkan Alkitab. Perhatikan apa yang disaksikan Lukas dalam catatan Kisah Para Rasul: “Mereka bertekun dalam pengajaran rasul-rasul dan dalam persekutuan.… Dengan bertekun dan dengan sehati mereka berkumpul tiap-tiap hari dalam Bait Allah…. Dan tiap-tiap hari Tuhan menambah jumlah mereka dengan orang yang diselamatkan….” (2:44-47). Kata “bertekun” dalam bagian ini diulang dua kali untuk menunjukkan bagaimana kekristenan mula-mula dibangun di atas dasar semangat ketekunan (yang menghasilkan komitmen), dan bukan sekadar “selera rohani” jemaat mula-mula. Kita harus percaya, ketika komitmen dihindari demi kebebasan hidup, ketika tantangan dikorbankan demi merasakan kenikmatan, ketika jalan naik turun dan berliku dalam berjemaat dihindari demi mendapatkan kemudahan di jalan lurus beraspal, dan ketika pilihan didasarkan atas bisikan kepentingan pribadi, dan bukan atas kebenaran, maka potensi dan talenta manusia yang diberikan Allah tidaklah berguna dan kebenaran Firman Allah yang mutlak menjadi begitu kabur. Jika hal demikian dibiarkan, kehidupan bergereja tidak akan menghasilkan pribadi yang serupa dengan Kristus. Sekarang terserha Anda. Mau menjadi menjadi orang Kristen yang cair, ataukah orang Kristen yang kokoh di dalam komitmen?


sebuah refleksi di tengah kegelisahan menatap gereja

No comments: