05 October 2008

(Bukan) Gereja Di Atas Awan
“… Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku...“
(Mat. 25-40)


Reformasi gereja tidak berhenti pada sebuah titik sejarah. Gereja harus terus berbenah melampaui titik catatan sejarah pembaharuan gereja itu sendiri. 31 Oktober 1517, Martin Luther menempelkan 95 dalil pembaharuan di gerbang Gereja Wittenberg, menandai babak baru yang kemudian disebut Reformasi Gereja.

Lebih 6 abad roda reformasi bergulir. Jika kita merenungkan semangat reformasi dan bercermin pada catatan Kisah Para Rasul 2:44-47, kita patut bertanya, “apakah gereja sudah mendekati garis akhir dari perubahan transformatifnya?” John Stott dalam bukunya The Living Church, menuliskan bahwa gereja mempunyai identitas ganda. Di satu sisi gereja dipanggil keluar dari dunia untuk menjadi milik Allah. Namun di sisi lain gereja diutus kembali ke dunia untuk menjadi saksi dan melayani. Yang menarik, Stott menegaskan bahwa gereja mempunyai misi sebagaimana misi Kristus, yaitu misi inkarnasional. Seperti Kristus yang masuk dunia kita untuk melayani kita tanpa harus kehilangan identitasnya, demikian gereja seharusnya masuk ke dalam dunia (yang miskin) untuk melayani kaum melarat, tanpa harus kehilangan identitasnya. Gereja masa kini dipanggil untuk masuk dalam realitas sosial masyarakat yang menjadi konteks eksistensinya tanpa harus merubah esensi Injil sebagai berita utamanya.

Mereformasi peran gereja dalam konteks kemiskinan adalah tugas semua orang percaya sebagai organ terkecil Tubuh Kristus. Masih ingat di benak kita bagaimana orang rela berdesakan bahkan sampai meregang nya-wa demi untuk zakat sekitar Rp. 30.000,- . Itulah potret kemiskinan yang nyata di depan mata kita, gereja-Nya di Indonesia. Ibarat jauh panggang dari api, gereja di Indonesia tak pernah puas mempercantik dirinya sendiri. Harus diakui, meski ada sebagian gereja mulai mengambil peran inkarnasional Kristus, secara umum gereja di Indonesia masih menjadi “gereja di atas awan.” Gereja masih membangun spiritualitasnya tak lebih sebagai ritualitas di atas awan-awan, sehingga tidak menyentuh transformasi bagi kemiskinan.
Tengok saja berita Firman Tuhan yang disampaikan lewat mimbar-mimbar gereja. Bukankah tema-tema yang terlalu vertikalis lebih mendominasi daripada tema-tema peran inkarnasional umat di tengah masyarakat? Maka jangan tanya, kemana mayoritas anggaran gereja selama ini dihabiskan. Pembangunan gedung dengan symbol-symbol keangkuhannya, berbagai ritual ibadah yang penuh selebrasi, dan tidak adanya wahana pelatihan jemaat untuk bersentuhan dengan lingkungan sosialnya menunjukkan gereja lebih menikmati comfort zone-nya di atas awan-awan.

Berdasarkan panggilan Kristus Sang Kepala Gereja; “Sama seperti Bapa mengutus Aku, demikian juga sekarang Aku mengutus kamu” (Yoh. 20:21), gereja harus segera mengarahkan pertumbuhan dan reformasinya kapada misi yang kon-krit. Kemiskinan kronis di tengah bangsa ini seharusnya membangkitkan misi gereja yang berorientasi padabelas kasihan Kristus yang telah dinyatakan bagi gereja itu sendiri. Gereja harus turba (turun ke bawah) dan berinkarnasi dengan masyarakat yang melarat, untuk kemudian menyatakan kasih Kristus secara nyata. Diawali dari gerakan dari mimbar, beranjak pada tindak nyata gereja lokal dan gerekan lintas gereja harus mereformasi semangat inkarnasionalnya pada dunia. Jika tidak, gereja akan tetap menjadi “Gereja di atas Awan.” Soli Deo Gloria.


Selamat Hari Memperingati Hari Reformasi Gereja - 31 Oktober 2008