27 September 2006

Gairah cinta yang bergulir di tengah musim...
(sekali lagi refleksi dari Kidung Agung 2:8-3:5)


Kekasihku mulai berbicara kepadaku: "Bangunlah manisku, jelitaku, marilah! Karena lihatlah, musim dingin telah lewat, hujan telah berhenti dan sudah lalu. Di ladang telah nampak bunga-bunga, tibalah musim memangkas; bunyi tekukur terdengar di tanah kita. Pohon ara mulai berbuah, dan bunga pohon anggur semerbak baunya. Bangunlah, manisku, jelitaku, marilah! Merpatiku di celah-celah batu, di persembunyian lereng-lereng gunung, perlihatkanlah wajahmu, perdengarkanlah suaramu! Sebab merdu suaramu dan elok wajahmu!" (2:11-15)

Kala sang kekasih laki-laki terus berlari - bagai kijang dan anak rusa - ingin segera menangkap kekasih perempuannya, sang kekasih perempuan lebih merindukan suatu perhatian yang penuh, kedewasaan di dalam penjagaan.

Dua kekasih ini akhirnya merayakan sukacita yang mereka rasakan di tengah ciptaan Allah dan di dalam aroma cinta mereka. Tuhan menciptakan dunia ini, segala keindahannya, mengaruniakan cinta kasih, keindahan seksualitas, serta memberikan kita kepekaan dan perasaan untuk menikmati semua itu.
Nikmati semua keindahan ciptaan-Nya, cinta, dan seksualitas di dalam luapan syukur kepada Dia yang telah memberikannya.

"Tangkaplah bagi kami rubah-rubah itu, rubah-rubah yang kecil, yang merusak kebun-kebun anggur, kebun-kebun anggur kami yang sedang berbunga!" (2:15)

"Rubah-rubah kecil" adalah sebuah gambaran bermacam masalah yang dapat mengganggu ikatan kasih dan pernyataannya di dalam jalinan kasih saling mencintai. Dua orang kekasih yang telah berkomitmen di dalam membangun ikatan cinta kasih mereka harus menyadari apa yang menjadi "rubah-rubah kecil" dalam ikatan kasih mereka yang berpotensi mengganggu kebun anggur cinta (pernikahan) di antara mereka. "Rubah-rubah kecil" itu harus ditangkap untuk kemudian terus diwaspadai oleh kedua kekasih di dalam menjalani ikatan cinta kasih di antara mereka.

Duhai kawanku, pemuda-pemudi yang masih berlari ke sana kemari bagai kijang lepas dari perangkap pemburu; janganlah bangunkan cinta sebelum waktu yang dikehendaki-Nya... Dambakan itu di dalam syahdu paku bersama Sang Khalik... Rindukan itu bersama ketenangan Kasih Sang Penebusmu... Namun, janganlah mereguknya sebelum waktu yang diberikan-Nya...

26 September 2006

Jangan Kaugerakkan Cinta Sebelum Waktunya...


Membaca Kidung Agung...?
Pasti banyak jemaat yang masih "blingsatan" ketika membacakannya. Bahkan harus diakui, para pengkhotbah di gereja seakan "tabu" mengkhotbahkannya. Makanya, jangan heran kalau remaja dan pemuda gereja "nyengir-nyengir kuda" ketika membaca kitab yang satu ini.
Porno...? Please dehh... Minta ampun sama Tuhan...
So what geetu loh...?

Yang pasti, sebenarnya orang Kristen musti bersyukur, karena Alkitab yang adalah satu-satunya Pedoman Hidup yang dapat diandalkan, berbicara sangat jujur tentang realita kehidupan manusia. Manusia itu utuh, karena Allah juga menciptakan dan mengasihinya secara utuh. Antara kebutuhan psikis, kebutuhan rohani, dan bahkan kebutuhan tubuh (baca: seksualitas), tidak ada yang dinomorduakan Allah, untuk dianugerahkan-Nya bagi manusia.
Jadi, Kidung Agung adalah penyataan Allah yang Agung tentang relasi yang paling intim antara dua insan yang disatukan-Nya. Kidung Agung adalah sebuah blueprint kehidupan seksualitas yang kudus dan penuh rasa syukur.

Seksualitas adalah untuk disyukuri di dalam "tenda pernikahan" Bukan untuk diumbar di pasar swalayan. Bukan pula untuk di-peti-es-kan seperti kasus korupsi yang melibatkan pejabat...

"...., demi kijang-kijang atau demi rusa-rusa betina di padang: jangan kamu membangkitkan dan menggerakkan cinta sebelum diingininya!" (Kidung Agung 2:7)

(24 September 2006, Sebuah Refleksi tentang Cinta dan Seksualitas)

19 September 2006



Latihan Badani Terbatas Gunanya...

(tapi tetep ada gunanya kog...)

Percaya atau nggak (percaya aja deh...), menjadikan hidup kita sebagai persembahan yang hidup bagi Tuhan bukanlah perkara yang mudah. Buktinya, untuk bertahan dari rasa kantuk di dalam pekerjaan setiap hari bagi Dia saja susah puol...

Anakku, Si Theo, dengan lugu ngomong, "Makanya, olah raga Yah, tiap hari. Jangan bobo' terus." Ups... aku diomeli Si Kecilku nih...

Memang benar, apa yang dimaksud Rasul Paulus dengan "latihan badani" bukanlah olah raga, tapi okelah kalau aku mencomot ayat tersebut untuk sekedar mengatakan kepada diri sendiri... "Kuasai dirimu dengan baik, latihlah untuk kebugaran bagi pekerjaan Tuhan." Bukankah persembahan hidup bagi Tuhan juga menyangkut kesehatan dan kebugaran tubuh ini...? Kalau sakit dan penuh kolesterol mana mungkin dapat memberikan hidup sebagai persembahan bagi Tuhan... 'Tul enggaak... (tuuuul....).

Buat yang rajin olah raga, berikan hidupmu bagi Tuhan; tubuhmu, hatimu, dan seluruh jiwamu...

15 September 2006


Kesatuan bukanlah keseragaman...
Kesatuan adalah menerima perbedaan apa adanya (dan bukan "ada apanya").
Kesatuan sejati adalah sebuah proses saling asah... saling asuh... dan bukan saling sesah...
Kesatuan sejati dikerjakan oleh Pribadi Ruh Suci yang melahirkan vitalitas alias kesegaran hidup; bangkit dari hidup yang usang... menuju hidup yang gress...
Kesatuan sejati harus ada di dalam sebuah persekutuan yang menyebut Dia: "Sang Penebusku."
(catatan 14 Sept. 06)

12 September 2006


Character Assassination
(sekali lagi pembelajaran dari Nehemia)

Bagaimana seorang Kristen meresponi sebuah character assassination?

Character assassination bukanlah sebuah "asinan karakter" atau "karakter yang asin." Character assassination dapat diartikan sebagai “pembunuhan karakter” atau dengan istilah yang lebih sadis: “pembantaian karakter.” Beberapa waktu yang lalu istilah ini mencuat, ketika seorang tokoh politik, Si Anu, merasa karakternya di assassin-ni (jangan baca: “di-asin-ni”) oleh tokoh politik Si Anu yang lain. Istilah yang lebih umum dari “pembantaian karakter” adalah “pencemaran nama baik.” Kita sering mendengar seorang artis Si Itu sedang melapor ke Polda (wuih… bukan main-main nih), karena merasa namanya dicemarkan oleh artis Si Itu yang lain.

Ternyata Indonesia bukan hanya negeri dengan seribu kasus pencemaran sungai oleh limbah industri, tetapi juga negeri dengan sejuta kasus pencemaran nama baik (yang sebetulnya sudah enggak baik…).
Budaya abad ini adalah budaya saling menuntut. Atas nama “hukum,” seseorang dengan mudah menuntut orang lain dengan tuntutan "pencemaran nama baik." Dan kisah “pencemaran nama baik” ini ternyata lebih menarik ibu-ibu rumah tangga (bersama pembantu rumah tangganya…), daripada kasus-kasus pencemaran limbah industri yang semakin menyedihkan.

Terkadang aku berpikir, apa yang sedang diperjuangkan manusia abad ini? Sebuah nama baik, ataukah ego manusia yang mengalami obesitas?

Lalu, bagaimana sikap seorang Kristen dengan "pencemaran nama baiknya"? Nehemia mempunyai sikap yang sangat menarik untuk kita pelajari (Neh. 6:1-19):
1. Ia tetap fokus pada pekerjaan yang Allah percayakan kepadannya (ay. 3-4). Nehemia tahu bahwa setiap mengerjakan pekerjaan Tuhan, pasti ada "oknum-oknum" yang tidak akan tinggal diam mengganggu jalannya pekerjaan itu.
2. Ia menyerahkan penuh masalah character assassination atau "fitnah" kepada Allah yang akan bekerja membalas mereka (ay. 9, 14).
3. Nehemia menggunakan hikmat Tuhan untuk mengetahui siapa lawan siapa kawan sejati, karena di dalam pekerjaannya juga ada orang-orang yang berkhianat kepada Sanbalat dan Tobia (ay. 10, 17-19).

Integritas hidup dan kebergantungan mutlak kepada Tuhan adalah kunci kemenangan seorang Kristen terhadap character assassination.

Menikah = Bercermin…?
(catatan minggu penuh pernikahan 8-10 Sept’ 06)


Seorang pakar pernah berkata, “Tujuan dari pernikahan dan keluarga adalah untuk menjadikan kita realistis.”
Wuiihh…, aku yakin kata-kata bijak ini bukan lahir dari sebuah lamunan semata. Aku sudah membuktikannya, prenzz… At least (binti paling tidak), selama lima tahun ini aku memang diajak untuk lebih realistis. Kalau boleh aku menerjemahkan kata-kata bijak-sana di atas dengan kata-kata “bijak-sini” ku:
“menikah itu sama dengan bercermin.”

Bagaimana tidak, dulu aku yakin banget, kalau tidur aku benar-benar seperti bayi dalam nina bobo bundanya: silent... alias “nyaris tak terdengar.” Eh, setelah aku bercermin kepada "cermin keluargaku," ternyata di saat tidur cukup banyak suara “yang tak tertafsirkan” keluar dari mulutku. Dan aku bahkan tidak bisa ber-pledoi, karena Theo kecilku mampu bersaksi atas dengkuran yang keluar dari bantal yang menutup wajahku.
Bagaimana tidak, aku dulu yakin banget dengan kebijakan dan hikmatku. Tapi setelah lima tahun bercermin kepada istriku, ternyata aku belum cukup dewasa untuk dikatakan bijak.
Ah… aku sebenarnya malu mengatakan gambaran wajah dalam cermin pernikahanku…

Namun, lebih daripada semua itu, bukankah sebuah pertobatan harus diawali dengan pengakuan dan kejujuran? Ketika kita bercermin dan melihat “wajah buruk” kita di dalam cermin, bukankah lebih baik kita mengakui dan menerimanya, daripada membelah cermin itu? Bahkan, mungkin itulah maksud Tuhan bagi kita ketika Ia memberikan kado “cermin pernikahan,” yaitu istri, anak atau keluarga kita. “Mereka keduanya telanjang, manusia dan isterinya itu, tetapi mereka tidak merasa malu” (Kej. 2:25).
Bila buruk muka, janganlah cermin dibelah. Akuilah, realistis-lah, dan kemudian benahilah diri kita… Itu namanya pertobatan…
Terima kasih kepada Tuhan yang memberikan kado "cermin keluarga" buat kita yang "nekat" menerimanya...

(buat Mas Jo-Jeng Wenis, & Nana-Lia, selamat bercermin… selamat hidup di dalam realitas sejati…)

08 September 2006

Ada Apa di dalam Pikiran Wakil Rakyat kita?

Menjadi orang yang mewakili rakyat seharusnya mewakili juga apa yang dirasakan rakyat. Kalau rakyat bisa "ber-ha-ha-ha", sang wakil wajib "ber-ha-ha-ha." Kalau rakyat lagi "kebanjiran rejeki," maka sang wakil boleh juga kebanjiran "angpau."
Namanya juga mewakili apa yang dialami rakyat...

Tapi yang terjadi di dunia Indonesia ini memang selalu "aneh binti ngawur."
Sang rakyat sedang menangis, eh... sang wakil cuman bisa meringis. Sang rakyat sedang resesi, eh... malah sang wakil terus resepsi.
Dan yang lucu, sang rakyat sedang menuntut pembagian dana kompensasi karena rumahnya kebanjiran lumpur lapindo, eh... malah sang wakil ikut menuntut karena "dana kompensasi" rapat masih "kurang banjir."

Yang diwakili sedang kebanjiran lumpur busuk, yang mewakili terus mengeruk banjir rejeki dari nafsu busuk...
Muak aku...

Aku mengajak Nehemia-Nehemia Indonesia untuk menangis bagi negeri ini...

07 September 2006

The world is charged with the grandeur of God,
It will flame out, like shining from shook foil;
It gathers to a greatness, like the ooze of oil
Crushed. Why do men then now not reck his rod?
Generations have trod, have trod, have trod;
And all is seared with trade; bleared, smeared with toil;
And wears man’s smudge and shares man’s smell: the soil
Is bare now, nor can foot feel, being shod.

And for all this, nature is never spent;
There lives the dearest freshness deep down things;
And though the last lights off the black West went
Oh, morning, at the brown brink eastward, springs—
Because the Holy Ghost over the bent
World broods with warm breast and with ah! bright wings.

(Louis Untermeyer)

06 September 2006

Hari ini aku capek... pek...
Tapi entah kenapa ya, ada sukacita di sudut hati sana. Mungkin memang menceritakan Kabar Baik itu selalu membawa sukacita, entah untuk kita, entah untuk yang mendengarkannya. Meski sempat kepotong waktu sama Franko, tapi senang juga lihat dia antusias. Apalagi liat Aris yang ketawa-ketiwi waktu mendengar dan meresponi The Gospel. Doaku buat kalian, adik-adikku, agar Sang Ruh Penjaga Jiwa terus berkarya di dalam hatimu...

Di tengah sukacita jiwa, aku juga harus "menyempatkan" diri menangis buat hati yang sedang gundah dan kecewa. Percaya enggak, ini pelayanan konselingku yang pertama sejak "turun gunung," Jeck... Aku nggak nemu'in solusi buat si konseli sih. At least aku bisa berharap dan berdoa bagi Tuhan, agar esok bisa membuat "sang hati ini" bisa sedikit tersenyum. Kacian deh Jeck, jauh dari ortu dan sanak saudara. God, keep her in Your Gentle Hand...

Tapi ternyata ada juga yang bikin hati ini capek... Untung nggak sampe "makan hati"... (hi... hi... gak jadi minum teh botol Sosro deh...). Masak ada orang yang mau melayani tapi cari mudahnya saja... "Aku mau melayani, asal... Aku mau nyenagin Tuhan, asal gak susah-susah ya..." Ah, mungkin Tuhan akan mengatakan, "Gak janji deh..." Melayani Tuhan itu bukan sebuah pilihan mudah, Preen... Jangan cengeng dong... Capek deh aku dengan kalian...

Tuhan aku mau bobo' malam ini di dalam rengkuhan sayap-MU... Cape' aku...
Met bobo' Ma, met bobo' my dear Theo...

04 September 2006

Cuman salam…?


Salam dapat berarti cuman basa-basi. ”Salam buat orang tuamu, ya.” Demikian seorang guru yang berusaha menunjukkan perhatian pada muridnya. Mungkin dia ‘gak terlalu pusing apakah salam itu disampaikan atau tidak. Namanya juga basa-basi. Besok toh akan menjadi basi…

Tapi salam juga berarti “sinyal” cinta yang “nyambung.” ”Salam ya, sama Si Katy. Gw naksir berat nih...” Demikian celoteh seorang ”remaja putih abu-abu” kepada sobatnya yang sekelas dengan Katy yang dimaksud.

Namun, salam yang disampaikan rasul Paulus kepada Febe, Priskila dan Akwila, Maria, Andronikus, Yunias, Apliatus, Urbanus, dan yang lainnya di Roma 16:1-16 bukanlah salam basa-basi, atau salam ”ada udang di balik batu.” Salam rasul Paulus kepada nama-nama ini adalah ”segenggam” pengakuannya yang utuh akan peran penting mereka di dalam hidup dan pelayanan Paulus. Dengan kata lain, tanpa mereka yang Tuhan tempatkan di sekitar hidup Paulus, hidup dan pelayanannya tidak akan seefektif saat itu. Paulus bukan sejenis manusia "kacang yang lupa kulitnya." Dia sadar betul, tanpa orang-orang yang ditempatkan Tuhan di sekitar hidupnya, ia bukan siapa-siapa, bahkan he's nothing.

Seberapa sering kita menganggap orang-orang yang di sekeliling kita berarti bagi hidup kita? Seberapa sering kita berkirim salam untuk mereka secara tulus. Seberapa sering kita berkata kepada saudara kita di dalam Tuhan, ”Salam dan peluk cium kudus dariku untuk sukacitamu di dalam Tuhan.”

(Coretan tangan ini buat kakakku di dalam Tuhan, Mas Heri P., yang sedang sakit. Thanks Mas…, you laid down in me a precious stone which has been changing my purpose in this life… Cepat sembuh ya…)

03 September 2006





My History is His-Story


Perjalanan hidupku bukanlah semata-mata garis linear yang bergerak tanpa suatu titik tujuan yang pasti. Yang sebenarnya, ada sebuah Tangan yang Kekal sedang merajut dan merenda hari-hariku sejak di dalam kandungan ibuku...

Rabu, 4 Desember 1974, aku lahir di dalam tenunan Sang Tangan yang Kokoh Kekal. Ayah dan Ibuku memberi nama aku Yusuf Deswanto. Entah nama "Yusuf" yang mana di dalam Alkitab yang ada di dalam benak mereka waktu itu. Yusuf yang dijual ke Mesir-kah, ataukah Yusuf papi dari Yesus Sang Kristus. Aku sendiri hingga kini lebih senang jika harapan orang tuaku adalah aku menjadi seperti Yusuf yang kemudian menjadi perdana menteri di Mesir. Satu joke yang sering aku ulang di dalam perkenalan adalah, "kalau Yusuf di Alkitab digoda oleh istri Potifar, tapi kalau Yusuf ini malah menggoda 'tante Potifar'." Tentu ini hanya sebuah canda yang terselip di dalamnya doaku, agar aku juga dapat hidup berintegritas seperti Yusuf yang menjadi alat Tuhan di dalam menyelamatkan suatu generasi tebusan-Nya.

Ayahku, Asmari (setelah menjadi Kristen, pendeta yang membaptisnya memberi nama "Pilipus" di depan Asmari), adalah seorang teladan rohani yang tak mungkin aku saingi. Jika banyak generasi saat ini kecewa dengan ayah mereka, aku adalah orang yang bangga dengan ayahku yang hidup di dalam persekutuan intimnya dengan Sang Khalik alam ini.
Ibuku seorang yang sangat sederhana. Bahkan hingga saat ini ia tidak mempunyai kesempatan untuk membaca Alkitab, karena "kebutaannya" akan akan simbol-simbol yang biasa kita sebut dengan huruf ini. Mungkin salah kami juga (anak-anaknya) yang tidak dengan tekun mengajarnya membaca. Namun demikian, tiap hari tidak pernah ia lewatkan tanpa menyapa Yesus yang telah menyelamatkannya. Dan lebih dari itu semua, ia sangat mengasihi aku, anaknya yang bungsu...

Aku lahir sebagai putra bungsu dari tujuh bersaudara, tiga orang perempuan, dan empat orang laki-laki (termasuk aku). Saat ini Mbak Lies, Mbak Mien, Mas Didik, Mas Nduk Kris, Mas Yi, dan Mbak Ester telah hidup sebagai diaspora di dalam keluarganya masing-masing. Hanya Mbak Lies yang tinggal bersama Ibu dan Bapak, karena suaminya yang meninggal, ketika Bonny, anaknya, masih kanak-kanak.

Sejarah adalah milik-Nya. Its history is His-Story... Tiga puluh dua tahun aku hidup di dunia ini. Lahir dari keluarga yang "biasa-biasa saja," namun Dia mengganggap aku "istimewa" sehingga Tangan-Nya menebusku dan bahkan menjadikan aku "mitra kerja-Nya." Zelo zelatus pro Deo...
"Karena kasih karunia-Nya, aku ada sebagaimana aku ada sekarang ini. Dan kasih karunia-Nya tak akan kubuat sia-sia."