21 March 2007


RESURRECTION, IMPERFECT.
by John Donne


SLEEP, sleep, old sun, thou canst not have repass'd,
As yet, the wound thou took'st on Friday last ;
Sleep then, and rest ; the world may bear thy stay ;
A better sun rose before thee to-day ;
Who—not content to enlighten all that dwell
On the earth's face, as thou—enlighten'd hell,
And made the dark fires languish in that vale,
As at thy presence here our fires grow pale ;
Whose body, having walk'd on earth, and now
Hasting to heaven, would—that He might allow
Himself unto all stations, and fill all—
For these three days become a mineral.
He was all gold when He lay down, but rose
All tincture, and doth not alone dispose
Leaden and iron wills to good, but is
Of power to make e'en sinful flesh like his.
Had one of those, whose credulous piety
Thought that a soul one might discern and see
Go from a body, at this sepulchre been,
And, issuing from the sheet, this body seen,
He would have justly thought this body a soul,
If not of any man, yet of the whole.

Desunt Caetera

Source:
Donne, John. Poems of John Donne. vol I.
E. K. Chambers, ed.
London: Lawrence & Bullen, 1896. 169-170.

09 March 2007

The Morning Psalm
Happy Are the People Whose Strength Is in You

Happy are they who dwell in your house!
they will always be praising you.
Happy are the people whose strength is in you!
whose hearts are set on the pilgrims’ way.
Those who go through the desolate valley will find it a place of springs,
for the early rains have covered it with pools of water.
They will climb from height to height,
and the God of gods will reveal himself in Zion.
LORD God of hosts, hear my prayer;
hearken, O God of Jacob. Behold our defender, O God;
and look upon the face of your Anointed.
For one day in your courts is better than a thousand in my own room,
and to stand at the threshold of the house of my God than to dwell in the tents of the wicked.
Psalm 84:3–9

08 March 2007

Antara Saving Grace dan Living Grace
pengantar untuk sebuah studi tentang Disiplin Rohani

1 Korintus 15:10
“Tetapi karena kasih karunia Allah aku adalah sebagaimana aku ada sekarang, dan kasih karunia yang dianugerahkan-Nya kepadaku tidak sia-sia. Sebaliknya, aku telah bekerja lebih keras dari pada mereka semua; tetapi bukannya aku, melainkan kasih karunia Allah yang menyertai aku.”

“But by the grace of God I am what I am, and His grace toward me was not in vain; but I labored more abundantly than they all, yet not I, but the grace of God which was with me.”
(New King James Version)



Memahami dengan utuh Teologi Kasih Karunia adalah satu hal, menghidupi dengan nyata Kebenaran Teologi Kasih Karunia itu di dalam suatu teopraksis adalah hal yang lain. Kita mungkin dapat berkata, "Aku telah diselamatkan oleh karena kasih karunia Tuhan." Tapi apakah kita berani berkata, "Saat ini aku menghidupi kasih karunia ini di dalam kerja keras yang nyata, bukan untuk diriku, melainkan untuk Tuhanku. Bahkan aku bekerja lebih keras dari banyak orang lain. Namun bukan karena aku, sekali lagi karena kasih karunia Allah yang nyata dalamku."

Paulus pernah mengatakannya (1Korintus 15:10). Saya yakin Anda dapat mengatakannya di dunia saat ini. Kuncinya adalah hidup di dalam Disiplin Kasih Karunia. Gereja telah kehilangan tatanan untuk pembangunan sebuah disiplin rohani. Bonhoeffer pernah berkata bahwa anugerah akan menjadi anugerah murahan jika gereja tidak lagi menerapkan disiplin bagi jemaatnya. Marilah kita mulai sebuah episode Kehidupan di dalam Disiplin Kasih Karunia-Nya.

Sebuah Teopraksi Kasih Karunia adalah Disiplin Kasih Karunia.

06 March 2007

An Eve' Prayer


Lord Jesus, stay with me, for evening is at hand and the day is past; be my companion in the way, kindle my heart, and awaken hope, that I may know you as you are revealed in Scripture and in the breaking of bread. Grant this for the sake of your love toward me. Amen. †



from "Te Divine Hour" [http://explorefaith.org/prayer/fixed/hours.php]
Kepekaan Sosial: Mewujudkan Ibadah Injili Yang Membumi
sebuah refleksi Yakobus 1:27


"Ibadah yang murni dan yang tak bercacat di hadapan Allah, Bapa kita, ialah mengunjungi yatim piatu dan janda-janda dalam kesusahan mereka, dan menjaga supaya dirinya sendiri tidak dicemarkan oleh dunia."


Di manakah kita bisa menemui Tuhan dan beribadah kepada-Nya? Percaya atau tidak, banyak para pemimpin gereja injili menjawab pertanyaan ini dengan serta merta: “ya, di dalam gereja” (maksudnya tentu saja di dalam gedung gereja). Hal ini bahkan secara teratur disampaikan di atas mimbar, yang pada gilirannya membentuk konsep dikotomis yang rancu di dalam pemikiran jemaat. Pada gilirannya, begitu banyak jemaat awam yang memiliki konsep teologis bahwa ibadah kepada Tuhan hanya dapat dilakukan di dalam gereja, atau di dalam “aktivitas-aktivitas rohani” tertentu. Dengan demikian, sebenarnya mereka “terperangkap” ke dalam konsep pemikiran yang terkotak-kotak antara “hal yang rohani” dan “hal yang duniawi,” antara yang “sakral” dan yang “sekuler.” Akibatnya, masalah tanggung jawab orang Kristen di tengah masyarakat yang majemuk, entah itu berkaitan dengan pekerjaan, aktivitas sosial, atau peran Kristen di tengah kancah politik bukan dianggap sebagai suatu bentuk ibadah bagi Tuhan.
Sebuah penelitian yang dilakukan pada tahun 2002 terhadap gereja-gereja injili di Jakarta dan Bandung mencatat, hanya sekitar 20-27 % dari seluruh responden yang mengalokasikan dana untuk urusan sosial. Alokasi dana sosial ini secara umum hanya digunakan untuk kegiatan-kegiatan seremonial (seperti Paskah, Natal, atau acara tertentu lainnya) 1-4 kali per tahun.[1] Penelitian ini sedikit banyak memberikan gambaran, betapa mengakarnya konsep pemikiran dualistik mengenai ibadah yang benar. John Stott dalam bukunya, Isu-isu Global: Menantang Kepemimpinan Kristiani, menggambarkan minimnya kepedulian sosial gereja dengan mencatat sebuah sajak seorang wanita miskin yang meminta bantuan seorang pendeta (entah sajak ini nyata ataukah sebuah sindiran):


Saya kelaparan,
dan Anda membentuk kelompok diskusi untuk membicarakan kelaparan saya.
Saya terpenjara,
dan Anda menyelinap ke kapel Anda untuk berdoa bagai kebebasan saya.
Saya telanjang,
dan Anda mempertanyakan dalam hati kelayakan penampilan saya.
Saya sakit,
dan Anda berlutut dan menaikkan syukur kepada Allah atas kesehatan Anda.
Saya tidak mempunyai tempat berteduh,
dan Anda berkhotbah kepada saya tentang kasih Allah sebagai tempat berteduh spiritual.
Saya kesepian, dan Anda meninggalkan saya sendirian untuk berdoa bagi saya.
Anda kelihatan begitu suci, begitu dekat kepada Allah.
Tapi saya tetap amat lapar – dan kesepian – dan kedinginan.
[2]

Ibadah yang benar: keutuhan hidup bagi Tuhan
Yakobus 1:27 tidak bisa dilepaskan dari konteks ayat 19-27, di mana Yakobus menekankan pentingnya kehidupan Kristen yang utuh: bukan saja mendengar dan meneliti firman, tetapi juga melakukan dan mewujudnyatakan kebenaran firman itu. Yakobus, yang berusaha menegur jemaat Kristen Yahudi yang masih terperangkap ibadah-ibadah formal-seremonial, menggambarkan orang yang mendengar firman namun tidak melakukannya sebagai “orang yang bercermin tetapi kemudian lupa akan rupanya sendiri” (1:23-24). Maka di ayat 26-27, Yakobus mengaitkan keutuhan hidup yang melakukan firman dengan konsep ibadah yang “murni dan tak bercacat di hadapan Allah.” Di ayat 26, Yakobus menghubungkan ibadah yang benar dengan bagaimana mengendalikan lidah. Seseorang yang menganggap dirinya begitu rohani dan taat “beribadah” tetapi yang kemudian tidak dapat mengendalikan lidahnya, sebenarnya telah melakukan “ibadah” yang sia-sia. Selanjutnya di ayat 27, ayat yang menjadi refleksi kita kali ini, Yakobus mengaitkan kemurnian dan kebenaran ibadah dengan aspek kepedulian terhadap sesama, khususnya kaum yang lemah.
Kata “ibadah” adalah terjemahan dari kata threskeia (dengan akar kata sifat threskos atau “beribadah” di ayat 26) digunakan hanya empat kali dalam PB, dua di antaranya pada Yakobus 1:26-27 ini. Baik NKJ, NRSV maupun NIV menerjemahkan kata ini dengan kata religion atau agama. Kata sifat threskos menggambarkan seseorang yang melakukan aktivitas keagamaan seperti ibadah secara umum, berpuasa, atau memberikan bantuan pada orang yang membutuhkan. Di sini Yakobus tidak hendak memberikan suatu definisi mengenai ibadah atau agama, melainkan menekankan ciri ibadah yang murni, yaitu ibadah yang memiliki kuasa yang mengubahkan hidup. Dari pemahaman konteks bagian ini, kita juga dapat memahami bahwa Yakobus tidak hendak menjelaskan suatu konsep yang seringkali disebut sebagai social gospel. Jelas bahwa ibadah atau agama yang benar lebih dari sekedar aktivitas lahiriah; ia harus lahir dari suatu kondisi kerohanian yang tulus, yang kemudian diekspresikan di dalam tindakan kasih akan sesama dan kekudusan hidup di hadapan Allah. Di sinilah pentingnya keseimbangan (saya sendiri lebih menyukai istilah “keutuhan”) dalam ibadah. Ibadah memang dapat diwujudkan dalam suatu relasi penyembahan yang khusus dan pribadi antara orang percaya dengan Allah di dalam satu bentuk seremoni atau liturgi khusus. Namun ibadah seremonial ini harus mewujud nyata di dalam tindakan sehari-hari yang “membumi,” termasuk dengan cara menyatakan kasih bagi sesama dan kepedulian terhadap segala “keruwetan” masalah di tengah bangsa.
Apa yang digambarkan Yakobus sebagai tindakan “mengunjungi yatim piatu dan janda-janda dalam kesusahan mereka” merupakan wujud kasih akan sesama sebagaimana yang diajarkan Yesus Kristus. Karena itu kata kerja “mengunjungi” (episkeptesthai) juga digunakan dalam Matius 25:36, 43, yang memiliki makna “mengunjungi orang yang sakit” bukan semata-mata karena suatu kewajiban sosial, tetapi terlebih untuk memperhatikan kebutuhan mereka secara tulus. Dalam catatan Matius tersebut dijelaskan bahwa, apapun tindakan kasih yang kita nyatakan kepada setiap orang yang paling membutuhkannya adalah sebuah tindakan bagi Kristus sendiri. Paulus menyebut hal ini sebagai “iman yang bekerja oleh kasih” (Gal 5:6). Hal yang kemudian ditambahkan Yakobus adalah, orang yang memiliki ibadah yang benar tidak akan membiarkan “dirinya tidak dicemarkan oleh dunia.” Kata “dunia” di dalam PB seringkali dikonotasikan dengan kekuatan iblis yang bekerja di tengah dunia yang selalu bertentangan dengan kebenaran Allah.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa ibadah yang murni dan berkenan di hadapan Allah bukanlah ibadah yang “di awang-awang” dan bersifat vertikal semata. Ibadah yang benar adalah ibadah yang “membumi,” yang bersifat baik vertikal maupun horisontal. Ibadah yang murni juga bukan sebuah pelarian dari masalah-masalah dunia ini ke dalam bentuk ritual-ritual yang “membius” diri. Ibadah yang tulus dan diterima Allah adalah ibadah yang menyadari kuasa dan karya penebusan Allah yang nyata dalam kehidupan kita, sembari menerima tanggung jawab dengan penuh kesadaran untuk berkarya nyata demi kemuliaan Allah di tengah dunia yang menyedihkan ini. Ibadah yang bersifat vertikalis dan tanpa korelasi dengan tindakan-tindakan kasih dalam kehidupan nyata adalah ibadah yang berpusat kepada diri sendiri, bukan kepada Allah. Ibadah yang berpusat kepada Allah akan selalu mendorong partisipasi umat untuk berani masuk ke dalam realita dunia, dan bukan “mencuci tangan” seperti Pilatus di tengah dunia yang sakit ini.
Konsep kemurnian dan keutuhan ibadah yang diajukan Yakobus ini juga sejalan dengan konsep kemurnian ibadah dalam PL. Penulis Amsal menegaskan, “Melakukan kebenaran dan keadilan lebih dikenan TUHAN dari pada korban” (Amsal 21:3). Kitab nabi-nabi kecil dengan jelas mengungkapkan perlunya transformasi ibadah yang menuju kemurnian dan keutuhannya. Dalam bentuk judgement oracle, Nabi Mikha mencatat apa yang lebih dikehendaki Allah dalam ibadah: “Dengan apakah aku akan pergi menghadap TUHAN dan tunduk menyembah kepada Allah yang di tempat tinggi? Akan pergikah aku menghadap Dia dengan korban bakaran, dengan anak lembu berumur setahun? Berkenankah TUHAN kepada ribuan domba jantan, kepada puluhan ribu curahan minyak? …” “Hai manusia, telah diberitahukan kepadamu apa yang baik. Dan apakah yang dituntut TUHAN dari padamu: selain berlaku adil, mencintai kesetiaan, dan hidup dengan rendah hati di hadapan Allahmu?” (Mikha 6:6-8). Bukankah potret umat Israel di dalam PL yang begitu mudah terjebak kepada ibadah seremonial daripada ibadah yang utuh dan berintegritas, adalah potret gereja Tuhan (khususnya gereja-gereja injili) dalam konteks Indonesia yang kacau ini?

Belajar dari Kristus
Pada suatu kesempatan orang-orang Farisi berusaha menjebak Yesus dengan pertanyaan, “Guru, apakah diperbolehkan membayar pajak kepada Kaisar atau tidak?” (Matius 22:15-21). Dan Yesus kemudian menjawab pertanyaan jebakan orang Farisi ini dengan memperlihatkan gambar dan tulisan yang terdapat di atas mata uang satu dinar. Dan Yesus kembali bertanya, “Gambar dan tulisan siapakah ini?” Jawab mereka, “gambar dan tulisan Kaisar.” Kemudian Yesus menjelaskan kepada mereka dengan tegas, “Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah” (bdk. Mark. 12:13-17; Luk. 20:20-26). Jawaban “telak” Tuhan Yesus ini menjelaskan bahwa kewajiban orang Yahudi membayar pajak kepada Kaisar tidak harus dipertentangkan dengan semua kewajiban mereka kepada Allah, termasuk memberi persembahan minimal dua kali setahun di Bait Allah pada waktu itu. Jawaban Yesus terhadap jebakan dikotomis “Allah vs. negara” ini menunjukkan bahwa tanggung jawab umat Tuhan kepada Allah harus dilihat secara berimbang dan utuh bersama tanggung jawab mereka kepada masyarakat, negara atau bangsa.
Apa yang digambarkan di dalam dialog antara Tuhan Yesus dengan orang-orang Farisi ini kemudian Ia lanjutkan dengan Hukum Kasih-Nya: “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu.” Dan “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (Mat. 22:37-39). Kasih kepada Allah secara utuh akan selalu dibarengi dengan kasih kepada sesama, karena dengan mengasihi Allah dengan segenap hidup kita, kasih akan sesama akan terwujud di dalam taraf yang tepat: “seperti dirimu sendiri.” Karena itu, kasih kepada Allah dan kasih akan sesama tidak bisa dipisahkan (bdk. 1Yoh. 4:7). Rahasia ibadah yang murni, utuh, dan berkenan kepada Allah sangat berkaitan dengan bagaimana kita mengasihi Allah dan sesama dengan tepat dan utuh.
Akhirnya, tidak ada alasan bagi gereja-Nya di dunia ini untuk menomorduakan atau mengesampingkan perannya di tengah dunia ini. Ibadah bukan hanya sebatas aktivitas di dalam gedung gereja, tetapi juga berpartisipasi, terlibat, dan ”berkubang” di tengah masalah-masalah yang dihadapi masyarakat. Benar apa yang dikatakan Rick Warren bahwa worship bukan sekedar memuji Tuhan atau suatu tata cara ibadah tertentu. Worship adalah ibadah yang membumi. Worship adalah menghadapi keseharian kita dengan mata tertuju kepada Kristus. Worship adalah berkarya sambil berikrar, ”ya Tuhan, segala yang kukerjakan ini adalah bagi kemuliaan-Mu semata.”


Yusuf Deswanto
(www.deswaprodei.blogspot.com)


















[1]Seperti dikutip Ferry Y. Mamahit, “Globalisasi, Gereja Injili dan Transformasi Sosial” Veritas 6/2 (Oktober 2005) 255-278 dari “Jurnal Studi, Pembangunan, Kemasyarakatan dan Lingkungan 4/1 (2002) 15-17.
[2](Jakarta:Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 1993) 11.

01 March 2007

Indahnya Anugerah Kebersamaan itu...
Minggu, 14 Januari 2007 adalah bersatunya keluarga yang lama hidup dalam "diaspora."
Rancangan Allah yang begitu indah membuat kami "terlongong" di dalam kekaguman...
Theo kecil sekarang telah melompat kegirangan di tengah pikuk taman kanak-kanak.
Sang mama telah begitu sibuk mempersiapkan bahan pengajarannya.
Dan aku terduduk dalam keterpanaan akan kasih-Nya yang tak berkesudahan...
25 Februari 2007; kami merayakan kebersamaan dalam syukur kami dengan cara menantang lampu kamera.
Kebersamaan itu begitu indah dan penuh sukacita...
Namun kebersamaan di dalam rengkuhan kasih Kristus melampaui segala nikmat yang pernah ada.
Ya Allah, aku ingin mempersembahkan keluarga yang kecil ini bagi keagungan nama-Mu.
"Tak berkesudahan kasih setia TUHAN, tak habis-habisnya rahmat-Nya,
selalu baru tiap pagi; besar kesetiaan-Mu!"
Ratapan 3:22-23

Tuntutan & Advokasi bagi Negeri


Berapa lama lagi, TUHAN, aku berteriak, tetapi tidak Kaudengar, aku berseru kepada-Mu: "Penindasan!" tetapi tidak Kautolong?
Mengapa Engkau memperlihatkan kepadaku kejahatan, sehingga aku memandang kelaliman? Ya, aniaya dan kekerasan ada di depan mataku; perbantahan dan pertikaian terjadi.
Itulah sebabnya hukum kehilangan kekuatannya dan tidak pernah muncul keadilan, sebab orang fasik mengepung orang benar; itulah sebabnya keadilan muncul terbalik.
(Hab. 1:2-4)
Sekalipun pohon ara tidak berbunga, pohon anggur tidak berbuah, hasil pohon zaitun mengecewakan, sekalipun ladang-ladang tidak menghasilkan bahan makanan, kambing domba terhalau dari kurungan, dan tidak ada lembu sapi dalam kandang, namun aku akan bersorak-sorak di dalam TUHAN, beria-ria di dalam Allah yang menyelamatkan aku. ALLAH Tuhanku itu kekuatanku: Ia membuat kakiku seperti kaki rusa, Ia membiarkan aku berjejak di bukit-bukitku.
(Hab. 3:17-19)


Mendung menggelayut terus di langit pertiwi. Kata orang, Indonesia sedang kena tulah; tenggelam di dalam benang kusut masalah yang tak kunjung terselesaikan, masuk dalam episode-episode drama kengerian yang tak kunjung ada kata "tamat." Di bawah, para kurcaci hidup tenggelam dalam lumpur dan banjir musiman. Di atas para saudagar terengah-engah merengkuh harta dan kuasa.

Hari ini aku diajar untuk menjadi penuntut umum, sekaligus menjadi pembela negeriku. Berjuang untuk menuntut Hakim Agung bertindak mengadili negeri yang telah korup ini. Bertelut sebagai pembela, agar kemusnahan tidak menimpa negeri yang dihuni umat Sang Hakim.

"Tuhan, bereskan negeri dan segala kelaliman penguasa negeri ini. Vonis negeri ini dengan ketuk palu-Mu, "Bersalah!"

Namun biarlah umat-Mu diam di dalam keteduhan rengkuh-Mu. Berharap Engkau akan memulihkan negeri ini."