06 March 2007

Kepekaan Sosial: Mewujudkan Ibadah Injili Yang Membumi
sebuah refleksi Yakobus 1:27


"Ibadah yang murni dan yang tak bercacat di hadapan Allah, Bapa kita, ialah mengunjungi yatim piatu dan janda-janda dalam kesusahan mereka, dan menjaga supaya dirinya sendiri tidak dicemarkan oleh dunia."


Di manakah kita bisa menemui Tuhan dan beribadah kepada-Nya? Percaya atau tidak, banyak para pemimpin gereja injili menjawab pertanyaan ini dengan serta merta: “ya, di dalam gereja” (maksudnya tentu saja di dalam gedung gereja). Hal ini bahkan secara teratur disampaikan di atas mimbar, yang pada gilirannya membentuk konsep dikotomis yang rancu di dalam pemikiran jemaat. Pada gilirannya, begitu banyak jemaat awam yang memiliki konsep teologis bahwa ibadah kepada Tuhan hanya dapat dilakukan di dalam gereja, atau di dalam “aktivitas-aktivitas rohani” tertentu. Dengan demikian, sebenarnya mereka “terperangkap” ke dalam konsep pemikiran yang terkotak-kotak antara “hal yang rohani” dan “hal yang duniawi,” antara yang “sakral” dan yang “sekuler.” Akibatnya, masalah tanggung jawab orang Kristen di tengah masyarakat yang majemuk, entah itu berkaitan dengan pekerjaan, aktivitas sosial, atau peran Kristen di tengah kancah politik bukan dianggap sebagai suatu bentuk ibadah bagi Tuhan.
Sebuah penelitian yang dilakukan pada tahun 2002 terhadap gereja-gereja injili di Jakarta dan Bandung mencatat, hanya sekitar 20-27 % dari seluruh responden yang mengalokasikan dana untuk urusan sosial. Alokasi dana sosial ini secara umum hanya digunakan untuk kegiatan-kegiatan seremonial (seperti Paskah, Natal, atau acara tertentu lainnya) 1-4 kali per tahun.[1] Penelitian ini sedikit banyak memberikan gambaran, betapa mengakarnya konsep pemikiran dualistik mengenai ibadah yang benar. John Stott dalam bukunya, Isu-isu Global: Menantang Kepemimpinan Kristiani, menggambarkan minimnya kepedulian sosial gereja dengan mencatat sebuah sajak seorang wanita miskin yang meminta bantuan seorang pendeta (entah sajak ini nyata ataukah sebuah sindiran):


Saya kelaparan,
dan Anda membentuk kelompok diskusi untuk membicarakan kelaparan saya.
Saya terpenjara,
dan Anda menyelinap ke kapel Anda untuk berdoa bagai kebebasan saya.
Saya telanjang,
dan Anda mempertanyakan dalam hati kelayakan penampilan saya.
Saya sakit,
dan Anda berlutut dan menaikkan syukur kepada Allah atas kesehatan Anda.
Saya tidak mempunyai tempat berteduh,
dan Anda berkhotbah kepada saya tentang kasih Allah sebagai tempat berteduh spiritual.
Saya kesepian, dan Anda meninggalkan saya sendirian untuk berdoa bagi saya.
Anda kelihatan begitu suci, begitu dekat kepada Allah.
Tapi saya tetap amat lapar – dan kesepian – dan kedinginan.
[2]

Ibadah yang benar: keutuhan hidup bagi Tuhan
Yakobus 1:27 tidak bisa dilepaskan dari konteks ayat 19-27, di mana Yakobus menekankan pentingnya kehidupan Kristen yang utuh: bukan saja mendengar dan meneliti firman, tetapi juga melakukan dan mewujudnyatakan kebenaran firman itu. Yakobus, yang berusaha menegur jemaat Kristen Yahudi yang masih terperangkap ibadah-ibadah formal-seremonial, menggambarkan orang yang mendengar firman namun tidak melakukannya sebagai “orang yang bercermin tetapi kemudian lupa akan rupanya sendiri” (1:23-24). Maka di ayat 26-27, Yakobus mengaitkan keutuhan hidup yang melakukan firman dengan konsep ibadah yang “murni dan tak bercacat di hadapan Allah.” Di ayat 26, Yakobus menghubungkan ibadah yang benar dengan bagaimana mengendalikan lidah. Seseorang yang menganggap dirinya begitu rohani dan taat “beribadah” tetapi yang kemudian tidak dapat mengendalikan lidahnya, sebenarnya telah melakukan “ibadah” yang sia-sia. Selanjutnya di ayat 27, ayat yang menjadi refleksi kita kali ini, Yakobus mengaitkan kemurnian dan kebenaran ibadah dengan aspek kepedulian terhadap sesama, khususnya kaum yang lemah.
Kata “ibadah” adalah terjemahan dari kata threskeia (dengan akar kata sifat threskos atau “beribadah” di ayat 26) digunakan hanya empat kali dalam PB, dua di antaranya pada Yakobus 1:26-27 ini. Baik NKJ, NRSV maupun NIV menerjemahkan kata ini dengan kata religion atau agama. Kata sifat threskos menggambarkan seseorang yang melakukan aktivitas keagamaan seperti ibadah secara umum, berpuasa, atau memberikan bantuan pada orang yang membutuhkan. Di sini Yakobus tidak hendak memberikan suatu definisi mengenai ibadah atau agama, melainkan menekankan ciri ibadah yang murni, yaitu ibadah yang memiliki kuasa yang mengubahkan hidup. Dari pemahaman konteks bagian ini, kita juga dapat memahami bahwa Yakobus tidak hendak menjelaskan suatu konsep yang seringkali disebut sebagai social gospel. Jelas bahwa ibadah atau agama yang benar lebih dari sekedar aktivitas lahiriah; ia harus lahir dari suatu kondisi kerohanian yang tulus, yang kemudian diekspresikan di dalam tindakan kasih akan sesama dan kekudusan hidup di hadapan Allah. Di sinilah pentingnya keseimbangan (saya sendiri lebih menyukai istilah “keutuhan”) dalam ibadah. Ibadah memang dapat diwujudkan dalam suatu relasi penyembahan yang khusus dan pribadi antara orang percaya dengan Allah di dalam satu bentuk seremoni atau liturgi khusus. Namun ibadah seremonial ini harus mewujud nyata di dalam tindakan sehari-hari yang “membumi,” termasuk dengan cara menyatakan kasih bagi sesama dan kepedulian terhadap segala “keruwetan” masalah di tengah bangsa.
Apa yang digambarkan Yakobus sebagai tindakan “mengunjungi yatim piatu dan janda-janda dalam kesusahan mereka” merupakan wujud kasih akan sesama sebagaimana yang diajarkan Yesus Kristus. Karena itu kata kerja “mengunjungi” (episkeptesthai) juga digunakan dalam Matius 25:36, 43, yang memiliki makna “mengunjungi orang yang sakit” bukan semata-mata karena suatu kewajiban sosial, tetapi terlebih untuk memperhatikan kebutuhan mereka secara tulus. Dalam catatan Matius tersebut dijelaskan bahwa, apapun tindakan kasih yang kita nyatakan kepada setiap orang yang paling membutuhkannya adalah sebuah tindakan bagi Kristus sendiri. Paulus menyebut hal ini sebagai “iman yang bekerja oleh kasih” (Gal 5:6). Hal yang kemudian ditambahkan Yakobus adalah, orang yang memiliki ibadah yang benar tidak akan membiarkan “dirinya tidak dicemarkan oleh dunia.” Kata “dunia” di dalam PB seringkali dikonotasikan dengan kekuatan iblis yang bekerja di tengah dunia yang selalu bertentangan dengan kebenaran Allah.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa ibadah yang murni dan berkenan di hadapan Allah bukanlah ibadah yang “di awang-awang” dan bersifat vertikal semata. Ibadah yang benar adalah ibadah yang “membumi,” yang bersifat baik vertikal maupun horisontal. Ibadah yang murni juga bukan sebuah pelarian dari masalah-masalah dunia ini ke dalam bentuk ritual-ritual yang “membius” diri. Ibadah yang tulus dan diterima Allah adalah ibadah yang menyadari kuasa dan karya penebusan Allah yang nyata dalam kehidupan kita, sembari menerima tanggung jawab dengan penuh kesadaran untuk berkarya nyata demi kemuliaan Allah di tengah dunia yang menyedihkan ini. Ibadah yang bersifat vertikalis dan tanpa korelasi dengan tindakan-tindakan kasih dalam kehidupan nyata adalah ibadah yang berpusat kepada diri sendiri, bukan kepada Allah. Ibadah yang berpusat kepada Allah akan selalu mendorong partisipasi umat untuk berani masuk ke dalam realita dunia, dan bukan “mencuci tangan” seperti Pilatus di tengah dunia yang sakit ini.
Konsep kemurnian dan keutuhan ibadah yang diajukan Yakobus ini juga sejalan dengan konsep kemurnian ibadah dalam PL. Penulis Amsal menegaskan, “Melakukan kebenaran dan keadilan lebih dikenan TUHAN dari pada korban” (Amsal 21:3). Kitab nabi-nabi kecil dengan jelas mengungkapkan perlunya transformasi ibadah yang menuju kemurnian dan keutuhannya. Dalam bentuk judgement oracle, Nabi Mikha mencatat apa yang lebih dikehendaki Allah dalam ibadah: “Dengan apakah aku akan pergi menghadap TUHAN dan tunduk menyembah kepada Allah yang di tempat tinggi? Akan pergikah aku menghadap Dia dengan korban bakaran, dengan anak lembu berumur setahun? Berkenankah TUHAN kepada ribuan domba jantan, kepada puluhan ribu curahan minyak? …” “Hai manusia, telah diberitahukan kepadamu apa yang baik. Dan apakah yang dituntut TUHAN dari padamu: selain berlaku adil, mencintai kesetiaan, dan hidup dengan rendah hati di hadapan Allahmu?” (Mikha 6:6-8). Bukankah potret umat Israel di dalam PL yang begitu mudah terjebak kepada ibadah seremonial daripada ibadah yang utuh dan berintegritas, adalah potret gereja Tuhan (khususnya gereja-gereja injili) dalam konteks Indonesia yang kacau ini?

Belajar dari Kristus
Pada suatu kesempatan orang-orang Farisi berusaha menjebak Yesus dengan pertanyaan, “Guru, apakah diperbolehkan membayar pajak kepada Kaisar atau tidak?” (Matius 22:15-21). Dan Yesus kemudian menjawab pertanyaan jebakan orang Farisi ini dengan memperlihatkan gambar dan tulisan yang terdapat di atas mata uang satu dinar. Dan Yesus kembali bertanya, “Gambar dan tulisan siapakah ini?” Jawab mereka, “gambar dan tulisan Kaisar.” Kemudian Yesus menjelaskan kepada mereka dengan tegas, “Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah” (bdk. Mark. 12:13-17; Luk. 20:20-26). Jawaban “telak” Tuhan Yesus ini menjelaskan bahwa kewajiban orang Yahudi membayar pajak kepada Kaisar tidak harus dipertentangkan dengan semua kewajiban mereka kepada Allah, termasuk memberi persembahan minimal dua kali setahun di Bait Allah pada waktu itu. Jawaban Yesus terhadap jebakan dikotomis “Allah vs. negara” ini menunjukkan bahwa tanggung jawab umat Tuhan kepada Allah harus dilihat secara berimbang dan utuh bersama tanggung jawab mereka kepada masyarakat, negara atau bangsa.
Apa yang digambarkan di dalam dialog antara Tuhan Yesus dengan orang-orang Farisi ini kemudian Ia lanjutkan dengan Hukum Kasih-Nya: “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu.” Dan “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (Mat. 22:37-39). Kasih kepada Allah secara utuh akan selalu dibarengi dengan kasih kepada sesama, karena dengan mengasihi Allah dengan segenap hidup kita, kasih akan sesama akan terwujud di dalam taraf yang tepat: “seperti dirimu sendiri.” Karena itu, kasih kepada Allah dan kasih akan sesama tidak bisa dipisahkan (bdk. 1Yoh. 4:7). Rahasia ibadah yang murni, utuh, dan berkenan kepada Allah sangat berkaitan dengan bagaimana kita mengasihi Allah dan sesama dengan tepat dan utuh.
Akhirnya, tidak ada alasan bagi gereja-Nya di dunia ini untuk menomorduakan atau mengesampingkan perannya di tengah dunia ini. Ibadah bukan hanya sebatas aktivitas di dalam gedung gereja, tetapi juga berpartisipasi, terlibat, dan ”berkubang” di tengah masalah-masalah yang dihadapi masyarakat. Benar apa yang dikatakan Rick Warren bahwa worship bukan sekedar memuji Tuhan atau suatu tata cara ibadah tertentu. Worship adalah ibadah yang membumi. Worship adalah menghadapi keseharian kita dengan mata tertuju kepada Kristus. Worship adalah berkarya sambil berikrar, ”ya Tuhan, segala yang kukerjakan ini adalah bagi kemuliaan-Mu semata.”


Yusuf Deswanto
(www.deswaprodei.blogspot.com)


















[1]Seperti dikutip Ferry Y. Mamahit, “Globalisasi, Gereja Injili dan Transformasi Sosial” Veritas 6/2 (Oktober 2005) 255-278 dari “Jurnal Studi, Pembangunan, Kemasyarakatan dan Lingkungan 4/1 (2002) 15-17.
[2](Jakarta:Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 1993) 11.

No comments: