22 November 2006


Menempatkan Allah sebagai Allah
menjunjung Kedaulatan Allah dan mengenal Dia dengan benar: sebuah refleksi

Kejatuhan Adam (dan Hawa) ke dalam dosa – dengan memakan buah dari “pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat” – bukanlah berakar dari masalah perut, meski memang buah itu nampak “sedap untuk dimakan” (Kej. 3:6). Akar kejatuhan Adam dan Hawa adalah karena pohon itu “mampu memberi mereka pengertian.” Dengan kata lain, Adam dan Hawa jatuh karena mereka ingin berpengertian sama seperti Allah. Mereka ingin seperti Allah: tidak sekedar tunduk dan patuh terhadap kebaikan moral yang Allah telah tetapkan, tetapi menentukan standar moral itu sendiri (otonomi – menentukan hukum bagi diri sendiri). Celakanya, episode dari “Drama Manusia ingin Menjadi Allah” ini tidak berhenti dalam kisah Adam dan Hawa ini. Semangat menjadi allah bagi diri sendiri terus ada di dalam jiwa manusia, baik dalam sejarah Israel, maupun dalam sejarah umat Tuhan, hingga saat ini.
Tanya kenapa? Mengapa Israel begitu mudah jatuh dalam penyembahan berhala? Padahal Allah terus mengingatkan, ”Akulah TUHAN, yang membebaskan engkau dari perbudakan Mesir” (bdk. Kel. 6:6-7; 20:2; 29:46; Im. 11:45; dst.). Toh akhirnya kita tahu, mentalitas penyembahan berhala telah begitu kuat merasuk dalam jiwa Israel, sehingga mereka juga menempatkan TUHAN Allah tak lebih dari salah satu dari berhala-berhala yang ada. Mentalitas penyembahan berhala? Ya, Israel telah salah kaprah. Mereka berpikir bahwa Allah YHWH sama dengan berhala-berhala Mesir, yang dapat disembah-sembah, disogok dengan persembahan sesajen, lalu disuruh menuruti kemauan mereka, disuruh mencukupi segala kebutuhan mereka, disuruh membuat mereka aman dan nyaman, dan disuruh membuat hidup mereka bebas dari masalah. Buktinya apa? Israel yang mudah bersungut-sungut, Israel yang mudah menuntut jika hidupnya sedikit susah, dan Israel yang mudah mencari cara sendiri untuk setiap penyelesaian masalah mereka adalah bukti bahwa Israel telah menempatkan TUHAN Allah sebagai berhala yang menuruti kemauan mereka. Inilah mentalitas penyembahan berhala; Allah disuruh-suruh menuruti kemauan manusia! Pada akhirnya, inti dari penyembahan berhala akhirnya adalah kepentingan diri sendiri. Itulah meng-illah-kan diri sendiri: motif dari segala penyembahan sebenarnya adalah kepentingan diri, alias self-oriented atau self-centrist.
Menyitir apa yang dikatakan Pdt. Eka Darmaputera, ”Mempercayai Allah sebagai Allah tidak cukup hanya mengalihkan obyek kepercayaan dari illah politeistik kepada Allah yang monoteistik.” Artinya, mempercayai Allah sebagai Allah adalah masalah menempatkan Allah sebagai Allah. Hal ini berarti bahwa yang berdaulat, yang berkehendak, dan yang menetapkan segala sesuatu di dalam hidup kita bukanlah diri kita, melainkan Allah Yang Mahakuasa. Mempercayai Allah sebagai Allah adalah menempatkan Allah sebagai orientasi penyembahan kita, menempatkan Ia sebagai orientasi hidup kita, dan menempatkan-Nya (dan kemuliaan-Nya) sebagai tujuan hidup kita. Pokoke, yang utama dan terutama dalam perjalanan hidup kita haruslah bagaimana Allah ditinggikan sebagai Allah, titik.
Nah, celakanya mentalitas ”penyembahan berhala” (atau penyembahan diri) ini tidak berhenti sampai kisah Israel. Umat Tuhan di sepanjang zaman terus dibayangi mentalitas semacam ini. Yang paling kronis adalah realita berjemaat saat ini. Tanya kenapa? Mengapa dan untuk apa orang Kristen saat ini datang ”berbondong-bondong” ke gereja setiap hari Minggu? Yang paling banyak terlontar dari mulut mereka untuk menjawab pertanyaan ini adalah: ”agar hidupku diberkati Allah, agar usahaku lancar, agar aku dijauhkan dari segala penyakit, agar rumah tanggaku bahagia dan jauh dari percecokkan.” Walah, kalau kebanyakan umat Tuhan datang ke gereja dengan motivasi seperti ini, apa bedanya orang Kristen dengan Israel? Coba tebak, apa reaksi kebanyakan orang Kristen ketika kesulitan menjamah hidup mereka? ”Tuhan, mengapa aku harus mengalami ini semua? Buktikan dong kalau Engkau Tuhan yang penuh kuasa. Tolonglah aku, lepaskan aku dari masalah ini, lepaskan aku dari penyakit ini, lepaskan aku dari utang-utang perusahaan ini, dan seterusnya, dan seterusnya.” Coba tebak, siapa yang diuntungkan terus dalam ibadah kontemporer semacam ini? Bukan Tuhan yang dimuliakan, tetapi perut terus dikenyangkan! Tanya kenapa? Mengapa setiap ibadah di gereja, banyak jemaat yang setia menanti doa berkat dari sang pendeta, namun begitu terburu-buru mau pulang ketika menaikkan pujian doksologi yang menutup ibadah? Itu semua berakar dari motivasi diri dalam menyembah dan beribadah di gereja. Itu semua berakar dari bagaimana menempatkan Allah sebagai Allah. Kalau Allah ditempatkan tidak lebih daripada berhala yang mudah disuruh-suruh untuk memenuhi semua kebutuhan dan kemauan kita, jadinya ya seperti ini.
Oops, semua ini bukan tulisan anti berkat Tuhan, lho. Berkat kog ditolak! Ya itulah, semua kembali kepada bagaimana kita menempatkan berkat secara tepat di dalam relasi kita dengan Allah. Yang namanya berkat itu tergantung kerelaan hati yang memberi; diberi yang syukur, tidak juga puji syukur. Bukankah berkat identik dengan anugerah? Coba lihat janji berkat Allah kepada Abraham dalam Kejadian 12:1-3? Apakah Abraham berhak menuntut, ketika kesulitan hidupnya datang? Di sinilah letak kesalahannya, iman Abraham dibuktikan melalui ketaatannya kepada Allah, baru kemudian janji berkat Allah digenapi. Pemahaman ini jangan dibalik-balik. Berkat adalah dampak dari penyembahan yang benar kepada Allah. Maka berkat tidak perlu dikejar-kejar, terlalu dirindukan, atau bahkan dipuja-puja. Kalau kita sedikit lebih jujur, Perjanjian Baru malah mengajarkan kepada kita untuk berani hidup susah di tengah dunia ini. Perhatikan apa yang terus ditekankan penulis Injil mengenai mengikut Kristus: ”Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku” (Luk. 9:23; 14:27; Mat. 10:38).
Jadi, bagaimana selama ini kita melihat Allah? Coba simak pendapat St. Agustine yang sangat tajam ini: ”Allah menjadi Allah yang melukai harga diri manusia.” Dallas Willard pun berkomentar mengenai mentalitas meng-illahkan diri ini dalam bukunya, Renovation of the Heart: ”Jika Allah menjalankan alam semesta dan yang pertama-tama mengajukan klaim atas hidup kita, coba tebak siapa yang tidak menjalankan alam semesta dan tidak mendapatkan segala sesuatu seperti yang mereka sukai?” Masih tetap mau menjadi umat Tuhan yang sejati? Sangkali diri, pikul salib Kristus setiap hari, dan ikutlah Dia!


(buat "prof " en sobatku: thanks untuk risalah ”Mitos Kehendak Bebas”-nya...)

No comments: