15 November 2007



Orang Benar Hidup Oleh Percayanya
Lukas 19:1-10


Introduksi
Di setiap zaman dan di dalam kelompok sosial manapun selalu saja ada orang-orang yang dianggap sebagai orang-orang buangan, orang yang paling dibenci, atau sampah masyarakat! Bagi masyarakat kita saat ini, para penghuni jeruji bersi, para penghuni panti rehabilitasi narkoba, atau para penghuni lokalisasi mungkin saja dianggap sebagai kaum terpinggirkan. Namun pada masa kehidupan Tuhan Yesus, seorang yang kaya raya seperti Zakheus bukanlah orang yang terhormat. Meski ia bergelimang dengan fasilitas serta kemewahan, Zakheus adalah salah satu contoh dari apa yang kita sebut sekarang sebagai “sampah masyarakat” waktu itu. Mengapa demikian? Seorang pemungut cukai saja, bagi masyarakat Yahudi waktu itu, adalah “pengkhianat bangsa” karena bekerja untuk pemerintah kafir Romawi. Apalagi Zakheus, yang adalah “kepala pemungut cukai.” Dialah “public enemy number one,” salah satu orang yang paling dibenci masyarakat Yahudi pada waktu itu! Orang tuanya memberi nama “Zakheus,” dari kata Zakkai yang berarti “jujur” atau “jernih.” Namun ironis, hidup Zakheus yang memeras bangsanya sendiri ternyata penuh dengan tipu muslihat dan permainan kotor mengeruk keuntungan dari penderitaan orang lain. Dan Zakheus pun semakin dijauhi masyarakat!!

Zakheus yang Antusias Mengenal Kristus
Penolakan masyarakat pada waktu bukan tidak mungkin membuat hidup Zakheus sangat kesepian. Mungkin sebagai kepala kantor pajak di kota Yerikho ia bisa membeli apapun yang ia mau, termasuk pelayan-pelayan yang bisa menemaninya. Namun sebagai manusia ia tentu membutuhkan teman yang mau menerima dia dengan tulus. Kisah dalam Lukas 19 :1-10 ini dimulai dengan perjalanan Yesus Kristus memasuki dan melintasi kota Yerikho. Kedatangan Sang Guru yang mulai tenar ini tentu saja sampai ke telinga Zakheus. Di sinilah muncul pengharapannya akan perubahan di dalam hidupnya yang sepi.
“Ah, aku harus melihat Dia…” demikian mungkin ia berpikir. “Selama ini orang banyak memperbincangkan mengenai Yesus dari Nazareth yang banyak menyembuhkan orang sakit, dan menjadi sahabat orang-orang terpinggirkan sepertiku. Mungkinkah aku dapat bertemu dan mengenal-Nya?”
Berbeda dengan para rabi yang sangat benci kepada para pemungut cukai, pelacur dan pendosa, Yesus justru termashur sebagai "sahabat para pemungut cukai dan pendosa" (Luk 7:34). Mungkin itulah yang mendorong Zakheus ingin melihat Dia. “Aku harus bertemu dengan Yesus dari Nazareth itu. Harus…!”
Maka, segeralah Zakheus keluar rumahnya. Melihat kerumunan orang yang mulai memadati jalan, dan menyadari tubuhnya yang pendek sehingga sulit melihat di sela-sela orang banyak, maka Zakheus pun berlari-lari dan akhirnya menemukan sebuah pohon ara hutan yang cukup tinggi namun mudah dipanjat. Maka memanjatlah Zakheus ke atas pohon itu...
Saya tidak bisa membayangkan. Zakheus tentu saja tidak mengenakan jeans ketat seperti anak-anak muda zaman sekarang. Pada zaman itu, seorang yang kaya seperti Zakheus ke mana-mana selalu mengenakan jubah yang mahal. Ketika ia berlari-lari mendahului orang banyak dan memanjat pohon ara hutan itu, dia pasti akan mengangkat jubahnya tinggi-tinggi. Di dalam tradisi Yahudi pada waktu itu, seorang laki-laki sekalipun pantang mengangkat jubahnya sehingga kakinya nampak bagi orang lain, karena hal itu berarti mempermalukan diri sendiri. Namun Zakheus bukan saja berlari mengangkat jubahnya. Ia bahkan memanjat sebuah pohon besar, dan tentu saja ia tidak peduli lagi setinggi apa jubahnya tersingkap. Mungkin saja pada waktu itu banyak orang-orang mencibirkannya dengan muak.
“Huh... lihat…! Si Kerdil Kepala Pemungut Cukai itu bukan saja tidak tahu malu memeras kita dengan pajak untuk orang-orang kafir. Dia bahkan sudah kehilangan rasa malunya hingga bertingkah seperti anak kecil…”
Namun Zakheus tidak peduli. Yang dipikirkannya hanyalah satu hal:
“Aku harus melihat Dia… Aku harus bertemu Yesus…” mungkin inilah yang dipikirkan Zakheus terus.
Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan. Apa yang dapat kita pelajari dari sikap dan tindakan Zakheus ini? Zakheus memiliki kerinduan, hasrat, dan antusiasme yang luar biasa untuk bertemu Yesus. Semangat dan kerinduan bertemu Yesus itulah yang membuat ia melakukan apapun, bahkan yang dianggap memalukan pada waktu itu. Di balik sikap yang penuh antusias ini sebenarnya tersimpan kerendahan hati Zakheus yang membutuhkan kehadiran Yesus dalam hidupnya. Di balik semangat Zakheus ini tersirat juga keinginan menggebu Zakheus agar hidupnya dapat diubahkan. Kesepian dan kekosongan hidupnya membuatnya rindu bertemu seorang Sahabat yang mampu mengubah hidupnya.
Antusiasme sekaligus kerendahan hati yang tulus seperti inilah yang harus menjadi modal dasar seseorang yang ingin mengalami pembaharuan hidupnya. Semangat dan hasrat yang tulus seperti yang dimiliki Zakheus ini tidak hanya harus kita miliki ketika kita bertobat menerima Kristus untuk pertama kalinya. Sikap antusias seperti ini harus terus kita miliki agar hidup kita terus diubahkan Allah. Karena itu, Tuhan Yesus sendiri di bagian lain mengajarkan: “Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga” (Mat. 5:3). Istilah “miskin di hadapan” adalah sikap yang terus membutuhkan Allah di dalam hidup kita.

Iman yang Memerdekakan vs. Konsep Hidup yang Terpenjarakan
Mari kita lanjutkan kisah kita kembali… Kisah perjumpaan Tuhan Yesus dengan Zakheus adalah kisah yang menggambarkan Allah (Yesus Kristus) yang bertindak terlebih dahulu untuk mencari dan menyelamatkan yang hilang (ay. 10). Ketika Tuhan Yesus telah sampai ke tempat di mana Zakheus memanjat pohon, Ia memandang Zakheus dengan tatapan bersahabat, dan kemudian memanggil nama Zakheus, “Zakheus, segeralah turun, sebab hari ini Aku harus menumpang di rumahmu.” Betapa Zakheus melonjak dengan penuh kegirangan. Orang yang ingin dikenalnya, ternyata telah mengenalnya. Ia mungkin sedikit terheran-heran,
“Dari mana Yesus tahu namaku? Ah, nampaknya Guru yang satu ini benar-benar penuh kuasa.” Namun segera ia melupakan keheranannya ini. Yang dirasakannya adalah sukacita yang meluap-luap. Bagaimana tidak, Sang Guru yang penuh kuasa ini hendak menumpang di rumahnya. Apalagi Sang Guru ini mengatakan “harus” yang berarti Ia pasti menumpang di rumahnya. O, betapa bahagianya Zakheus. Hidupnya selama ini dijauhi orang dan penuh dengan rasa sepi, saat ini malah dikunjungi oleh Seorang yang sangat luar biasa.
“Yesus mau menumpang di rumahku…? Ha… memikirkannya pun aku tak pernah.”
Maka Lukas mencatat di ayat 6: “Lalu Zakheus segera turun dan menerima Yesus dengan sukacita.”
Zakheus bersukacita karena untuk pertama kalinya ia merasakan kemerdekaan sejati; yaitu kemerdekaan dari rasa bersalah dan tidak berguna. Sukacita Zakheus adalah sebuah tanda kemerdekaannya dari keterasingannya selama ini. Zakheus bersukacita. Zakheus merdeka…!
Berbeda dengan Zakheus yang bersukacita, semua orang lain yang melihat peristiwa itu malah tidak senang ketika Tuhan Yesus menumpang di rumah Zakheus. Dalam tradisi mereka, orang yang menumpang di rumah, dan kemudian makan semeja dengan orang yang berdosa berarti menyetujui dosa orang tersebut. Orang-orang itupun bersungut-sungut:
“Lihat, Guru yang katanya penuh kuasa itu ternyata mau bergaul dengan Sang Pemungut Pajak yang berdosa itu. Jangan-jangan…”
Jemaat yang dikasihi Tuhan. Sikap hati dan tindakan Zakheus yang penuh antusias dan sukacita dengan indah seolah dipertentangkan (dikontraskan) dengan sikap orang-orang yang bersungut-sungut. Zakheus tidak mau terpenjarakan dengan kondisi hidupnya yang berdosa dan disisihkan masyarakat. Ketulusan, kerendahan hati, dan antusiasme-nya telah membawa Zakheus pada kemerdekaan hidup. Sedangkan orang-orang yang merasa sudah cukup puas dengan hidupnya, sehingga mereka merasa tidak membutuhkan Yesus, akhirnya terus hidup dalam keterpenjaraan. Zakheus telah berubah dan dimerdekakan. Namun orang-orang ini tetap terpasung dengan konsep pikirnya…
Jemaat yang dikasihi Tuhan, ketertutupan hati orang-orang ini terhadap perubahan hidup sangat mungkin terjadi dalam diri kita sendiri. Kita semua memiliki potensi terpasung dalam konsep pikir yang tidak mau berubah. Diawali dengan cara pandang kita yang cenderung memenjarakan diri dan orang lain:
“Ah, dari dulu aku khan begini. Mana bisa aku berubah.” Akhirnya cara pandang ini kita terapkan kepada orang lain: “Dasar kamu gak pernah berubah, dari dulu memang begitu. Sampai kapanpun kamu nggak mungkin berubah.”
Mari kita belajar dari Zakheus yang membuka dirinya kepada perubahan yang dikerjakan Allah. Dengan sikap keterbukaannya inilah, ia mengalami keberdekaan hidup. Imannya terhadap perubahan telah membawa hidup Zakheus benar-benar diubahkan oleh Allah melalui kehadiran Yesus Kristus. Hal inipun bisa kita alami!

Iman yang Merubah Tujuan dan Orientasi Hidup
Apa yang terjadi ketika Zakheus, Kepala Kantor Pajak Yerikho, berjumpa dengan Yesus dan menerima Dia di rumahnya?
Sebagai respons dari kasih Yesus yang telah menyentuh hidupnya, Zakheus menyatakan pertobatannya sekaligus perubahan orientasi hidupnya: “Tuhan, setengah dari milikku akan kuberikan kepada orang miskin dan sekiranya ada sesuatu yang kuperas dari seseorang akan kukembalikan empat kali lipat.”
Zakheus sungguh-sungguh bertobat, dan mengalami perubahan orientasi hidup secara mendasar (radikal) dan menyeluruh (total). Sebagai respons atau tanggapannya terhadap anugerah Allah, Zakheus melepaskan separuh atau 50% dari kekayaannya untuk dipersembahkan bagi orang-orang miskin. Bukan hanya itu, dia berjanji untuk mengembalikan empat kali lipat dari harta kekayaannya, seandainya ada yang diperolehnya dengan cara memeras orang lain. Jika kedua hal ini dilakukan, tanpa menghitung jumlah uang yang mungkin akan dikembalikan Zakheus kita bisa memperkirakan bahwa Zakheus berada di ujung kebangkrutan!
Di sinilah kita melihat suatu makna pertobatan yang sangat dalam. Sebelum bertemu Tuhan Yesus, apa yang terus diinginkan dan dikejar-kejar Zakheus adalah harta dan harta. Harta lah yang selama ini menjadi sandaran hidupnya. Harta pula yang selama ini menjadi tuhan atau mammon nya. Namun setelah bertemu dan mengenal Kristus semuanya itu bukan lagi menjadi tujuan dan pusat hidup Zakheus. Hal ini mengingatkan saya kepada ungkapan Rasul Paulus dalam Filipi 3:7-8: “Tetapi apa yang dahulu merupakan keuntungan bagiku, sekarang kuanggap rugi karena Kristus. Malahan segala sesuatu kuanggap rugi, karena pengenalan akan Kristus Yesus, Tuhanku, lebih mulia dari pada semuanya. Oleh karena Dialah aku telah melepaskan semuanya itu dan menganggapnya sampah, supaya aku memperoleh Kristus.”
Jika kita membandingkan dengan mundur beberapa ayat dari bagian yang kita baca, kita akan menemukan seorang tokoh yang sangat kontras dengan Zakheus, yaitu seorang pemuda kaya yang bertanya kepada Yesus dalam Lukas 18:18-25. Pemuda kaya ini adalah seorang dengan kualitas yang sangat luar biasa; seorang pemimpin, seorang kaya yang masih muda, seorang yang siap menjadi murid Kristus (ia panggil Yesus, “Guru”), ia juga seorang yang gemar melakukan Hukum Taurat, bahkan rutin memberikan perpuluhan seperti diamanatkan hukum taurat, tetapi ia masih belum juga berkenan untuk memperoleh keselamatan yang dari Allah. Tetapi ia menganggap bahwa dengan kualitas seperti itulah pastilah ia menerima keselamatan. Padahal motif-motif terdasar, orientasi dan tujuan hidup di dalam dirinya bukanlah mentaati Allah, melainkan kesenangan dirinya sendiri. Hal ini nampak ketika akhirnya Tuhan Yesus menantang dia untuk melepas semua hartanya. Alkitab mencatat sebuah respons yang sangat bertolak belakang dengan respons Zakheus: “Ketika orang itu mendengar perkataan itu, ia menjadi amat sedih, sebab ia sangat kaya.”
Bapak, Ibu, Saudara yang dikasihi Tuhan. Tema kita pagi ini adalah: “Orang Benar Hidup Oleh Percayanya.” Iman dan keputusan Zakheus adalah sebuah teladan penting bagi hidup kita. Karena itu Tuhan Yesus sendiri berkata: “Hari ini telah terjadi keselamatan kepada rumah ini, karena orang inipun anak Abraham.” Ungkapan “anak Abraham” berarti bahwa Zakheus memiliki iman ang sama dengan Abraham, sehingga secara rohani ia layak menjadi anak Abraham.
Iman adalah respons kita terhadap penyataan kasih karunia Allah atas hidup kita. Respons yang paling mendasar terhadap kasih karunia Allah yang telah Ia nyatakan melalui Yesus Kristus dalam hidup kita adalah perubahan hidup secara menyeluruh. Motif-motif dasar kita, tujuan hidup kita, ambisi kita, tempat kebergantungan dan tempat sandaran hidup kita, semua harus berubah secara total dan radikal (artinya: sampai ke akar-akarnya). Janganlah kita seperti orang Israel di PL yang sekadar mengalihkan obyek penyembahan kita dari berhala kepada Allah. Tetapi lebih dari itu, kita harus menempatkan Allah sebagai Tuhan yang berkuasa dan menjadi pusat hidup kita.

Penutup
Seekor ulat yang menjijikkan hanya bisa melakukan pekerjaan menggemukkan dirinya sendiri: makan, makan, dan terus menggerogoti dedaunan. Namun ketika ia berubah menjadi seekor kupu-kupu, ia tidak sekadar berubah bentuk menjadi indah, tetapi kebiasaannya dan gaya hidupnya yang menggerogoti daun pun ditinggalkannya. Apa yang dilakukan kupu-kupu tidak lain adalah menghiasi taman dan membantu penyerbukan.
Iman bukan sekadar mengakui Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat pribadi. Iman adalah hidup sehari-hari bagi Kristus. Hidup sehari-hari karena Kristus. Karena “Orang benar akan hidup oleh Iman!” Amin.



Khotbah di GKI Jember; Minggu, 04 November 2007

No comments: