03 November 2007



Demokrasi Keintiman (1)

"DEMOKRASI KEINTIMAN":
SEBAGAI SEBUAH WAJAH REVOLUSI SEKSUALITAS
DAN TANGGAPAN KEKRISTENAN TERHADAPNYA


PENDAHULUAN
Perlakuan yang diskriminatif, dan bahkan represif dari dunia patriarki terhadap kaum perempuan dalam kurun waktu yang lama akhirnya melahirkan arus balik yang melawan hegemoni (penguasaan-kekuasaan) kaum pria. Gerakan feminisme yang memperjuangkan kesetaraan gender bagi perempuan terhadap laki-laki bukan sekadar merambah area filosofis-teologis, tetapi juga menyentuh sisi-sisi paling pribadi dari kehidupan manusia. Feminisme memang telah lama "berkibar" di dunia Barat. Namun, meski sedikit lambat, feminisme juga mulai menyentuh dunia pemikiran dan praktika kehidupan masyarakat Indonesia.
Sebagai masyarakat dengan penduduk muslim terbesar di dunia, masyarakat Indonesia tidak bisa dilepaskan dari tatanan patriarki yang sangat kuat. Beberapa sistem kebudayaan, misalnya dalam tatanan sosial suku Minang di Padang (Sumatera Barat), memang memiliki sistem matriarki (matrilineal). Namun, atmosfir keislaman yang kuat di bumi Indonesia secara umum telah menempatkan kaum perempuan di posisi yang lemah dan terpinggirkan. Dari masalah kekerasan dalam rumah tangga, masalah Tenaga Kerja Wanita (TKW) yang sering menjadi korban kekerasan, hingga isu RUU Anti Pornografi-Pornoaksi (RUU APP) yang konon mendiskreditkan kaum perempuan, semuanya cukup melukiskan gambaran hegemoni kaum laki-laki.
Kondisi tatanan yang sedemikian rupa mau tidak mau mendorong berkembangnya gerakan feminisme sebagai alternatif perjuangan membela hak-hak kaum perempuan. Pada kenyataannya, feminisme bukan saja menjangkau tataran filosofis dan perjuangan mengubah paradigma suatu komunitas terhadap perempuan. Bukan pula terbatas pada perjuangan untuk membela hak-hak kaum perempuan dalam ranah aturan baku dalam masyarakat (hukum dan perundang-undangan). Perjuangan feminisme pada gilirannya telah melampaui tuntutan kesetaraan gender, atau persamaan hak atas kaum perempuan di segala bidang. Kaum perempuan yang "menggeliat" terhadap kungkungan kaum laki-laki akhirnya juga berjuang menuntut kebebasan menentukan nasibnya sendiri sebagai mahluk eksistensial yang bebas dari "bayang-bayang" laki-laki. Hal ini bukan saja terbatas di dalam hal hak dalam bidang pendidikan, pekerjaan, dan hak untuk memimpin. Isu mutakhir dari feminisme telah mencapai wilayah yang paling pribadi dari manusia, yaitu seksualitas. Saat ini beberapa kelompok perjuangan hak perempuan di Indonesia telah sampai pada perjuangan untuk menentukan "status dan tujuan" seksualitas perempuan lepas dari "peruntukkan" bagi laki-laki. Isu inilah yang kemudian disebut sebagai "demokrasi keintiman."
Tulisan ini adalah suatu respon kekristenan menganggapi isu revolusi seksualitas, khususnya yang dikemas dan diramu di dalam gerakan feminisme. Makalah ini tidak akan menyoroti gerakan feminisme itu sendiri, tetapi akan lebih memfokuskan diri kepada apa yang disebut sebagai "seksualitas posdogmatik" dalam diri perempuan, yang kemudian disebut di sini sebagai suatu "demokrasi keintiman." Apa dan bagaimana demokrasi keintiman lahir dan apa tanggapan kekristenan terhadapnya akan dibahas kemudian dalam sub-bab berikut.

"DEMOKRASI KEINTIMAN": SEBUAH SEKSUALITAS POSDOGMATIK
Apa yang Dimaksud Demokrasi Keintiman atau Seksualitas Posdogmatik?
Istilah "Demokrasi Keintiman" yang dibahas di dalam makalah ini diambil dari judul sebuah buku yang ditulis Ratna Batara Munti, seorang Magister Sains dalam bidang Sosiologi jebolan UI yang juga Direktur LBH APIK Jakarta. Buku "Demokrasi Keintiman" terbitan LKiS Yogyakarta ini nampaknya mewakili apa yang saat ini sedang diperjuangkan oleh perempuan Indonesia. Buku ini merepresentasikan sebagian pemikiran aktivis perempuan Indonesia, yang mencoba memasuki wilayah seksualitas sebagai salah satu cara perempuan mendapatkan identitasnya.
"Demokrasi Keintiman" adalah salah satu bentuk pemaknaan ulang dari seksualitas kaum perempuan. "Demokrasi Keintiman" dimaksudkan sebagai salah satu cara pandang emansipatoris yang menandakan dimulainya pembebasan perempuan dari ruang seksisme yang meletakkan tubuh dalam fungsi subordinasi laki-laki. Inti pemikiran dari buku ini adalah sebuah pemahaman terhadap seksualitas perempuan yang mencoba lepas dari dogma agama (khususnya Islam), di mana tubuh dan seksualitas perempuan berada di dalam kontrol laki-laki. Hal yang paling hangat diperdebatkan adalah "peluang" penafsiran dogma agama (Islam) yang seolah melegalisasi praktek poligami. Paradigma seksualitas yang menolak dogma yang "berbau" hegemoni kaum laki-laki inilah yang sering disebut sebagai "seksualitas posdogmatik."
Kita masih mengingat dengan segar bagaimana getolnya para aktivis perempuan melawan penggodokan RUU APP. RUU APP ini diyakini oleh para aktivis perempuan sangat diskriminatif terhadap perempuan, di mana perempuan seolah ditempatkan sebagai penyebab utama (satu-satunya?) dari praktek pornografi dan pornoaksi. Apa yang diperjuangkan kelompok-kelompok pembela kaum perempuan ini ternyata tidak terbatas pada aksi turun ke jalan (demostrasi). Beberapa kelompok bahkan berjuang untuk meloloskan perundang-undangan yang melindungi dan membela hak emansipatif perempuan. Salah satu keberhasilan perjuangan mereka adalah lahirnya Undang-undang Anti Kekerasan Dalam Rumah Tangga (AKDRT), yang melindungi istri dari tindak kekerasan suami. Konon, RUU yang juga diajukan sebagai tindak lanjut AKDRT adalah RUU Demokrasi Keintiman yang mengatur dan memberikan perlindungan terhadap "kemandirian seksualitas" wanita (istri) lepas dari suami. Isunya, melalui udang-undang ini diharapkan perempuan (bahkan yang menikah sekalipun) memiliki kebebasan eksistensial atas seksualitasnya, terlepas dari otoritas suaminya. Dengan kata lain, (jika RUU ini terealisasi menjadi UU) seorang istri yang menolak berhubungan seksual dengan suaminya akan dilindungi oleh undang-undang.

Demokrasi Keintiman; Agenda Revolusi Seksual di Baliknya?
Seorang pengajar Universitas Islam Negeri Malang, Mohammad Mahpur, dalam harian Media Indonesia, 16 Juli 2005, mengaitkan pemikiran Ratna Batara Munti dalam "Demokrasi Keintiman" dengan buku sosiolog besar dari Inggris, Anthony Giddens, yaitu The Transformation of Intimacy: Sexuality, Love and Eroticism in Modern Societies. Diuraikan dalam buku ini, bahwa seksualitas modern menandai era baru yang disebutnya sebagai seksualitas plastik (plastic sexuality), ketika akselerasi seks berkembang tidak berbatas pada hubungan reproduksi, yakni soal bagaimana mengatur keturunan atau kepantasan dalam mencapai kepuasan batin (sexual intercourse).
Lebih dari itu seks telah menggelembung menjadi wacana yang direproduksi secara heterogen, dialektis, dan diapresiasi hampir tanpa lagi terbatas oleh legalitas dan hiruk-pikuk ritual perkawinan. Batas-batas larangan wicara seks perlahan-lahan bergerak secara evolutif dan revolusioner, dan sedang mengambil ruang liar yang merasuk menjadi komodifikasi hiburan (rekreasi), di mana setiap orang tidak lagi susah payah mencari realitas seks rekreatif.
Seksualitas plastik adalah cara apresiasi seks yang melintasi ambang batas normalitas-abnormalitas dan perayaan emansipasi praktik seks dengan beragam manifestasi kenikmatan (pleasure) tanpa batas dogma heteroseksualitas. Pembenaran biologis bagi heteroseksualitas sebagai normal menjadi kepercayaan yang dianggapnya sebagai tradisi kelaziman yang telah runtuh. Heterosentris bukan lagi dogma apresiasi baku untuk memperoleh kenikmatan seksual, ia telah jauh dari tuntutan reproduksi, suatu bentuk seksualitas yang tidak terpusat (decentred sexuality). Dalam buku ini dijelaskan bahwa ragam alternatif yang berkaitan dengan orientasi seksual diperluas melalui cara emansipasi dan pluralitas-inklusif bagai perayaan baru, yaitu dengan ditemukannya sebentuk kaidah bahwa seks adalah kenikmatan, tanpa ada penetrasi berkedok pembakuan kinerja dua kelamin an sich yang heterosentris.
Dalam seksualitas modern (atau pascamodern?), kaidah-kaidah seks juga ikut didaur ulang dan dihadirkan dalam kerangka revolusi dan pembaharuan cara pandang yang membebaskan. Menurut Giddens, seks telah masuk dan hidup dalam dunia plural yang memanifestasikan berbagai filosofi, pilihan hidup, wacana, atau representasi identitas yang mencerminkan adanya kekuatan self-awareness, self-knowledge, dan kontemplasi. Karena itu, sekarang seks telah hadir dalam bentuk refleksi kritis terhadap wicara agama, kepada pilihan hidup kontemporer dan membebaskan dalam beragam gaya hidup, politik tubuh, atau gugatan.
Perhelatan revolusi seks muncul berkaitan dengan menguatnya gerakan feminisme yang menolak represi seksisme dari kerja dominasi tradisi yang berpusat pada phallosentris sebagai biang penindasan perempuan. Uraian ini merujuk pada pemikiran pos-strukturalis Simone De Beauvoir, perempuan adalah produk imajinasi untuk kebutuhan dimiliki dan ditindas. Dan kenyataannya perempuan tidak pernah dibebaskan oleh masyarakat dari kebutuhan laki-laki, nafsu dan hasrat dalam melanjutkan keturunan yang selalu mereproduksi ketergantungan laki-laki dalam pemenuhan kesenangan seksnya terhadap perempuan.
Seksualitas pascamodern juga ditandai dengan penerimaan pluralitas seksual. Pluralitas seksual adalah sisi lain bagi terbukanya penerimaan keramahan akan realitas subaltern seperti homoseks, gay, lesbian, waria, menjadi wanita single parent atau budaya baru hidup bersama sebelum nikah (seks pranikah). Semua mempunyai nilai dan komitmennya masing-masing. "Seks itu pilihan!" Demikian jargon seksualitas kontemporer saat ini. Setiap individu berhak memutuskan untuk memilih kesukaan dan tanggung jawab mengenai seksnya. Apakah ia akan memilih kawin, menundanya, atau memutuskan untuk melajang cukup lama, semua bebas dari klaim bipolar (tarik-menarik dua kutub) kenormalan dan abnormalitas.
Begitu juga istilah perawan tua, hal ini tidak lagi menjadi salah satu muara bagi gagalnya perempuan dalam mencari pasangan atau perempuan dianggap tidak laku ketika tidak bersegera menikah. Keputusan ini merupakan hak bagi setiap orang. Ia bagian dari dunia eksistensial adanya fenomena persamaan seksualitas. Kesimpulan fenomenal tersebut memunculkan satu pandangan bagi perempuan bahwa tidak ada yang "salah" pada diri mereka dan menjadi orang yang "berbeda" adalah "pilihan."
Inilah efek dari seksualitas global. Demokrasi keintiman tidak hanya mengubah pandangan, tetapi motivasi, orientasi, sikap, tujuan atau praktik seksualitas yang jauh melampaui kaidah-kaidah konvensional. Pemikiran dalam "Demokrasi Keintiman" yang diwarnai pemikiran Giddens ini, kemudian merajut arena baru seksualitas dan gaya hidup seseorang dalam mengafirmasi pilihan seksualnya dan pengayaan untuk menoleransi berbagai perbedaan orientasi seksual. Perilaku perselingkuhan dapat menjadi contoh dalam hal ini. Perselingkuhan tidak identik dengan peluang laki-laki "bermain" dengan WIL (wanita idaman lain). Perempuan juga mempunyai peluang sama untuk berselingkuh atau punya PIL (pria idaman lain).
Dari gambaran pemikiran Giddens dalam bukunya, Transformation of Intimacy, kita dapat melihat dengan jelas bahwa di balik perjuangan untuk Demokrasi Keintiman terdapat sebuah agenda revolusi seksual. Revolusi seksualitas selalu ditandai dengan "bergugurannya" nilai-nilai yang dianggap tabu, baik oleh keluhuran sebuah kebudayaan, maupun oleh sebuah dogma agama. Apa yang dulu dianggap "memalukan" dan "tak pantas" telah berubah menjadi "wajar" dan "normal." Bagaimana sikap kekristenan terhadap isu Demokrasi Keintiman ini?

No comments: