03 November 2007

Demokrasi Keintiman (2)

PANDANGAN ALKITAB TERHADAP DEMOKRASI KEINTIMAN
Lalu bagaimana pandangan Alkitab sendiri terhadap revolusi seksual yang mulai merasuki dunia pikir feminisme Indonesia? Apakah yang dikehendaki Allah dengan seksualitas manusia? Apakah seks itu baik atau buruk? Apakah fungsi seksualitas manusia? Pertanyaan ini tidak begitu saja mudah dijawab, karena Alkitab tidak memberitahukan kepada kita secara eksplisit-normatif mengenai tujuan seksualitas manusia itu sendiri. Namun setidaknya kita dapat memahami dalam Perjanjian Lama (PL) dan Perjanjian Baru (PB) mengenai indikasi hakikat seksualitas manusia.


Pandangan Perjanjian Lama Terhadap Seksualitas
Dalam narasi penciptaan ada dua kisah yang berkaitan dengan seksualitas manusia. Narasi pertama adalah Kejadian 1:1-2ยช, menekankan hakikat seksualitas bahwa seks itu baik. Seks itu baik karena seks merupakan bagian integral dari seluruh ciptaanyang dinyatakan sebagai "sungguh amat baik" (Kej. 1:31). Segala ciptaan amat baik, tak terkecuali seksualitas. Narasi penciptaan menekankan bahwa manusia diciptakan sebagai mahluk seksual. Manusia diciptakan sebagai laki-laki (ish) dan perempuan (ishshah), dan dalam perbedaan seks itu mereka mencerminkan Allah: "Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka" (Kej. 1:27). Itu berarti seksualitas tidak hanya sesuatu yang baik, tetapi sekaligus mencitrakan kesucian dan kekudusan Allah.
Narasi kedua menekankan alasan mengapa dan untuk apa seksualitas diciptakan. Perempuan diciptakan supaya laki-laki tidak kesepian dan menemukan teman hidup (Kej. 2:18). Tujuannya supaya terjadi komunitas manusia yang dinyatakan dalam kesatuan daging dan tulang (Kej. 2:22-24). Penciptaan perempuan adalah pintu menuju komunitas. Komunitas ini tentu saja dipahami dalam arti luas, tetapi secara khusus terjadi dalam hubungan personal seorang laki-laki (ish) dengan seorang perempuan (ishah).
Seks melekat pada diri manusia sebagai mahluk psikosomatis (berjiwa raga). Seks tidak hanya berurusan dengan tubuh tetapi juga dengan jiwa dan roh manusia (seantero kehidupan). Oleh karena itu, seks bukan suatu tindakan yang didasarkan naluri semata-mata, melainkan perilaku yang harus diatur, dikendalikan, dan ditata sesuai dengan hakikat manusia sebagai gambar/citra Allah.
Seks pada dasarnya tidak kotor atau najis. Kekotoran atau kenajisan seks melakat inheren pada diri manusia, terlebih sesudah kejatuhan manusia dalam dosa. Manusia berdosa berpotensi, berbakat, bertendesi, dan bertabiat berbuat jahat dan manipulatif, termasuk dalam hal seksualitasnya. Jadi sebagai manusia berdosa, seksualitas manusia tidak murni lagi namun telah memiliki bias, terdistorsi, dan rentan terhadap manipulasi. Justru karena kenyataan dosa itu, maka PL cenderung konservatif dalam memaknai kekudusan seksualitas manusia. Penyelewengan dipandang sangat legalistik.
Persetubuhan atau hubungan seks dalam bahasa Ibrani disebut yada’ yang dapat juga diterjemahkan dengan kata "mengenal." We ha adam yada’ et hawa isto (Kemudian bersetubuhlah manusia itu dengan Hawa istrinya; Kej. 4:1). Ini adalah kesaksian pertama tentang hubungan sedaging antara suami dan istri (Adam dan Hawa). Rahasia seks tidak dapat dijelaskan dengan metode obyektif, misalnya dengan metode ilmiah. Pengenalan seksual sangat berbeda dengan pengetahuan tentang seks. Sebab itu hubungan seks bukan sekadar suatu pemuasan biologis melainkan suatu pengenalan dari dalam terhadap mitra hidup lebih dari pengetahuan apapun.
Seksualitas dalam PL dikaitkan dengan perkawinan. Perkawinan adalah tempat yang sah untuk relasi seksual. Narasi penciptaan tidak secara eksklusif menyebut kata nikah, tetapi interpretasi Tuhan Yesus terhadap Kejadian 2:23-24 menunjukkan bahwa memang lembaga pernikahan merupakan satu-satunya tempat yang Tuhan berikan untuk relasi seksual (Mat. 19:4-6). Kesatuan daging adalah istilah yang diartikan secara hurufiah dengan berhubungan seks. Tetapi kesatuan daging tidak semata-mata berurusan dengan tubuh, melainkan seluruh kehidupan itu secara utuh. Jadi hubungan seks adalah cermin dari hubungan total jiwa-raga. Itulah sebabnya hubungan seks itu dilegitimasi dalam upacara pernikahan.
Keintiman seksual memang merupakan salah satu hakikat pernikahan itu sendiri. Namun keintiman seksual an sich bukan satu-satunya tujuan pernikahan. Perjanjian Lama sangat menekankan mandat regenerasi sebagai salah satu tugas manusia yang penting: "beranakcuculah dan bertambah banyak... (Kej. 1:28). Tentu saja mandat ini tidak bisa dipahami secara harafiah, tetapi harus dilihat sebagai salah satu tujuan relasi seksual dalam perkawinan. Hanya melalui hubungan seks regenerasi dapat dilakukan, walaupun sekarang ini, tekhnologi sedang menjanjikan kemungkinan regenerasi aseksual (misalnya kemungkinan kloning). Keintiman seksual diberikan Allah sebagai anugerah dengan tujuan lebih lanjut yaitu regenerasi/prokreasi/propagasi.
Dengan fungsi regenerasi ini maka kesucian seks melalui pernikahan mendapat tempatnya yang penting. Generasi manusia perlu diatur dan ditata supaya menciptakan masyarakat yang sehat. Maka melakukan hubungan seks secara serampangan akan melahirkan generasi yang tidak tertata. Akibat selanjutnya adalah kekacauan dalam kehidupan manusia (lihat misalnya Kej. 6:1-7; bdk. Roma 1:24-32). Sekali lagi, di sini ditekankan bahwa kejahatan seksual dan penyimpangan seksual (baik dalam hakikat maupun tujuannya) adalah refleksi dari ketidaksetiaan kepada Tuhan, Sang Pencipta.
PL mencatat betapa pentingnya menjaga kesucian seks sehingga hubungan seks yang terjadi di luar pernikahan yang sah dipandang sama dengan penyembahan berhala (Im. 18:1-30; 20:10-21). Dalam komunitas Israel, hukuman terhadap pelaku perilaku seksual di luar pernikahan yang sah adalah hukuman mati (Ul. 22:13-30). Kerasnya tindakan terhadap mereka yang melakukan penyimpangan seks di luar pernikahan disebabkan oleh keyakinan bahwa seksualitas adalah simbol kesetiaan kepada Tuhan. Penyelewengan seksual di luar perkawinan adalah pengingkaran dan penghinaan akan kesucian dan kekudusan Allah sendiri.

Pandangan Perjanjian Baru Terhadap Seksualitas
Perjanjian Baru tidak berbicara tentang hakikat dan tujuan seksualitas tetapi berefleksi tentang perilaku seksual dan menyorotinya atas dasar PL dan Yesus Kristus. PB membicarakan hakikat seksualitas dengan menunjuk pada narasi penciptaan (Mat. 19:1-12). Hubungan seks dilegitimasi dengan pernikahan sebagai hubungan yang berisi kesatuan permanen yang diselenggarakan oleh Tuhan sendiri: "apa yang telah dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan manusia" (ay. 6).
Salah satu tujuan pernikahan adalah intimasi seksual. Bukan sebaliknya, berhubungan seks untuk menikah. Pernikahan adalah komitmen kasih untuk hidup dalam penyerahan total antara suami istri. Pernikahan mengandaikan hubungan intim antara Kristus dan jemaat (Ef. 5:22-23). Dalam ayat-ayat di atas ditekankan bahwa dasar pernikahan adalah kasih Kristus (agape), suatu kasih yang menekankan pada aspek pengorbanan dan kesediaan memberi seperti pada diri sendiri. Dalam hubungan seks tidak boleh ada egoisme. Dalam hubungan seks memang ada eros (saling tertarik) tetapi harus disempurnakan dengan agape (memberi, berkorban untuk pasangan).
Di dalam PB, sangat ditekankan kesetaraan/kesepadanan laki-laki dan perempuan. Kesepadanan itu pertama-tama harus dinyatakan dalam hubungan seksual. Dalam pernikahan, perempuan tidak menjadi obyek pemuas nafsu suami. Di dalam pernikahan tidak ada hierarki atau struktur antara suami dan istri. Mereka adalah sama, setara, dan partisipatoris. Ketundukan istri sebagaimana ditekankan dalam Efesus 5:22-24 tidak mencerminkan hubungan hierarkis dan struktural melainkan hubungan fungsional yang menjadi simbol ketaatan dan kesetiaan jemaat kepada Tuhan. Demikian pula kasih suami yang ditekankan dalam Efesus 5:25-30 menjadi simbol dari kasih (agape) Kristus terhadap jemaat. Apabila diterapkan dalam hubungan seksual maupun dalam hubungan suami istri secara keseluruhan, maka kasih itu adalah kasih timbal balik.
Hubungan seks sebagai representasi hubungan laki-lakidan perempuan haruslah merupakan penyataan kasih dan hormat secara timbal balik: "Bagaimanapun juga, bagi kamu masing-masing berlaku: kasihilah isterimu seperti dirimu sendiri dan isteri hendaklah menghormati suaminya" (Ef. 5:33). Kasih dan hormat terhadap pasangan hidup adalah kasih dan hormat pada diri sendiri. Relasi seperti ini tidak mungkin bisa dilakukan di luar pernikahan. Kesucian dan kekudusan seks hanya bisa dipelihara dalam pernikahan. Hanya di dalam pernikahan hubungan seks sebagai penyataan kesatuan kasih dan hormat dapat dilakukan sepenuhnya.
Di dalam pernikahan, fungsi alat kelamin bukanlah semata alat memuaskan hawa nafsu. Seks adalah suatu komitmen kasih dan kesetiaan, dan bukan produk properti (hak milik). Maka Tuhan Yesus memaknai kata "zinah" tidak sekadar sebagai suatu penyelewengan tetapi juga penguasaan hawa nafsu: "Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzinah dengan dia dalam hatinya" (Mat. 5:28).
Dalam PB ditekankan makna kesucian dan kekudusan seksualitas tetapi tidak mengingkari keunggulan kasih dan pengampunan. Penyimpangan seksual dipandang sebagai bagian realitas keberdosaan dan kelemahan manusiawi. Kasus perempuan berzinah yang diperhadapkan kepada Tuhan Yesus tidak dihadapi secara legalistis seba-gaimana yang dipahami oleh PL bahwa pezinah harus dihukum mati (Im. 10:20, Ul. 22:22-24). Bagi Yesus, penyelewengan seksual (zinah) adalah hakikat keberdosaan manusia. Maka yang dibutuhkan bukanlah hukuman melainkan pengampunan, kesadaran, dan penyesalan (pertobatan) serta perubahan: "Akupun tidak menghukum engkau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang" (Yoh. 8:11).
Walaupun demikian, dalam banyak teks PB ditemukan pula sikap konservatif seperti dalam PL, khususnya sikap terhadap perilaku seksual yang dianggap menyimpang umpamamnya pelacuran/prostitusi, perzinahan, dan homoseksualitas. Kalau kita mengambil contoh homoseksualitas, kita akan melihat bahwa baik PL maupun PB melihatnya secara negatif. Dalam teks-teks PL, homoseksual dipandangan sangat negatif (Im. 18:22; Yeh. 16:49). Demikian pula teks-teks dalam PB, memandang homoseksual sebagai suatu perilaku seksual yang menyimpang (Rom. 1:26-27; 1Kor. 6:9-11; 1Tim. 1:10 dan Yud. 7). Kedua sikap itu rupanya sangat dipengaruhi oleh praktek homoseksuial di lingkungan masyarakat Kanaan (PL), dan dunia Yunani-Romawi (PB).
Walau demikian, ada perbedaan pandangan antara PL dan PB tentang realitas penyimpangan-penyimpangan seksual itu. Kalau PL sangat menekankan "hukuman," maka PB sangat menekankan "pengampunan" terhadap semua perilaku seks yang menyimpang. Walaupun penyimpangan seks seperti percabulan, perzinahan, dan homoseksual dipandang sebagai suatu hal yang buruk, namun pengampunan di dalam Yesus Kristus dapat menyucikan, menguduskan, dan membenarkan (1Kor. 6:11). Syaratnya tentu saja adalah lahirnya kesadaran dan penyesalan yang ditandai dengan penyerahan diri kepada Tuhan. Seksualitas yang baik adalah seksualitas yang diikatkan dengan Tuhan (1Kor. 6:12-20, khusunya ayat 17).
Seksualitas Posdogmatik dalam Kacamata Christian Worldview
Dari uraian teks-teks Alkitab (PL dan PB) yang menggambarkan pandangan Alkitab terhadap seksualitas, kita dapat menarik suatu "benang merah" Christian Worldview (Cara Pandang Dunia Kristen) terhadap seksualitas. Yang pertama, Alkitab telah menyaksikan bahwa manusia diciptakan Allah sebagai mahluk seksual. Seksualitas adalah sebuah pemberian Allah dalam diri manusia yang dinilai-Nya sebagai "sangat baik." Implikasi dari pemahaman ini adalah, seksualitas harus dipandang sebagai kenormalan dan kenaturalan hidup. Penempatan seksualitas secara tepat dalam hidup manusia akan berpengaruh terhadapa kepenuhan seluruh hidupnya.
Yang kedua, sebagai dampak dari kejatuhan manusia dalam dosa, seksualitas juga mengalami banyak distorsi dan penyimpangannya. Perilaku seksual yang menyimpang bukan sebuah bukti bahwa seksualitas manusia merupakan sesuatu yang najis dan menjijikkan, tetapi sebuah gambaran pengaruh dosa yang begitu merusak di dalam diri manusia. Hal ketiga yang perlu ditekankan di sini adalah bahwa seksualitas diberikan kepada manusia sebagai suatu sarana relasi antar manusia. Dalam hal ini, seksualitas manusia berfungsi secara secara ganda; untuk tujuan prokreasi, dan untuk tujuan intimacy (saling mengasihi). Kedua tujuan ini harus ditempatkan secara seimbang dan tepat dalam kehidupan manusia. Mengutip ungkapan Pdt. (alm.) Eka Darmaputera, "seksualitas memungkinkan mutualitas dan hubungan timbal balik antar manusia, kesetaraan, dan kesatuannya."
Tujuan seksualitas manusia di atas membawa kita kepada implikasi yang paling penting dari keberadaan seksualitas dalam diri manusia, yaitu bahwa perkawinan adalah satu-satunya lembaga yang diperkenan Tuhan bagi sebuah relasi seksual. Penggunaan atau praktek seksual di luar lembaga perkawinan bukanlah tujuan dari penciptaan seksualitas dalam diri manusia. Karena itu, tepat jika seksualitas harus ditempatkan di dalam kerangka paradigma "trilogi seksualitas," yaitu seks, cinta, dan pernikahan. Ketiga aspek ini tidak bisa dilepaskan satu dengan yang lainnya di dalam kita melihat seksualitas manusia secara utuh.
Jadi bagaimana tanggapan kekristenan (Alkitab) terhadap revolusi seksual atau seksualitas posdogmatik? Yang perlu kita pahami pertama kali dalam melihat seksualitas posdogmatik adalah bahwa paradigma revolusi seksualitas ini lahir sebagai perlawanan terhadap kooptasi dunia paternalistik yang mendiskrimasi perempuan. Disebut dengan istilah "posdogmatik" karena para feminis melihat dogma mayoritas agama-agama di dunia ini (termasuk Kristen) sangat menyudutkan posisi kaum perempuan. Di dalam hal ini, kita harus ikut berjuang mengurangi seminim mungkin perkembangan paradigma dan praktek diskri-minatif terhadap perempuan. Alkitab (baik PL maupun PB) meski secara deskriptif mempunyai "warna" patriarkhi, namun secara preskriptif sangat jelas menempatkan perempuan setara/sepadan dengan laki-laki. Karena itu, perjuangan kristiani baik lewat mimbar, maupun dalam wujud praktis, harus menyentuh pada pembelaan dan pemberdayaan perempuan secara utuh seturut mandat Alkitab.
Namun di balik motivasi yang mulia di atas, kita harus memahami bahwa gerakan demokrasi keintiman dengan paradigma seksualitas posdogmatik ini bergulir kepada pengingka-ran hakikat dan tujuan seksualitas dalam diri manusia (khususnya perempuan). Perlawanan yang dilakukan para aktivis perempuan seperti Ratna Batara Munti dengan isu Demokrasi Keintiman-nya harus kita tanggapi secara kritis. Sebagaimana yang diuraikan dalam sub-bab deskripsi demokrasi keintiman di atas, agenda revolusi seksual telah menempatkan seksualitas manusia (dalam kasus ini perempuan secara khusus) dari hakikat sebenarnya. Di dalam kekhususan kelompok feminisme, seksualitas perempuan ditempatkan sedemikian rupa lepas dari hakikat peruntukan-nya bagi laki-laki (dalam hal ini suami). Seorang istri memiliki hak otonomi atas tubuh dan seksualitas, lepas dari suaminya. Seorang wanita berhak mengatakan "tidak," bahkan kepada sang suami jika dia tidak ingin melakukan hubungan seksual. Dan hal ini dapat dilindungi oleh undang-undang. Inilah agenda demokrasi keintiman.
Alkitab, terutama PB mengatur hubungan suami-istri dengan sangat jelas. Salah satunya yang penting adalah berkenaan dengan seksualitas suami-istri diajarkan Paulus kepada jemaat Korintus: "Hendaklah suami memenuhi kewajibannya terhadap isterinya, demikian pula isteri terhadap suaminya. Isteri tidak berkuasa atas tubuhnya sendiri, tetapi suaminya, demikian pula suami tidak berkuasa atas tubuhnya sendiri, tetapi isterinya" (1Kor. 7:3-4). Menambahkan apa yang telah diuraikan di atas sebagai hakikat dan tujuan penciptaan manusia dengan seksualitasnya, ajaran Paulus ini sangat jelas bertentangan dengan semangat yang sedang diusung oleh gerakan demokrasi keintiman. Alkitab mengajarkan kepada kita bahwa tubuh istri adalah milik suami. Demikian juga dengan tubuh suami adalah miliki istri. Istri dana suami harus saling melayani dalam kebutuhan seksualitas mereka. Hal ini sangat bertentangan dengan inti paradigma seksual posdogmatik yang berusaha mencabut seksualitas manusia dari tujuan penciptaanya oleh Allah.
Contoh praktek demokrasi keintiman yang juga harus kita tolak adalah kebebasan bagi seorang perempuan untuk memuaskan kebutuhan seksualnya tanpa ikatan apapun, dan dengan sipapun. Pilihan kebebasan perempuan yang "dilindungi" seksualitas posdogmatik adalah seorang perempuan yang bebas "menggunakan tubuhnya" untuk keinginannya sebagai mahluk bebas, perempuan yang berhak menjadi single parent (menjadi ibu tanpa harus menikah), dan perempuan yang berhak mengekspresikan seksualitasnya tanpa dipagari norma-norma yang ada. Jelas bahwa pilihan-pilihan kebebasan seksualitas perempuan kaum penggerak demokrasi keintiman ini bertentangan dengan kebenaran Alkitab. Karenanya, setiap wanita/perempuan Kristen tidak sepatutnya memahami hal ini sebagai perkembangan zaman yang normal.

PENUTUP
Kaum perempuan dan segala keberadaannya (termasuk seksualitasnya) adalah gambar dan rupa Allah yang indah. Karena itu, perempuan harus dijauhkan dari eksploitasi, tindak kekerasan, serta pelecehan seksual. Kebenaran Kristen yang hakiki mendorong setiap kita ikut berjuang dalam perlawanan terhadap diskriminasi perempuan. Dalam keluarga, dalam bergereja, dan dalam bermasyarakat, setiap pemimpin dan umat Kristen harus belajar menempatkan perempuan sebagaimana Allah memandangnya.
Namun ketika kita diperhadapkan kepada gerakan "Demokrasi Keintiman" beserta paradigma seksualitas posdogmatiknya, kita harus dengan tegas mengatakan bahwa perjuangan mereka telah "kebablasan." Demokrasi Keintiman telah mencabut seksualitas seorang individu (dalam hal ini seksualitas perempuan) lepas dari natur penciptaannya. Demokrasi Keintiman bukan sebuah alternatif yang tepat bagi pemberdayaan perempuan. Setiap wanita Kristen seharusnya dengan berani berkata, "Yes for woman empowerment, but no for postdogmatics sexuality."

1 comment:

Anonymous said...

Akhirnya ketemu juga post ky gini. Dah nyari lama2 nggak ketemu2.