06 December 2007

The Gift of Pain

(Penderitaan itu Anugerah)


Rasa sakit, penderitaan, tekanan mental, terpojokkan, dan teraniaya; siapakah orang menginginkannya? Setiap insan takkan pernah merindukan sebuah derita dan rasa sakit. Reaksi "normal," atau lebih tepatnya reaksi umum dari setiap orang yang menghadapi kepedihan adalah berusaha menghindarinya atau bahkan menghilangkan kepedihan itu. Namun kunci kehidupan menjadi murid Kristus adalah "hidup menerima dan meresponi penderitaan secara tepat. " Menerima penderitaan dan meresponinya secara tepat? Ya, karena Kristus sendiri mengajar kepada setiap murid-Nya: "Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku" (Lukas 9:23; bdk. Mat. 16:24; Mrk. 8:34). Bahkan di bagian lain Tuhan Yesus berkata dengan nada negasi yang keras: "Barangsiapa tidak memikul salibnya dan mengikut Aku, ia tidak layak bagi-Ku" (Mat. 10:38; Luk. 14:27).
Setiap usaha untuk menyangkali realita pahit dalam hidup, sebenarnya tidak akan menyelesaikan masalah, sebaliknya akan melahirkan masalah baru yang lebih runyam. Tentu saja yang dimaksudkan di sini adalah kepahitan yang muncul bukan karena "kebodohan-kebodohan" kita sendiri. Yang dimaksudkan di sini adalah kepahitan dan kegetiran hidup yang seolah "muncul tanpa sebab." Dalam hal ini, Yakobus menyebutnya sebagai "ujian:" "Saudara-saudaraku, anggaplah sebagai suatu kebahagiaan, apabila kamu jatuh ke dalam berbagai-bagai pencobaan, sebab kamu tahu, bahwa ujian terhadap imanmu itu menghasilkan ketekunan. Dan biarkanlah ketekunan itu memperoleh buah yang matang, supaya kamu menjadi sempurna dan utuh dan tak kekurangan suatu apapun" (Yak. 1:2-4).

Maka dapat kita katakan bahwa rasa sakit dan kepedihan hidup bukan saja sebuah keniscayaan bagi hidup kekristenan. Duka dan luka ada sebuah prasyarat kemuridan di dalam Kristus, karena setiap orang Kristen memang dipanggil untuk memikul salibnya. Dan tujuan dari semuanya adalah kedewasaan dalam Kristus. Maka benarlah jika Dr. Paul Brand bersama Philip Yancey menyebut rasa sakit sebagai anugerah. Rasa sakit itu jika kita lihat dengan perspektif salib akan menjadi sebuah pembelajaran bagi kehidupan bagi Kristus. Sekarang semua bergantung kita. Menghindari salib itu, atau menerimanya sebagai anugerah. Sehingga di dalam kelemahan kita, kekuatan Allah nyata bagi kita; "Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku" (Fil 4:13). Dan di bagian lain Paulus bahkan menandaskan pernyataan yang luar biasa mengenai penderitaan: "Karena itu aku senang dan rela di dalam kelemahan, di dalam siksaan, di dalam kesukaran, di dalam penganiayaan dan kesesakan oleh karena Kristus. Sebab jika aku lemah, maka aku kuat" (2Kor. 12:10).

No comments: