13 November 2009

Jujur kepada Allah

Ya TUHAN, Allah yang menyelamatkan aku, siang hari aku berseru-seru, pada waktu malam aku menghadap Engkau...ya TUHAN, kepada-Mu aku berteriak minta tolong, dan pada waktu pagi doaku datang ke hadapan-Mu. Mengapa, ya TUHAN, Kaubuang aku, Kausembunyikan wajah-Mu dari padaku? (Mzm 88:1, 14-15)


Seringkali doa yang menuntut, secara teologis dianggap salah, kurang pengharapan, dan kurang iman. Doa yang mempertanyakan kondisi hidup yang dalam kekelaman dan penderitaan yang tak kunjung padam sering dipandang sebagai doa kelas "Taman Kanak-kanak." Doa yang penuh keluh kesah kepada Allah bahkan seringkali dianggap tak pantas disampaikan kepada Allah Yang Mahakudus.

Namun Perjanjian Lama (secara luas) dan pemazmur (secara khusus) seringkali malah menjungkirbalikkan pandangan yang terlalu mendogmatiskan doa seperti di atas. Bagi penulis Perjanjian Lama (misal: Ayub), dan juga pemazmur, doa adalah sebuah penyingkapan kejujuran hati kepada Allah. Jika hati terasa pahit, baiklah katakan sebagai "pahit" kepada Allah. Jika hati gundah, adalah baik jika kegundahan itu ditumpahkan ke hadirat Allah. Bukankah Allah satu-satunya Pribadi yang benar-benar mengerti apa isi hati kita? Bukankah hanya Dia yang menyediakan Sumber Mata Air penglipuran yang tak pernah kering? Bagi Dia, yang penting hati kita jujur dan terbuka. Dan hati yang terbuka akan bertemu dengan pemulihan di dalam Samudera kasih dan kuasa-Nya.

Kesesakan hidup yang dipanjatkan dalam doa "yang menuntut" kepada Allah adalah sebuah manifestasi kejujuran kepada Allah. Maka yakinlah, kejujuran hati kepada Allah adalah jalan bagi hidup yang jernih baik bagi diri sendiri, bagi Allah, dan bagi dunia. Pada akhirnya, hidup yang berpayungkan integritas akan menjadi bagian orang yang jujur dalam keluhan pada Allah, tanpa topeng, tanpa "tedeng aling-aling", dan bahkan tanpa make-up bermerkan "iman."

Inilah jalan hidup yang kita sebut Menjadi Apa Adanya.

No comments: